Oleh, Dalem Tehang
“MASUK akal juga alur pikir Doni ini, Be. Coba diskusiin sama Gustav atau Bagus. Siapa tahu ada benernya. Kasihan yang nggak salah jadi korban dan kedinginan semua gitu,” ucap Asnawi.
Aku terdiam. Pikiranku bekerja. Mempertimbangkan saran Asnawi dari alur pikir Doni.
Sudah lewat tengah malam, ke-18 penghuni sel 3 masih berbaris rapih di depan kamarku, dengan sesekali kembali disiram air keran oleh petugas.
Meski mayoritas tampak sudah menggigil kedinginan, namun tetap tidak ada yang bersuara. Apalagi mengaku sebagai orang yang mengambil rokok Yansen.
Petugas jaga mendekat ke jeruji besi kamar kami. Meminta dibuatkan kopi. Ijal bergerak cepat. Aris mendekat. Ia berikan satu bungkus rokok untuk petugas itu.
“Gimana kalau tetep nggak ada yang ngaku, Dan?” tanya Aris pada petugas itu.
“Nggak bakal saya masukin sel, sampai ada yang ngaku. Biar aja mereka kayak gini,” sahut petugas itu, sambil menyulut rokok pemberian Aris.
Doni dan Asnawi memberi isyarat padaku. Untuk memberitahu petugas jaga akan adanya kemungkinan permainan Yansen sendiri dalam kasus ini.
“Ayolah, Be. Nggak ada salahnya dicoba. Kasihan mereka-mereka yang nggak salah itu. Gimana kalau kejadian kayak gitu kita yang ngalamin,” kata Doni. Menggugah jiwa dan menyemangatiku.
Akhirnya, aku bangun dan menuju jeruji besi. Didampingi Doni dan Asnawi. Petugas jaga yang sedang menyandarkan badannya di jeruji besi, ku ajak bicara. Pelan.
Setelah aku ceritakan apa yang disampaikan Doni, tampak ia mengernyitkan dahinya. Berkali-kali. Pertanda ia pun tengah berpikir keras.
Sesekali matanya menatap Doni. Seakan meminta kebenaran atas apa yang ia sampaikan padaku. Doni menganggukkan kepalanya dengan mantap. Penuh keyakinan.
Selepas beberapa kali mengirup kopi panas buatan Ijal, sambil membuang rokoknya, petugas itu berjalan. Mendekati belasan tahanan yang berbaris rapih dengan kondisi kedinginan. Ia ambil selang air, dan kembali semua disiramnya.
Saat sampai di tempat Yansen berdiri, petugas itu lama menyiramkan air dari selang yang ada ditangannya. Hingga membuat Yansen beberapa kali gelagapan akibat air deras menghantam wajahnya berkali-kali.
Pria muda itu kembali duduk. Tidak kuasa lagi menahan dingin yang telah masuk ke tulang sumsumnya.
“Bangun, atau saya tendang lagi,” kata petugas jaga sambil terus mengarahkan air ke badan Yansen.
“Nggak kuat lagi saya berdiri, pak. Kaki saya gemetaran. Bisa pingsan nanti,” ujar Yansen dengan suara terbata.
“Saya bilang bangun, harus bangun. Kamu mau pingsan juga bukan urusan saya. Sampai kamu ngomong apa adanya, nggak bakal saya berhentiin air ini ke badan kamu,” kata petugas jaga.
Kali ini, petugas jaga itu bicara dengan nada tinggi dan terarah pada Yansen asal muasal persoalan.
Tampak Yansen terkejut. Wajahnya menengadah. Menatap wajah petugas jaga. Mendadak, satu semprotan air lagi-lagi mengenai wajahnya. Pria terlilit kasus narkoba itu, kembali gelagapan.
“Ayo, ngaku aja terus terang. Saya paham dengan modus kamu ini,” kata petugas jaga sambil menatap wajah Yansen dengan penuh amarah.
“Ampun, pak. Iya, pak. Saya ngaku, pak,” kata Yansen sambil berteriak dan menangis.
“Ayo ngaku yang bener dan ngomong yang kenceng, biar semua denger,” lanjut petugas itu.
Tangannya yang terus memegang selang air, masih diarahkan ke badan Yansen. Berulang-ulang siramannya. Dari kepala hingga kaki. Dan sebaliknya.
Perlahan-lahan, dengan menyandarkan badannya ke tembok selasar, Yansen berusaha untuk berdiri. Badannya gemetaran. Menggigil kencang.
“Katanya mau ngomong, ayo sampein. Biar semua denger. Jangan kayak banci,” hardik petugas jaga.
“Iya, pak. Sebenernya saya sendiri yang taruh rokok di tasnya Roland. Saya sakit hati sama dia. Karena barang saya nggak dibayarnya sampai sekarang,” kata Yansen kemudian. Suaranya kencang namun terbata-bata.
Spontan, penghuni sel 3 yang di-strap hampir semalaman, bergerak. Memukuli dan menendang Yansen dengan penuh emosi. Hingga pria muda itu terjatuh. Darah bercucuran dari hidung dan bibirnya.
Roland pun tidak tinggal diam. Ia injak jari tangan Yansen hingga berbunyi. Kretek. Seakan belum puas dengan itu, ia ambil bekas botol air mineral, ia isi dengan air seninya dan dimasukkan ke mulut Yansen.
“Manusia biadab. Seumur-umur kamu bakal bawa air kencingku. Puas kamu kalau sudah gini,” kata Roland dengan amarah menggelegak.
Bagus, kepala kamar 3, bergerak. Memeluk badan Roland. Meredakan amarahnya. Petugas jaga kembali menyandarkan badannya ke jeruji besi di kamarku. Sesekali ia tersenyum.
Ia tampak menikmati atas upayanya mengungkap misteri kasus ini. Ia biarkan para penghuni sel 3 melampiaskan amarah pada Yansen, yang sudah tidak berdaya.
Setelah beberapa waktu, baru petugas itu mendekat. Ia meminta semua penghuni sel 3 kembali berbaris.
“Mohon maaf atas kekasaran saya. Inilah cara saya untuk menemukan kebenaran. Tolong kalian pahami pola saya ini. Kalau ada yang sakit hati atau dendam, silahkan pukul saya sekarang. Yang pasti, dari hati yang terdalam, saya mohon maaf dengan cara saya yang membuat kalian semua kedinginan,” kata petugas itu.
Suara petugas itu bergetar hebat. Penuh rasa penyesalan. Semua penghuni sel 3, terdiam. Tampaknya mereka memahami dan tidak mempersoalkan kejadian yang baru saja mereka alami selama beberapa jam terakhir ini.
“Jadi kalian semua memaafkan saya ya,” kata petugas itu lagi.
Seluruh tahanan penghuni kamar 3 menganggukkan kepalanya. Dengan sikap sportif, petugas itu menyalami dan memeluk mereka satu-persatu. Suasana pun berubah menjadi penuh balutan keharuan.
Gustav segera mengajak belasan tahanan penghuni sel 3 untuk kembali ke kamarnya. Secara khusus ia meminta tamping menyiapkan air panas untuk mereka membuat minuman hangat.
“Yansen ini gimana, Dan,” kata Bagus pada petugas jaga.
Saat itu Yansen tengah pingsan dan tergeletak begitu saja di sudut selasar. Terbujur sendirian.
“Biar aja dia sadar sendiri. Besok pagi saya buat laporan soal ini. Biar dia cepet pelimpahan atau dipindah ke tahanan polsek aja. Saya takut emosi nanti kalau ngelihat dia masih disini. Apalagi kelakuannya selama ini cengengesan,” sahut petugas itu sambil berjalan kembali menuju pos penjagaan.
Beberapa meter sebelum masuk pos penjagaan, petugas itu berhenti. Memanggil Roland.
“Secara khusus, saya minta maaf sama kamu. Kalau kamu sakit hati, silahkan pukul sampai hidung saya berdarah seperti yang kamu alami,” kata petugas itu, berdiri berhadapan dengan Roland.
“Sama-sama, Bos. Saya juga minta maaf, karena nggak mau ngakuin apa yang nggak saya perbuat. Saya emang pecandu narkoba, tapi bukan maling,” ucap Roland sambil tersenyum dan menyalami petugas.
“Jadi sudah maafin saya ya. Mau pukul hidung juga nggak apa-apa. Kita mainkan hukum qisos,” kata petugas itu dengan wajah serius. Gentlemant.
Roland menggerakkan tangannya ke wajah petugas. Namun bukannya ia balik memukul hidung, tapi sekadar menarik hidung petugas saja.
Melihat perilaku Roland tersebut, petugas jaga itu pun tertawa. Dan, sesaat kemudian, keduanya berpelukan. Sebuah akhir dari suasana penuh intrik dan kekerasan yang amat indah. (bersambung)