Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 66)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 07 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


BADAN anak muda yang cukup atletis itu masih terus bergetaran. Menunjukkan jiwanya benar-benar terguncang hebat.


“Yang membuat kamu ngerasa paling sedih dengan masuk sini apa, Atmo?” tanya Reza. Mendadak.


Atmo hanya diam. Wajahnya menunduk. Terfokus pada lantai ruang tahanan. Nafasnya tidak beraturan. Tampak dari getaran di dadanya yang tergambar jelas dari kaos yang dipakainya.  


“Saya inget embok. Kasihan dia. Selama ini kami hanya tinggal berdua. Dengan saya masuk begini, entah siapa yang menemaninya,” ucap Atmo, masih dengan suara sedih. Setelah mampu mengendalikan dirinya.


“Emangnya kamu nggak ada bapak atau saudara kandung?” lanjut Reza.


“Bapak saya masih ada, tapi pisah dengan embok dan sudah berkeluarga lagi. Saya punya dua saudara kandung, cuma rumah mereka jauh-jauh dan sudah berkeluarga juga. Apa iya, mereka mau mengurus embok,” kata Atmo lanjut. Masih ada tangis pelan.


“Kamu nggak usah mikirin yang susah-susah ya. Embok kamu pasti bisa ngurus dirinya sendiri dan saudaramu juga pasti punya hati buat ngurus embok-mu. Jangan kamu disini sudah susah, malah kepikiran yang susah terus. Kalau kamu sakit, ngerepotin kawan-kawan,” Reza melanjutkan.


“Sekarang gimana soal kewajiban bulanan, siap nggak kamu, Atmo,” kata Iyos, memotong suasana yang berubah menjadi melankolis.


“Saya siap saja. Hanya minta waktu. Mudah-mudahan kakak saya secepatnya dateng, nanti saya sampaikan,” sahut Atmo. 


Suaranya mulai datar. Pertanda ia telah bisa menguasai diri dari pergolakan batin yang sempat membuatnya terguncang.


“Kamu sebelumnya tahu nggak kalau aki itu barang curian?” tanya Asnawi. Atmo menggeleng. Yakin.


“Kamu tahunya itu barang curian, kapan?” lanjut Asnawi.


“Waktu polisi dateng ke toko dengan anak-anak yang menjual aki. Saat itulah polisi bilang kalau aki yang saya beli dan sebagian sudah terjual itu, hasil curian,” Atmo membeberkan.


“Apa sebelumnya nggak ada usaha supaya kamu nggak kebawa kasus pencurian ini, Atmo?” tanya Aris. Penasaran.


“Sebenarnya sudah. Kakak saya beberapa kali menemui penyidik. Tapi tetap saja saya tidak bisa lolos dalam perkara ini,” sahut Atmo.


“Kalau sudah usaha untuk tidak tersangkut tapi faktanya tetep kayak gini, ya sudah. Jalani aja dengan sabar, Atmo. Cuma yang buat aku merinding, hanya gara-gara keuntungan nggak sampai Rp 500.000, kamu harus masuk bui. Itu aja yang buatku nggak habis pikir,” kata Aris lagi. Tampak beberapa kali ia menggeleng-gelengkan kepalanya.  


“Itu semua lantaran aja, Atmo. Yang pasti, Tuhan emang sudah ngatur kamu untuk bertemu dan berteman dengan kami di sel ini. Dinikmati dan syukuri aja,” kata Doni sambil tersenyum.


“Ya sudah, silahkan Atmo duduk. Sekarang giliran Nedi ngenalin diri,” ucap Iyos, memotong pembicaraan.


Pria berusia 40 tahunan berbadan gagah itu spontan berdiri dengan sikap sempurna. Tegap. Gerakannya tampak begitu terlatih.


“Assalamualaikum. Nama saya Nedi Junior. Panggilannya Nedi. Saya terkena kasus perampokan,” kata dia dengan suara tegas.


“Kasusnya kayak mana?” sela Reza.


“Saya bersama kakak ipar, sengaja datang ke kota ini untuk merampok. Incaran kami rumah-rumah mewah yang ada di kompleks perumahan elite. Setelah tiga hari berputar-putar melakukan pengintaian, kami akhirnya menemukan sasaran,” lanjut Nedi.


“Terus gimana kejadiannya sampai ketangkep?” lanjut Reza. Penasaran.


“Kami masuk ke kompleks perumahan mewah yang banyak dihuni warga keturunan. Tepat kami lewat di depan rumah yang akan jadi sasaran, penghuninya keluar. Waktu pembantunya menutup pager, kami masuk. Kami ancam dan ikat pembantunya. Ada dua orang pembantu rumah itu. Semua kami ikat tangan dan kakinya dan di-lakban mulutnya. Mereka kami masukkan kamar mandi dan dikunci dari luar. Baru kami beroperasi,” urai Nedi. Tampak ia amat menikmati aksi kejahatannya.


“Nah, seru ini. Terus gimana kelanjutannya, om?” ucap Tomy, tidak sabaran.


“Kami berhasil membongkar brankas. Isinya uang dolar dan emas batangan, juga perhiasan serta jam tangan mewah. Setelah itu kami kabur. Satpam di pos penjagaan tidak ada yang curiga. Kami langsung menuju kampung,” sambung Nedi.


“Terus bisa ketangkepnya kayak mana?” tanya Tomy.


“Sekitar 10 Km lagi kami sampai di kampung, ada razia polisi di jalan. Kakak ipar saya ketakutan. Setelah diberhentikan polisi dan ditanya surat mobil, dia malah kabur. Akhirnya saya yang masih di mobil, ditangkep. Polisi menggeledah mobil. Ketemulah alat-alat buat kami membuka brankas dan hasil rampokan. Karena kasusnya di kota ini, akhirnya kami dikirim kesini,” kata Nedi dengan panjang lebar.


“Kakak ipar kamu ketangkep juga ya?” tanya Aris. Nedi mengangguk. 


“Kamu sudah berapa lama di polres ini sebelum dikirim ke sel,” lanjut Aris.


“Sudah tujuh hari. Diproses di gedung depan bagian atas. Biasa, proses pengembangan kasus. Di sana, ada sel kecil. Kami dimasukin disitu,” kata Nedi.


“Jadi hasil perampokan kamu dan mobil yang dipakai sekarang disita?” tanya Reza.


“Iya, hasil rampokan kami jadi barang bukti. Kalau mobil, sudah diambil pemiliknya. Kami kan rental itu mobil. Kebetulan yang punya polisi. Dia beberapa hari lalu dateng kesini. Jadi mobilnya sudah dibawa pulang,” aku Nedi.


“Kalau ngeliat gaya kamu, apa kamu pernah jadi anggota kesatuan di kemiliteran, Nedi?” tanyaku, tiba-tiba.


“Iya, saya pernah dinas di kemiliteran memang. Tapi sudah dipecat. Saya desersi. Karena ngerampok juga,” kata Nedi, terus terang.


“Sampai yang sekarang ini, sudah berapa kali ngerampok?” tanya Tomy.


“Bingung ngitungnya, tapi sudah empat kali ketangkep sama ini,” ujar Nedi dengan suara enteng.


“Tapi kelihatannya om sedih waktu masuk sel ini,” kata Tomy lagi.


“Saya memang sedih bener sekarang ini. Karena istri saya lagi hamil tua. Bulan depan mau lahiran. Dengan masuk gini, berarti saya nggak bisa nemenin waktu dia lahiran. Itu yang buat saya sedih dan terus pengen nangis,” tutur Nedi dengan terus terang.


Kami semua terdiam. Betapapun dalamnya Nedi terjerumus pada lembah kejahatan, namun ia tetap memiliki jiwa kemanusiaan yang amat sakral. Menyayangi keluarga.


“Yang mau lahir nanti anak ke berapa?” tanya Aris.


“Anak yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya saya nggak bisa temani istri lahiran karena masuk bui. Padahal saya sudah janji sama istri, untuk anak yang ketiga ini, saya mau dampingi dia saat lahiran nanti. Nggak tahunya tetep nggak bisa juga, sama dengan dua anak sebelumnya. Itulah yang membuat saya sedih sekarang ini,” kata Nedi mengurai kisah rumah tangganya. 


“Terus soal kewajiban kamar gimana?” Iyos menyela.


“Siap..! Saya siap ikuti aturan di kamar ini, apapun itu,” sahut Nedi dengan tegas.


“Rokoknya gimana? Kan belum diomongin,” ucap Doni, menimpali.


“Kalau bisa malem nanti beli, saya siapkan malem ini juga,” sambung Nedi.


“Ada, nanti ada cas-cas-an. Tapi sebungkusnya Rp 40.000. Kalau tiga bungkus jadi Rp 120.000. Gimana?” kata Ijal.


Nedi mengangguk pasti sambil mengacungkan jempol. Pertanda ia siap untuk mengatasi dananya.


“Emang beda kalau ketemu ipis ya? Nggak banyak macem-macem. Siap aja pokoknya,” kata Doni sambil memandang Nedi.


“Maaf, Babe. Ipis yang dimaksud Doni tadi itu pengganti dari kata residivis. Bahasa keren buat omongan di penjara,” Iyos memberi penjelasan.


Aku menganggukkan kepala. Bertambah lagi kausakata yang tak bakal ditemui diluar penjara. 


“Ngomong-ngomong, tadi nggak kedengeran Atmo ngomongin soal kewajiban kasih rokok sebagai tanda perkenalan, gimana itu,” mendadak Aris menyela.


Kami semua memandang ke arah Atmo. Yang duduk tepekur dan sesekali mengusap matanya. Anak muda itu masih menangis. Meski tidak lagi sesenggukan. (bersambung)

LIPSUS