Oleh, Dalem Tehang
SELEPAS makan siang bersama dan kamar telah disapu dan dipel, aku merebahkan badan. Berniat ingin tidur meski sesaat.
Namun mendadak Aris yang juga rebahan, menepuk badanku. Memberi isyarat untuk melihat ke arah jeruji besi. Ternyata ada Gustav berdiri disana.
“Kenapa, Gustav?” tanyaku sambil bangun dari rebahan.
“Sebentar lagi tahanan baru masuk, bang. Tiga yang masuk sini ya,” kata Gustav.
“Katanya sore, kok sebentar lagi sih. Ini kan masih siang. Tetep dua aja yang masuk sini, Gustav. Jangan ditambah,” sahutku.
“Tolong sih, bang. Bisa tiga yang masuk sini. Tadi sudah kordinasi sama penjaga. Mereka bilang diusahain tiga orang yang masuk kamar 10. Jadi nggak ngejomplang bener posisi tiap kamarnya,” lanjut Gustav.
“Kamu sudah sampein ke petugas kalau abang maunya dua aja?” tanyaku. Gustav mengangguk.
“Ya sudah, dua aja yang kesini. Lainnya ya kamu bagi-bagi aja. Petugas juga paham kok kenapa abang cuma mau terima dua tahanan tambahan itu,” ucapku. Meyakinkan Gustav.
“Ya sudah kalau abang nggak bisa ngegeser lagi. Nanti pas mereka sampai pos, abang dateng dan pilih sendiri ya,” kata Gustav lagi, dan meninggalkan kamar kami.
Tiba-tiba Iyos mendekat ke tempatku. Aris akhirnya bangun dari rebahannya. Asnawi dan Tomy juga duduk mendekat.
“Aduh, tadinya aku pengen tidur sebentar. Ini kok malah pada ngumpul ya,” kataku sambil tersenyum.
“Saran aja ini, Be. Sebenernya nambah tiga orang juga nggak apa-apa. Malah kita punya tambahan uang kas kamar,” kata Iyos.
“Dasar bendahara kamar, otaknya cuma mikirin pemasukan aja,” sela Tomy seraya tertawa.
“Ya emang harus gitu dong, Tom. Minggu depan kan aku dan mungkin juga Aris, Doni dan Asnawi mau pelimpahan. Dengan nanti nambah dua orang baru, kalau kami berempat pelimpahan, kan tinggal sembilan. Berapa coba uang kas kita nantinya,” kata Iyos, mengurai.
“Iya juga itu. Perlu dipikirin ke depannya, Be. Kalau kamar kita paling sedikit orangnya, bisa aja nanti dimasukin tahanan-tahanan baru semau petugas aja,” ucap Aris, menimpali.
“Gini aja dulu. Coba besok kalian pastiin, bener nggak minggu depan kalian mau pelimpahan. Kalau sudah pasti, kita obrolin bareng soal ini. Kalau mau nambah orang, aku sih pengennya ambil yang sudah di dalem aja. Tinggal kita pelajari, mereka siap nggak dengan kewajiban uang kamarnya,” jawabku kemudian.
“Bener juga itu, Be. Iyos dan yang lain-lain pastiin dulu soal jadwal pelimpahan itu. Tapi aku kurang setuju kalau kita nambah orang dari yang sudah di dalem sini. Enakan yang baru masuk. Bisa kita kerjain dulu, kan jadi hiburan juga buat kita,” Arya menyela sambil bangun dari tempatnya dan duduk berkerumun di tempatku.
“Ah kamu, Arya. Gara-gara kamu dihajar petugas, jadinya dendem sama tahanan baru. Nggak boleh gitu. Inget lo, urusan kita nggak selesai disini. Nanti kita pasti ketemu lagi di rutan apa di lapas. Bisa aja nanti disana giliran kamu dikerjain juga sama tahanan yang lain,” ujar Asnawi.
Arya terdiam, hanya menundukkan wajahnya. Anak muda spesialis pemetik motor itu sesekali menganggukkan kepalanya.
Tampaknya, di satu sisi ia menyadari lelakonnya masih amat panjang dan penuh dengan segala kemungkinan, namun di sisi lain jiwa “penjajahnya” muncul begitu saja, yang lahir tanpa disadari sejak hidup di dalam sel tahanan. Yang penuh dengan serba kemungkinan dan ketidakterdugaan.
“Bener, Asnawi. Aku sepakat sama omonganmu. Jangan karena Arya punya banyak kawan yang lagi sama-sama di penjara, bisa seenaknya aja,” kata Iyos.
“Emang bener, banyak kawan kamu yang lagi di dalem ya, Arya?” tanya Aris. Arya menganggukkan kepalanya.
“Yang di dalam sini, satu kompleks sama kita ini maksudku?” tanya Aris lagi. Kembali Arya menganggukkan kepalanya.
“Ada delapan orang kawan Arya yang disini, om. Makanya kalau pas ngangin, dia pasti langsung bergabung sama timnya itu. Mojok di depan kamar 6,” kata Ijal. Arya tersenyum. Tipis.
“Wah, kalau punya delapan kawan, kamu bisa jadi jagger disini, Arya. Tunjukin aja kehebatan tim kamu. Tahanan lain pasti jiper,” sela Doni sambil tertawa.
“Nggak-lah, om. Justru kami nggak mau banyak ditauin orang kalau kami saling kenal. Nggak ada untungnya, salah-salah malah nambah masalah,” kata Arya kemudian.
“Kenapa gitu, Arya? Nyatanya Ijal aja tahu,” sahut Iyos.
“Karena kalau ketauan saling kenal dan masih ada yang prosesnya belum selesai, nanti bisa dikembangin kemana-mana. Cara main kami, semua ya putus di kami sendiri kalau ketangkep. Nggak boleh nyanyi mau diapain juga,” tutur Arya.
“Kalau misalnya ada yang nyanyi dan akhirnya dikembangin polisi dan ada yang lain ditangkep, apa resikonya,” lanjut Iyos, penasaran.
“Yang nyanyi bakal di-bagal dan dikerjain sama kawan-kawan yang lagi di dalem. Nggak cuma itu. Keluarga mereka juga bakal digangguin sama kawan-kawan lain yang di luar. Pokoknya, keluarganya bakal dibuat nggak tenang aja hidupnya. Jadi resikonya dobel,” kata Arya dengan serius.
“Sekarang ini, dunia pemetik itulah yang paling solid kesetiaannya. Nggak ada lawannya. Mereka tahan pasang badan bahkan sampai mati daripada ngebuka jaringannya. Apalagi mau kasih tahu penadah besarnya. Susah nangani kelompok ini,” ujar Tomy.
“Emang kamu tahu gimana dunia para pemetik, Tom?” tanya Aris.
“Tahu-lah, om. Aku pernah tiga tahun jadi pemetik. Sudah seratus motor kali yang aku ambil. Tapi aku nggak pernah main di kampung sendiri. Pantang buatku,” sahut Tomy, diiringi senyuman.
“Tapi kamu ketangkep karena kasus lain ya?” lanjut Aris.
“Iya, gara-gara ngebobol konter hp. Padahal itu bukan keahlianku. Bener kata orang, tekuni aja apa yang jadi keahlianmu, pasti sukses. Nah, karena kegoda ajakan si Irfan, aku terjun ke bidang yang bukan keahlianku. Akhirnya ketangkep,” sambung Tomy, juga masih dengan tersenyum.
Saat kami masih asyik berbincang, tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan cepat. Adit tamping yang membuka dan memintaku untuk keluar kamar.
“Tahanan baru sudah di pos, om. Diminta kesana,” kata Adit.
“Ayo, siapa yang mau temani aku. Biar kita sama-sama ngenilai,” ucapku.
Pandanganku tertuju kepada kawan-kawan penghuni kamar 10 yang sedang berkumpul di tempat tidurku.
“Babe sendiri aja. Kami percayain ke Babe milihnya. Terserah aja. Ini kejadian pertama kali barangkali ya, kepala kamar bisa milih tahanan baru buat di kamarnya,” kata Aris seraya tertawa.
“Iya-lah, Babe sendiri aja. Sudah bener kata Aris itu,” lanjut Iyos.
Kawan-kawan yang lain hanya menganggukkan kepala saat ku pandangi satu-persatu. Akhirnya, aku sendirian keluar kamar dan menuju pos penjagaan tahanan. (bersambung)