Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI membaca surah yasin seperti biasa, kami melanjutkan dengan solat Isya. Saat kami tengah solat, terdengar kegaduhan dari kamar di dekat pos penjagaan. Suaranya sangat kencang.
Baru saja salam, semua penghuni kamar 10 langsung berdiri dan menuju jeruji besi. Mencoba mengetahui apa yang sedang terjadi.
Ijal mengambil kaca kecil. Ia keluarkan kaca dari sela-sela jeruji yang ada di pintu kamar, diarahkan ke selasar. Layaknya spion kendaraan, yang sedang ada di selasar pun tergambar dengan jelas.
“Ada apa, Jal?” tanya Tomy.
“Nggak tahu, tapi petugas lagi kumpul di kamar 3. Ada Gustav juga di sana,” kata Ijal. Matanya terus melihat ke spion yang ada ditangannya.
“Nah, seru ini. Dua orang dikeluarin dari kamar 3. Ditarik sama petugas. Dibawa ke arah sini. Dikawal Gustav sama Bagus kepala kamarnya,” lanjut Ijal.
“Ngapain dibawa ke arah sini, Jal?” tanya Iyos. Penasaran.
“Nggak tahu, lagi jalan. Sudah di depan kamar 8. Sudah dulu mantaunya. Nanti ketahuan kita nyimpen kaca spion, malah diambil petugas,” sambung Ijal, sambil bergeser dari pintu kamar.
Petugas jaga membawa dua penghuni kamar 3 ke pojok kompleks rumah tahanan yang tepat di depan kamar 10. Ada Gustav dan Bagus juga.
“Sekarang jujur, bener kamu yang ambil rokoknya Yansen?” kata petugas dengan suara tinggi pada pria bertubuh tambun yang berada di sudut selasar.
Pria bernama Roland itu menggelengkan kepalanya. Matanya nanar. Menatap Yansen yang ada di depannya.
“Buktinya, rokok Yansen ditemuin di tas kamu. Mau ngelak apalagi kamu?” lanjut petugas itu.
Kali ini tangannya bergerak. Mencekik leher Roland. Pria bertubuh tambun yang tersangkut kasus narkoba itu hanya diam. Pasrah.
“Beneran, saya nggak ambil itu rokok Yansen, Bos!” kata dia dengan suara tercekat.
“Kalau kamu nggak ambil, gimana bisa rokoknya di tas kamu,” kata Yansen, menyela.
Roland hanya angkat bahu. Sesekali kepalanya menggeleng. Cekikan tangan petugas masih kencang di lehernya.
Mendadak, tangan petugas itu bergerak. Plak. Menampar wajah Roland. Pria itu hanya diam.
“Jangan sampai saya berbuat kasar ya. Akui aja yang sebenernya,” kata petugas itu. Mulai terpancing emosi.
Kembali, Roland hanya menggelengkan kepalanya. Menandakan ia tetap pada pengakuan awal. Tidak mengambil rokok Yansen, sesama penghuni sel 3.
Melihat kekukuhan sikap Roland, petugas jaga pun tidak kuasa lagi menahan emosinya. Tangannya menghantam wajah Roland. Mengenai hidungnya. Spontan, darah muncrat dari hidung Roland.
“Terus saja saya dianiaya, nggak apa-apa. Mau digebukin sampai lumpuh juga nggak apa-apa, Bos. Karena saya bener-bener nggak ambil itu rokok Yansen,” kata Roland dengan suara bergetar. Matanya tajam menatap petugas jaga.
“Bagus, keluarin semua penghuni kamar 3. Baris disini,” ucap petugas itu kemudian. Memerintahkan Bagus sebagai kepala kamar 3 untuk menghadirkan semua penghuni kamar.
Setelah semua penghuni kamar 3 berbaris rapih di selasar, petugas memerintahkan mereka membuka pakaian dan celana pendeknya. Hanya memakai celana dalam saja.
“Sekarang saya tanya, siapa yang ambil rokok Yansen. Kalau nggak ada yang ngaku, malem ini saya nggak izinin kalian masuk kamar,” kata petugas jaga pada 18 orang penghuni sel 3.
Semua hanya menundukkan kepala. Tidak ada yang bicara. Tampak petugas itu menunggu dengan menahan emosinya yang sudah sempat tersulut.
Sekitar 10 menit tetap tidak ada yang memberi jawaban, petugas memerintahkan tamping menarik selang air dari sudut kamar 5.
“Saya kasih waktu 5 menit, kalau tetep nggak ada yang ngaku, saya siram kalian semua,” ujar petugas itu.
Matanya terus menatap satu-persatu tahanan yang ada di depannya dengan tajam dan penuh selidik.
Belasan tahanan yang berbaris dengan hanya memakai celana dalam itu, tampak sesekali saling berpandangan. Tak keluar satu kata pun dari mereka.
Sementara, semua tahanan yang ada di kamar masing-masing, menyaksikan peristiwa tersebut dari balik jeruji besi. Bergerombol.
“Jadi tetep nggak ada yang ngaku ya? Oke kalau gitu. Sini selang airnya,” kata petugas jaga itu kemudian.
Satu demi satu penghuni sel 3 itu pun disemprot air dari kepala sampai ujung kaki. Berkali-kali. Banyak yang sebentar saja sudah kelihatan menggigil. Kedinginan.
“Maaf, Bos. Kenapa Yansen nggak disuruh juga buka baju dan disiram kayak kami?” kata Roland, tiba-tiba.
Seakan baru tersadar, petugas itu langsung memerintahkan Yansen untuk melakukan hal yang sama dengan sesama penghuni sel 3.
“Saya kan korban, pak. Masak disuruh kayak mereka juga,” ucap Yansen. Membantah perintah petugas.
“Nggak usah ngebantah. Ikuti perintah saya. Apa saya harus berbuat lebih kasar,” sahut petugas itu dengan nada tinggi.
Tidak ada pilihan, akhirnya Yansen juga membuka kaos dan celana pendeknya. Hanya memakai celana dalam, ia ikut berbaris. Dan langsung disiram air keran oleh petugas.
“Waduh, dinginnya, pak. Ampun rasanya,” kata Yansen mengeluh.
“Kamu ini emang anak manja rupanya ya? Saya siramin terus aja dulu, biar kamu nggak kedinginan lagi,” kata petugas jaga itu dan kembali mengarahkan selang air ke badan Yansen.
Tampak Yansen tidak kuasa menahan dinginnya air keran yang disiramkan petugas. Ia langsung duduk. Melipat kedua kaki dan tangan ke badannya.
“Bangun, Yansen. Yang lain aja tetep berdiri, kamu malah enak-enakan duduk,” sergah petugas.
Namun Yansen tidak bergerak. Ia tetap duduk dan menundukkan wajahnya. Mencoba melawan hawa dingin akibat siraman air keran. Kelihatan sekali badannya menggigil kencang. Amat sangat kedinginan.
Melihat perintahnya diabaikan, petugas pun naik pitam. Ia gerakkan kakinya kencang-kencang. Menendang badan Yansen, hingga pria muda terlibat kasus narkoba itu, terjengkang.
“Kamu ini bener-bener ngelawan ya. Jangan karena orangtua kamu berpangkat, bisa seenaknya. Kalau sudah disini, semua sama. Ayo bangun,” kata petugas itu lagi.
Bukannya bangun, Yansen justru merebahkan dirinya. Dengan tetap melipat kaki dan tangan menyatu dengan badannya.
Bagus dan Gustav yang gusar melihat tingkah Yansen pun, bergerak. Diangkatnya badan Yansen dan dipaksakan untuk berdiri. Dibariskan bersama belasan tahanan lainnya.
Aku yang tidak tahan melihat peristiwa itu, beringsut dari jeruji besi. Menuju tempatku. Di pojok kamar, berbatasan dengan kamar mandi.
Tiba-tiba Doni dan Asnawi mendekat. Wajah keduanya tegang. Imbas dari mengikuti kejadian yang tepat di depan kamar kami. Aris juga berbalik menjauhi jeruji besi.
“Maaf, Be. Feeling-ku, ini kasus kayaknya modusnya si Yansen deh,” kata Doni begitu duduk di dekatku.
Aku mengernyitkan dahi. Tidak memahami jalan pikiran Doni. Pun Asnawi, kelihatan menatap wajah Doni.
“Maksudnya kayak mana sih?” tanyaku.
“Nurut dugaanku aja ini ya. Kasus rokok ilang dan ditemuin di tas Roland itu skenario Yansen aja, Be,” ujar Doni. Memperjelas.
“Kok kamu bisa mikir gitu, gimana alurnya,” tanyaku lagi.
“Dulu pernah ada kawanku yang main narkoba, Be. Dia ketangkep. Pas di dalem, dia ketemu kawannya yang dulu ‘mati lampu’ bawa barang dia. Akhirnya dia kerjain dengan pola kayak gini,” Doni mengurai.
“Maksudnya ‘mati lampu’ itu apa?” kembali aku bertanya.
“Itu istilah buat orang yang ambil barang tapi ngilang gitu-lah, Be. Barangnya nggak dibayar. Orangnya nggak bisa dihubungi lagi. Dicari-cari juga nggak ketemu. Nah, ketemu-ketemu lagi pas sama-sama di penjara. Jadi dikerjain sama temenku itu. Persis kayak gini polanya,” kata Doni lagi.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami sebagian permainan di dunia narkoba.
“Terus dengan ngerjain kayak gini, apa yang mau didapetin. Apa uangnya bakal dibalikin, atau gimana,” tanyaku. Penasaran.
“Nggak bakalan uangnya balik-lah, Be. Tapi ada kepuasan tersendiri. Dan orang yang bisa ngerjain kayak gini, bakal disegenin di kalangan pemain narkoba,” jelas Doni. (bersambung)