Oleh, Dalem Tehang
SESAMPAI di pos penjagaan, aku perhati satu demi satu dari enam tahanan baru yang masih menjalani proses administrasi.
Gustav juga ikut sibuk, membantu petugas memverifikasi berkas masing-masing tahanan yang baru masuk.
Mataku terfokus pada pria berusia di bawah 30 tahun yang terus menundukkan wajahnya. Kelihatan sekali ia sangat terpuruk.
Dari balik jeruji besi pemisah dengan pos penjagaan, bisa aku lihat badannya bergetar. Ketakutan. Ada rasa iba di hatiku. Dan tergerak untuk membawanya ke dalam kamarku.
Tahanan baru yang lain masih dalam perhatianku. Ada pria usia 40 tahunan berbadan gempal, berwajah keras. Namun tatapan matanya sayu. Tampak menyimpan kesedihan tersendiri pada batinnya.
Instingku menyatakan kedua orang itu bisa bergabung dengan kawan-kawan di kamar 10. Aku tidak perlu banyak menilai, karena enam tahanan baru yang masuk sel saat ini, bukan kasus narkoba dan curanmor. Melainkan perampokan, penadah hasil curian, penggelapan mobil rental, dan perkelahian.
Kesepakatan penghuni kamar 10, tambahan tahanan baru harus menghindari yang terlibat kasus curanmor dan pencabulan. Karena biasanya, tahanan dengan kedua kasus tersebut akan menjadi pelampiasan amarah petugas jaga yang memiliki pengalaman tidak mengenakkan dalam masalah itu.
Setelah proses administrasi selesai, keenam tahanan baru itu digiring masuk ke dalam kompleks rumah tahanan. Dibariskan di samping pos penjagaan.
Yang masih memakai celana panjang, saat itu juga celananya dipotong menjadi pendek. Peralatan mandi juga dilakukan pengecekan dengan ketat.
Sikat gigi harus dipotong gagangnya, hanya setengah saja. Karena dikhawatirkan, ujungnya akan dijadikan senjata, jika terjadi hal-hal tidak diinginkan di dalam sel.
Gustav mendekatiku. Meminta petunjuk siapa yang aku pilih. Tanpa ragu-ragu, aku menunjuk dua tahanan baru yang tadi sudah dalam perhatianku. Gustav memanggil keduanya untuk mendekatiku.
“Siapa nama kamu dan kasus apa?” tanyaku pada keduanya.
“Nama saya Atmo, pak. Saya kena kasus penadah pencurian aki mobil,” ucap pria berusia dibawah 30 tahun itu dengan suara bergetar, setengah ingin menangis.
“Saya Nedi, kasus perampokan,” kata pria berbadan gempal yang berdiri di samping Atmo. Suaranya berat. Penuh getaran.
Setelah mendengar pengakuan keduanya, ku anggukkan kepala pada Gustav. Ia memerintahkan Adit tamping membawa Atmo dan Nedi ke kamarku.
Sesaat sebelum aku beranjak kembali ke kamar, Gustav menahan tanganku.
“Maaf, bang. Nanti mintain mereka uang masuk sel, masing-masing Rp 200.000,” kata Gustav.
Aku terhenyak. Ada saja cara dia untuk mendapatkan pemasukan.
“Jangan segitu, cepek aja,” sahutku, sekenanya.
“Buat beliin rokok penjaga, bang. Biar kita sama-sama enak ngatur disini. Sama-sama paham aja-lah,” lanjut Gustav. Masih dengan memegang tanganku.
“Iya, aku paham, Gustav. Tapi cepek aja per-orang. Nggak mau aku kalau segitu. Ngomongnya itu nggak tega,” kataku, tegas.
“Ya sudah kalau gitu, bang. Berarti yang masuk sel lain, aku naikin uang selnya ya,” kata Gustav lagi.
“Terserah kamu kalau soal itu. Yang masuk kamarku pokoknya cuma cepek. Nanti malem ya,” sahutku, sambil melepaskan pegangannya, dan kembali ke kamar.
Sesampai di kamar, Atmo dan Nedi sedang berbincang dengan penghuni lainnya. Ijal meminta aku menentukan penempatan kedua tahanan baru itu.
“Sesuai kebiasaan aja, Jal. Yang baru masuk, ya tempatnya di bawah,” kataku.
Ijal memerintahkan Atmo dan Nedi menaruhkan barang bawaan mereka di tempat yang ia tunjuk. Tepat di depan pintu kamar mandi.
“Gimana, Be. Mau diobrolin sekarang apa nanti malam soal kebiasaan di kamar ini,” kata Iyos.
“Sekarang juga boleh,” ucapku.
Iyos memerintahkan semua penghuni kamar untuk duduk di tempatnya masing-masing. Setelah semua duduk rapih, aku minta dia memimpin penyampaian tatakrama di kamar, yang selalu dilakukan setiap ada tahanan baru masuk.
Secara terinci Iyos menjelaskan kewajiban uang kamar Rp 600.000 perbulan dan kegunaannya. Juga memberikan rokok tiga bungkus sebagai tanda perkenalan atau diganti bernyanyi tiga lagu bila tidak memberikan rokok.
Iyos juga memperkenalkan penghuni kamar 10 satu-persatu dengan kasus yang disangkakan. Termasuk tugas spesial Ijal sebagai OD di kamar.
“Sekarang, silahkan Atmo dan Nedi ngenalin diri dan ceritain kasusnya,” lanjut Iyos.
Atmo berdiri di tempat yang sudah ditentukan untuknya. Badannya terus bergetaran. Penuh rasa ketakutan.
“Dibawa santai aja, Atmo. Kami nggak akan ngerjain kamu karena kita sudah satu kamar. Ayo, tenangin diri dan mulai ngomong,” kata Doni, dari sudut dekat jeruji besi.
“Assalamualaikum. Nama lengkap saya Atmo Darmo Negoro. Panggilan Atmo. Umur saya 26 tahun,” kata Atmo dengan suara bergetar, menahan tangis.
“Kenceng dikit ngomongnya, Atmo. Kayak cewek aja. Nggak kedengeran kalau kamu ngomongnya pelan gitu,” Doni menyela.
“Saya ada disini karena disangka sebagai penadah barang curian, berupa aki mobil. Ceritanya, ada empat anak usia remaja datang ke toko saya, menjual beberapa aki mobil. Karena harganya murah, sebagai pedagang, tentu saya beli. Tidak tahunya, aki itu hasil curian. Setelah pelaku tertangkap, saya pun terseret sebagai penadah,” lanjut Atmo.
Kali ini suara Atmo memang agak keras, meski tetap dengan gemetaran. Tampak ia sangat tidak menduga, jika akhirnya akan masuk ke sel penjara.
“Dimana sekarang pelaku pencuriannya?” tanya Tomy.
“Ada disini juga. Mereka sudah masuk sejak minggu kemarin. Tadi saya lihat, mereka ada di kamar 6,” kata Atmo menimpali.
“Nah, kita punya mainan baru Arya. Pas ngangin, kita kerjain aja mereka,” Tomy menyambung, sambil mengepalkan tinjunya.
“Nanti dulu komentar itu, Tomy. Biar Atmo lanjutin ceritanya. Kamu beli berapa aki itu, dan laku dijual berapa?” ucap Aris.
“Saya beli satu akinya Rp 170.000 dan laku Rp 250.000. Dari delapan aki, yang enam sudah laku, dua sisanya saya kanibal. Ambil platnya saja,” sambung Atmo.
“Berarti kamu dapet keuntungan Rp 80.000 dari satu aki. Yang sudah kejual ada enam, totalnya kamu dapet untung Rp 480.000. Kalau yang diambil platnya aja, aku nggak tahu gimana ngehitungnya. Gara-gara uang nggak sampai Rp 500.000 itu kamu masuk penjara, gitu kan ceritanya Atmo,” kata Aris, mengurai.
Atmo mengangguk pelan. Tiba-tiba matanya dipenuhi air. Pria 26 tahun itu menangis. Sampai sesenggukan. Kami semua terdiam. Memahami betapa terguncangnya jiwa dia.
“Ya sudah, sabar ya, Atmo. Emang banyak cara kalau Tuhan berkehendak memberi ujian bagi makhluk-Nya,” kata Iyos sambil berjalan ke tempat Atmo berdiri. Dipeluknya anak muda itu penuh dengan perhatian.
“Cerita kita masuk sini hampir mirip, Atmo. Kalau kamu gara-gara aki, aku gara-gara hp curian. Sangkaan buat kita sama, sama-sama penadah. Jadi kamu nggak sendiri. Tenang ya,” ujar Iyos. Menenangkan.
Atmo tampak beberapa kali menghapus airmatanya yang tumpah cukup deras. Ia mencoba menata perasaannya yang begitu terpuruk. (bersambung)