Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 67)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 08 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


SADAR namanya disebut, tidak lama kemudian Atmo pun berdiri. Ia mengaku selama ini tidak pernah merokok. 


“Jadi gini, Atmo. Kami yang ada di kamar ini nggak peduli kamu selama ini ngerokok apa nggak. Yang penting kewajiban kasih tanda perkenalan itu dengan tiga bungkus rokok. Kalau nggak mau kasih rokok, nyanyi tiga lagu,” kata Iyos. Tegas.


Sesaat Atmo hanya diam. Matanya memperhatikan kami satu-persatu. Kelihatan sekali ia tengah berpikir keras sambil mengendalikan perasaannya yang tengah hancur berkeping-keping karena harus masuk bui.


“Saya pilih menyanyi saja,” kata Atmo kemudian. Ia berdiri dan bernyanyi.


“Nyanyinya sambil joget, Atmo. Kalau cuma diem aja gitu, kayak patung nggak dikasih batu baterei,” ujar Doni.


“Maaf, saya nggak bisa joget. Seumur-umur juga nggak pernah joget. Gimana jadi?” kata Atmo, menghentikan bernyanyinya.


“Ya sekarang kamu harus joget. Seumur kamu selama ini emang nggak pernah joget. Jadi disinilah kamu pecahin telor ngejoget itu,” lanjut Doni.


Akhirnya, Atmo pun bernyanyi sambil berjoget. Saat menyanyikan lagu “Kereta Malam”, ia dipaksa Doni naik ke lantai atas dan berjoget dengan dirinya.


Suasana kamar 10 spontan berubah penuh hiruk-pikuk kegembiraan. Tomy asyik bergendangan dengan memakai galon air mineral.  


Keasyikan kami berdendangria berhenti mendadak saat terdengar suara adzan Ashar dari masjid di samping mapolres.


Semua bergegas mengambil air wudhu. Ijal menyiapkan sajadah. Pepen langsung bergeser, duduk di tempat khususnya.


Selepas mandi sore, aku diberitahu Adit tamping bila di pos penjagaan ada adik istriku, Laksa.  Bergegas aku menemuinya.


Kami berpelukan haru dari sela-sela jeruji besi. Aku kehilangan Laksa yang beberapa hari tidak menengok, karena keluar kota bersama keluarganya. Selain istriku, dialah yang setiap harinya pasti menemuiku. Menyemangatiku. Menyatukan rasa yang tengah aku alami.


“Gimana kabarnya, dek? Baik-baik ajakan?” tanyaku, setelah kami melepaskan pelukan.


“Alhamdulillah, kami semua sehat. Kakak sehat juga kan,” sahutnya. 


“Iya, Alhamdulillah, kakak sehat-sehat aja. Berkat doamu,” ucapku.


Laksa banyak bercerita tentang perlunya tetap optimis dan istiqomah dalam situasi apapun. Karena pada hakekatnya, tidak ada sesuatu pun di dunia yang lepas dari ketentuan Yang Maha Kuasa. 


“Inilah kesempatan yang terbaik buat kakak istiqomah. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Memang, cara Allah memberi waktu untuk kakak lebih dekat dengan-Nya melalui situasi yang sangat tidak mengenakkan. Tapi saya yakin, kakak kuat dan bisa mengambil hikmah dari semua ini,” kata Laksa dengan suara tertahan.


Betapapun juga, sisi kemanusiaannya tidak bisa untuk sepenuhnya begitu saja mengikhlaskan aku harus terpuruk di penjara ini. 


Karena seringkali, permainan dunia begitu menyengat nafas keikhlasan. Apalagi bagi yang masih tertatih mencari jalan menuju kesana.


“Doain kakak terus ya, dek,” kataku dengan suara tercekat. Laksa menganggukkan kepalanya dengan mantap. 


Aku juga sangat yakin, selain istri dan anak-anakku, Laksa adalah orang yang tidak pernah lupa mendoakanku pada setiap waktu. Ada bangunan hubungan batin yang sangat kokoh di antara kami. 


Banyak hal yang kami perbincangkan, sampai suara mengaji dari masjid pertanda akan datangnya waktu solat Maghrib tiba, mulai menggema. Laksa pun berpamitan.


“Saya pulang dulu ya, kak. Tetep semangat ya,” kata dia, sambil menaruhkan amplop berisi uang ke tanganku.


“Masyaallah, dek. Nggak usah terus-terusan ngegimel gini-lah. Kamu kan juga banyak keperluan,” kataku.


“Nggak seberapa kok itu, kak. Sekadar untuk beli apa-apa pas kakak perluin aja. Alhamdulillah, Allah terus kasih rejeki dan kita bisa terus berbagi kayak selama ini,” lanjut Laksa, sambil melepaskan senyum penuh ketulusan.


Saat Laksa akan keluar pos penjagaan, petugas piket menyerahkan dua kantong plastik berisi minuman, rokok, dan makanan kecil. Ternyata, itu bawaan Laksa.


“Ya Allah, banyak amat, dek. Terimakasih banyak ya, dek. Salam untuk keluarga,” kataku.


Laksa hanya menganggukkan kepala dan kembali melepas senyum ketulusan. Ia berjalan gontai meninggalkan pos penjagaan. Seakan ada serpihan kekuatannya yang tertinggal di tempatku ditahan.    


Sekembali dari pos penjagaan, aku lihat kawan-kawan penghuni kamar 10 sudah siap menyambut solat Maghrib. Sudah duduk rapih di sajadah.


“Babe, gimana kalau kita ngajinya dari ayat-ayat pendek dulu. Biar aku bisa ikut belajar ngaji,” kata Doni, begitu aku selesai mengambil wudhu.


“Iya, bagus itu. Ada nggak di sini juz Amma-nya,” sahutku. 


Aku pandangi kawan-kawan. Semua penghuni kamar mengangkat bahu. 


“Izin, Be. Biar aku nanti telepon orag rumah. Minta pas besukan, dibawain juz Amma. Kalau perlu Alqur’annya sekalian,” kata Asnawi.


“Boleh itu, Asnawi. Bagusnya sih nggak cuma satu juz Amma-nya, jadi bisa belajar baca bareng-bareng,” sahutku.


“Siap, Be. Nanti aku minta beliin lima juz Amma. Kalau Alqur’annya satu aja ya,” lanjut Asnawi. Wajahnya sumringah. Mendapat kesempatan untuk berbagi pahala.


“Alhamdulillah. Jadi betah aku di sini kalau banyak waktu kita diisi sama belajar baca qur’an,” kata Iyos sambil tersenyum.


“Tapi kan katanya minggu besok ini sudah pelimpahan, om. Ya nggak kebagian belajar ngaji lagi-lah,” sahut Ijal.


“Iya juga ya, Jal. Tapi baru besok aku mastiin pelimpahannya. Moga-moga aja mundur, jadi bisa ikut belajar baca qur’an dulu,” Iyos menambahkan.


“Kalau sudah waktunya pelimpahan, nggak bisa dimundurin dong, Yos. Kalau dimajuin bisa. Asal bisa ikuti permainannya. Nanti kamu belajar baca qur’annya waktu di rutan aja,” sela Aris.


“Emang siapa nanti yang ngajarin kita baca qur’an? Babe bisa ya?” tanya Tomy, tiba-tiba. 


Aku terhenyak. Pertanyaan Tomy sangat wajar. Sebagai kepala kamar, aku memang dianggap memahami semua masalah dan bisa mencarikan solusi atas masalah. Tapi sekali ini, aku harus jujur.


“Kalau ngajarinnya kayak cara guru ngaji yang mulai dari hafalin huruf alif, ba, ta, tsa, pakai kasroh, dhomah, dan sebagainya itu, aku nggak paham. Tapi kalau baca huruf dan ayatnya, aku bisa. Jadi polanya yang kita ubah,” kataku kemudian.


“Gimana polanya, Be?” tanya Tomy lagi.


“Aku bacain setiap ayatnya, nanti kalian ngulanginnya. Jadi kita baca per-ayat aja. Terus sampai selesai. Kan sudah satu surat,” jelasku. 


Tampak kawan-kawan ragu akan pola pengajaranku. Aku sendiri tidak mungkin memaksakan gaya mengajar membaca Alqur’an yang tidak aku kuasai. 


Aku sudah sangat bersyukur, di dalam penjara justru begitu kencang gaung semangat mempelajari agama dan melaksanakan ibadah. Yang rasanya sangat mustahil, senandung tersebut bisa menyemarakkan hari-hari kami saat di luar. Begitulah jika Allah mulai perlahan membuka misteri kehidayahan.


Adzan Magrib pun menggema. Kami solat berjamaah dengan penuh kekhusu’an. Mendadak suara kencang terdengar dari jeruji besi. Seorang petugas jaga dengan tongkatnya tengah memukuli jeruji besi.


“Sorry, rupanya lagi pada solat ya. Kirain masih ngobrol kayak kamar-kamar lain. Kamu kenapa nggak solat,” terdengar suara petugas itu menyapa Pepen.


“Saya non muslim, pak,” sahut Pepen sambil berdiri dan berjalan menuju jeruji besi.


“O gitu, ya sudah. Salam aja buat Babe,” ujar petugas tersebut, dan tidak lama kemudian terdengar langkah kakinya meninggalkan kamar kami.


Selepas solat, kami akan menjalankan kebiasaan membaca surah yasin. Tiba-tiba Reza nyeletuk.


“Sekali-kali baca surah yang lain sih. Masak yasin terus,” kata dia.


“Adanya cuma buku surah yasin, Reza. Nanti kalau ada Alqur’annya, kita gantian baca surah-surahnya,” jawab Aris.


“Iya juga, Ris. Aku agak jengah karena yang dibaca yasin terus,” kata Reza. Ada tertawa kecil di sela-sela perkataannya.


“Emangnya kenapa, om?” tanya Ijal.


“Nama lengkapku kan Reza Yasin Fadhilah. Jadi kayaknya tiap malem, aku dingajiin terus,” sahut Reza, dan kali ini tawanya meledak.


Semua penghuni kamar 10 pun spontan tertawa. Tetap saja banyak hal yang bisa membuat hati terhibur, meski badan terkurung. (bersambung)

LIPSUS