Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 63)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 04 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUASANA kompleks rumah tahanan mapolres pagi itu penuh dengan keceriaan, sekaligus haru. 


Beberapa tahanan wanita tidak sungkan memeluk dan mencium Bulan. Pun bersalaman dengan penuh kehangatan pada istriku.


“Terimakasih ya, cantik. Sehat dan sukses terus ya,” ucap seorang wanita paruh baya yang menjadi kepala kamar 1. 


Wanita yang tersangkut kasus perselingkuhan itu, meneteskan air matanya. Begitu dalam keharuannya. Ia menangis haru di pundak istriku. Membuat suasana di kamar 1 turut dilingkupi kesedihan.


Saat Bulan menyerahkan peralatan di kamar 8, salah satu tahanan bernama Hasbi meminta izin untuk secara khusus mendoakan Bulan. 


Kami semua berdiri takdzim di depan sel. Mengaminkan untaian doa yang dipimpin anak muda khafid qur’an itu.


“Terimakasih, Hasbi. Inshaallah doamu diijabah Allah,” kataku sambil memeluk anak muda yang semestinya berkuliah di Al-Azhar Kairo itu.


“Aamiin. Kami semua terharu dengan kepedulian putri Babe. Ini sungguh luar biasa. Kita yang tengah terpuruk dalam jurang kenistaan begini, masih mendapat perhatian penuh keikhlasan,” ucap Hasbi seraya mengelap matanya yang berkaca-kaca.


Ku tepuk-tepuk bahunya. Menenangkan Hasbi. Sosok anak muda pengajar pondok pesantren yang soleh harus mengalami ujian masuk penjara, hanya karena ia memukulkan buku ke badan santrinya dan diadukan ke pihak berwajib dengan sangkaan penganiayaan.


Secara khusus, Hasbi juga menyalami istriku, dan kembali menyampaikan terimakasihnya.  


Begitu sampai di kamar 10, Bulan langsung masuk ke kamar. Ia bertanya ke Ijal, dimana tempatku tidur. 


Ijal menunjuk tempat paling pojok. Berbatasan dengan kamar mandi. Tak dinyana, Bulan jalan tergopoh-gopoh menuju tempatku tidur. 


Dan, tanpa sungkan, duduk di atas sajadah yang menjadi alas tidurku. Tidak hanya itu. Mendadak ia merebahkan badannya. Seakan ingin merasakan apa yang aku alami dalam tidurku selama di penjara ini.


“Nduk, ayo bangun. Terimakasih sudah rasain tempat ayah,” ucapku beberapa saat kemudian, sambil mengajaknya bangun dari tempatku tidur.


“Alhamdulillah, mbak bisa rasain apa yang ayah alami selama ini. Tetep kuat ya, ayah. Ini bukan kiamat,” ucap Bulan sambil bangun dari tempatku tidur dan berjalan keluar kamar.


Ia langsung memelukku erat di pintu kamar sel. Aku tahu, ada ketidaktegaan ayahnya mesti menjalani kehidupan seperti ini. 


Namun ia juga memahami betul, jika apapun yang terjadi di dunia ini, tak lain adalah mengikuti alur takdir Yang Kuasa, Sang Pembuat Skenario Terbaik sepanjang masa. 


Selepas melaksanakan nazarnya, Bulan dan istriku kembali duduk di pos penjagaan. Istriku membeli beberapa kotak kue untuk petugas piket. 


Aku diizinkan untuk keluar kompleks rumah tahanan dan duduk berbincang di pos penjagaan. Aku duduk di tengah-tengah, antara istri dan anak gadisku. 


“Alhamdulillah, nazar mbak sudah terwujud. Doain mbak terus bisa ngeraih nilai bagus ya, ayah. Mbak juga sangat bangga sama bunda, yang nggak ada lelahnya kasih mbak semangat,” ujar Bulan. Suaranya datar.  


Kemampuannya mengendalikan gejolak perasaan memang sudah teruji. Layaknya istriku Laksmi yang selalu tampil tegar, pun Bulan. 


Meski aku tahu persis, ia akan menumpahkan semua gelegak jiwanya yang tidak bersahabat itu, di saat tengah sendirian. Di kamarnya. 


Ketika adzan Dhuhur menggema dari masjid di sekitar mapolres, istriku dan Bulan berpamitan. Aku peluk mereka bergantian. Penuh keharuan sekaligus kebanggaan. 


Petugas jaga ikut terbawa pada suasana. Mereka menatap kami dengan rasa haru. Sisi kemanusiaan yang tidak bisa terhapus hanya oleh sebuah tugas yang tengah dijalankan.


“Terimakasih bapak-bapak. Inshaallah lain kali kita ketemu lagi. Mohon maaf sudah merepotkan,” kata Bulan saat menyalami satu-persatu petugas jaga tahanan.


Aku masih di pos penjagaan sampai istri dan anak gadisku tidak kelihatan lagi sosoknya, karena berbelok ke arah parkiran di pelataran mapolres. Baru aku izin kepada penjaga untuk kembali ke kamar. 


“Terimakasih banyak atas semua bantuannya, pak. Saya bangga atas penerimaan bapak-bapak pada istri dan anak saya,” ucapku dan menyalami petugas jaga.


“Sama-sama, Babe. Kami juga senang dengan kegiatan tadi. Tiga tahun saya bertugas disini, baru sekali ini ada keluarga tahanan yang berbagi seperti tadi. Putri dan istri Babe memang beda, tegar dan tetap optimis. Luar biasa,” kata seorang petugas jaga diiringi senyum ramahnya.


Aku tersenyum, dan bersyukur di dalam hati. Betapa sebenarnya yang luar biasa itu adalah Allah Sang Maha Pengatur. Yang mengalirkan nafas ketegaran pada istri dan anak-anak di saat aku berada di dalam jurang kehidupan.


Ketika aku melewati kamar 7, tiba-tiba ada sebuah sapaan. Ternyata Rusdi. Seorang penceramah yang terperosok saat diuji oleh kenikmatan sesaat narkotika.


“Jangan lepas bersyukur ya, Be. Allah begitu menyayangi Babe sekeluarga. Walau di penjara, setiap hari Babe tetep bisa ketemu istri. Anak juga punya akhlak baik dan perilaku sosialnya tinggi. Saya hanya ingin ngingetin aja, Babe jangan lepas bersyukur,” ujar Rusdi sambil memegang tanganku dari sela-sela jeruji besi.


“Inshaallah, pak Ustad. Saling ngingetin aja ya. Terimakasih atas tausiyahnya,” sahutku sambil tersenyum. 


“Saya berani ngomong gini karena tahu persis, bisa dihitung dengan jari dari ratusan tahanan disini yang setiap hari masih bisa ketemu istri atau keluarganya. Dan salah satunya itu Babe. Maka saya ingetin untuk terus bersyukur. Jangan lagi kita kufur nikmat. Karena buat kita-kita ini, jadi tahanan itu sebenernya bukan ujian, tapi azab,” lanjut Rusdi. Suaranya bergetar. 


Aku terdiam. Pun Adit tamping dan Ijal yang mendampingiku untuk kembali ke sel. Kami sama-sama merenungi perkataan Rusdi yang biasa disapa dengan panggilan Ustad.


“Jadi, kita ditahan kayak gini karena dapet azab ya, pak Ustad. Bukan ujian,” kata Adit, beberapa saat kemudian.


“Iya, nurut saya begitu. Kenapa? Karena Allah marah dengan perilaku kita sebelumnya, yang melanggar aturan-Nya. Diazab itu agar kita sadar dan segera bertaubat untuk kembali kepada-Nya,” jelas Rusdi dengan serius.


“Kenapa bukan ujian, pak Ustad?” Ijal menyela.


“Kalau kita anggep ini semua ujian, kita nggak bakal sungguh-sungguh ngakuin kesalahan kita, Jal. Kita nggak bakal bener-bener mau bertaubat. Kita cuma nganggepnya ujian, ya jalan-jalani aja tanpa ada kemauan kita perbaiki diri. Kita rugi sendiri nanti,” kata Rusdi.


Kami hanya bisa diam sambil mencerna perkataan ustad Rusdi. Sesekali aku menganggukkan kepala. Membenarkan apa yang dikatakannya. 


“Nanti pas ada waktu ngangin, kita diskusi ya, pak Ustad. Aku tertarik bener dengan pemahaman baru yang pak Ustad sampaikan ini,” ucapku dengan sungguh-sungguh.


“Siap, kapan aja Babe panggil, saya ke kamar. Kita manfaatin waktu disini untuk perbaiki diri. Kita nggak tahu umur,” sahut Rusdi, dan menyalami kami.


Aku langsung ke kamar mandi begitu masuk kamar sel. Wudhu. Kawan-kawan penghuni kamar 10 sudah siap melaksanakan solat Dhuhur. Tinggal menunggu aku yang akan menjadi imam.


Baru saja kami selesai solat, Ijal langsung menyiapkan makan siang. Nasi padang dengan lauk utama rendang dan lele bakar yang dibawakan istri dan nduk-ku pagi tadi. 


“Alhamdulillah, kita doain rejeki Babe sekeluarga terus mengalir dan berkah ya,” kata Asnawi, yang diaminkan semua penghuni kamar 10 sebelum kami memulai makan.


Tiba-tiba Adit dan Deni tamping berdiri dari balik jeruji besi. Kami tahu, mereka belum makan siang.


Spontan Aris berdiri. Menuju tempatnya, membuka dompet dan memberi mereka uang. 


“Ini buat kamu berdua makan siang, kantin depan jual makanan kan walau hari Minggu,” ucap Aris sambil menyerahkan sejumlah uang kepada Adit dan Deni.


“Iya, tetep jual makanan kok, om. Terimakasih ya, om. Alhamdulillah, rejeki anak soleh,” kata Adit saat menerima uang dari Aris.


Wajah kedua tamping muda usia itu tampak sumringah. Dan bergegas meninggalkan kamar kami untuk membeli makan siang. (bersambung)

LIPSUS