Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 71)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 12 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


HEBAT juga cara memotivasi Ustad Rusdi itu ya. Dia sebar semangat perbagus diri disini. Setahuku dulu, dari cerita orang-orang, penjara itu isinya orang kusut semua. Begundal dan nggak ngenal agama. Nggak tahunya, yang aku alami langsung, beda bener,” kata Aris kemudian.


“Dia emang penceramah, Ris. Jadi jago ngomongnya. Ngebuat orang tebuay sama apa yang dia sampein,” timpal Reza.  


“Sebenernya, ya banyak juga yang kusut disini, Ris. Begundalnya juga nggak sedikit. Yang nggak mau tahu soal agama jangan-jangan malah lebih banyak. Kebetulan kita di kamar yang isinya orang-orang nyadarin kesalahan dengan cepet dan gerak cepet juga buat deketin diri sama Tuhan. Belum tentu kita jadi rajin solat gini kalau di kamar lain, Ris,” ucap Doni, panjang lebar.


Aris dan kami semua menganggukkan kepala. Menyepakati apa yang disampaikan Doni. Beragam orang dengan karakter masing-masing memang tidak akan bisa begitu saja melentur pada lingkungannya. Ada proses yang harus dilalui dan kesungguhan hati dalam menjalani.


“Yos, jangan lupa dicek. Bener nggak hari ini kamu pelimpahan. Sekalian cari info, siapa aja di kamar ini yang pelimpahan,” kataku, mengingatkan Iyos.


“Siap, Be. Abis mandi, aku izin keluar ke pos penjagaan. Lapor minta ditemuin sama penyidik,” sahut Iyos. 


Pria muda low profile pemilik konter hp di pusat perbelanjaan yang tersangkut kasus penadahan ini pun bergerak. Mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.


Saat apel pagi, Iyos meminta izin pada petugas untuk keluar kamar, juga minta dikomunikasikan dengan penyidik kasusnya, terkait dengan agenda pelimpahan.


“Oke, nanti kami komunikasikan dulu ya. Kalau sudah fix, dikabari sama tamping,” kata petugas piket.


Tiba-tiba Aris mendekat ke posisiku yang sedang bersandar di dinding kamar mandi sambil berbincang ringan dengan Atmo.


“Ada apa, Ris?” tanyaku.


“Be, kok rasa-rasanya aku bakal lebih cepet deh pelimpahannya. Jangan-jangan hari ini,” ucap Aris dengan wajah serius.


“Kamu ini suka bener ngeduga-duga, Ris. Tunggu faktanya ajalah. Ngapain juga ngerasa-ngerasa gitu kalau cuma bikin gupek,” sahutku. Cuek.


“Rasa-rasanya aja sih, Be. Tapi gimana kalau beneran?” lanjutnya sambil mengekspresikan dengan menggerakkan kedua tangannya.


“Kalau beneran pelimpahan hari ini, ya jalani aja. Emang apa beratnya,” kataku lagi.


“Nah, itu masalahnya, Be. Gimana sama urusan surat persetujuan gugatan cerai istriku? Aku kan nggak disini lagi. Apa mau terus jalan aja gugatannya tanpa persetujuanku,” ujar Aris.


“Kalau itu emang berlanjut, pengacara istrimu pasti nemuin kamu di rutan-lah, Ris. Gitu aja kok bingung sih. Santai ajalah,” jawabku, tetap dengan cuek.


“Terus nanti kayak mana sikapku, Be?” tanya dia. Kali ini suaranya tampak ada penekanan.


“Ya mau kamu kayak mana emangnya? Mau nyetujuin apa gimana?” tanyaku balik.


“Jujur, aku masih bingung sampai sekarang, Be. Harus bersikap kayak mana. Apalagi anak-anak kan nggak mau aku pisah sama mamanya,” tutur Aris lagi.


“Sudah nggak usah kamu kembangin terus pikiran itu. Nanti pada saatnya pasti ketemu jawabnya. Kamu pasti punya sikap nanti. Serahin sama yang ngatur dunia seisinya ini, Ris. Perbanyak aja doa. Selesai itu,” sahutku, tidak mau terus-terusan bertimpalan pendapat.


Saat Aris baru akan bicara lagi, terdengar suara gembok pintu kamar dibuka. Deni tamping langsung berdiri di pintu.


“Om Aris, om Iyos, om Doni, dan Ijal. Dipanggil ke pos penjagaan,” kata Deni tamping dengan suara keras.


Semua yang namanya disebut Deni, saling berpandangan. Penuh tandatanya. Namun tetap bergegas menuju pintu kamar, dan keluar.


“Apa mau pada pelimpahan semua tah kawan-kawan itu, Be?” tanya Tomy. Aku hanya mengangkat bahu. Tidak tahu.


“Habis kamar kita kalau mereka semua berangkat hari ini, Be. Bisa lapang dulu kita semaleman nanti,” lanjut Tomy.


“Kita tunggu aja perkembangan dari kawan-kawan yang dipanggil itu. Apa ceritanya. Baru kita bisa ngomong lanjutannya,” kataku. 


Atmo menepuk pahaku. Meminta waktu untuk bicara. Memang, sejak obrolan kami dipotong pembicaraan Aris, Atmo hanya diam dan mendengarkan saja.


“O iya, sampai mana tadi obrolan kita ya, Atmo? Maaf, gara-gara Aris gupek, jadi kepotong obrolan kita,” kataku kemudian.


“Jadi gini lo, Be. Saya mau minta bantu. Karena saya punya penyakit asma, tolong diperbolehkan saya tidurnya di atas. Di lantai bawah ini dingin bener, apalagi deket kamar mandi,” ucap Atmo setelah dilihatnya aku konsentrasi memandanginya.


“O, kamu punya asma ya?” tanyaku, terkejut.


“Iya, sejak kecil penyakit itu, Be. Kalau kedinginan, sering kambuh. Nanti kalau sampai kambuh, pasti ngerepotin seisi kamar. Saya nggak mau sampai begitu,” lanjut Atmo dengan wajah sungguh-sungguh dan ekspresi memelas.


“Ya sudah, nanti aku atur dulu. Kalau bener kawan-kawan yang dipanggil ke pos penjagaan itu pelimpahan hari ini, nanti aku tempatin kamu di lantai atas. Tapi aku harus punya alasan yang masuk akal, bukan sekadar kamu sakit asma aja. Coba bantu aku mikirin apa alasannya ya, Atmo,” kataku lagi.


“Kalau bang Iyos jadi pelimpahan, kan bendahara kamar kosong, Be. Gimana kalau saya yang gantiinnya,” ucap Atmo. Ada semangat pada ucapannya.


“Emang kamu ngerti urusan keuangan? Bisa bikin matrik debet kredit dan sebagainya itu?” tanyaku, dengan serius.


“Paham-lah, Be. Saya kan lulusan SMK jurusan akuntansi. Lagian selama ini saya juga tangani bisnis jual beli aki. Jadi sudah biasa ngurusin keuangan,” jelas Atmo dengan penuh percaya diri.


“Oke, kalau soal keilmuan dan pengalaman kamu paham. Sekarang, kamu bisa aku percaya nggak? Kamu bisa jujur dan transparan nggak? Sebab, yang kamu kelola itu uang semua penghuni kamar ini. Bukan punya pribadiku dan pribadimu,” sambungku tetap dengan serius.


“Siap, Be. Inshaalah saya bisa jujur dan transparan. Nggak akan saya nganeh-nganeh. Percaya Babe sama saya,” kata Atmo dengan tegas.


“Oke kalau gitu. Nanti kita atur. Ya sudah gitu aja, aku mau mandi,” ujarku, menyudahi obrolan dengan Atmo.


Selepas mandi, aku tergerak untuk solat dhuha. Cukup lama aku tepekur di atas sajadah. Sampai suara teguran menyudahi prosesi peribadatanku.


“Babe, maaf. Diminta ke pos penjagaan. Ada istri dan temen-temennya,” suara Deni yang keras menutup kegiatanku saat itu.


Sampai di pos penjagaan, aku lihat istriku dengan dua orang laki-laki. Mereka langsung mendekat ke jeruji besi dimana aku berdiri.


Ku peluk dan cium istriku. Lama kami berpelukan. Baru kedua lelaki yang bersamanya menyalamiku.


“Ini Makmun, ayah. Lawyer yang diminta adik-adik ayah ngebantu. Dia sama timnya nanti akan kordinasi dengan penyidik,” kata istriku memperkenalkan.


“O iya, ayah tahu kalau Makmun ini. Dulu waktu kuliah, sering nginep di rumah. Jadi gimana prosesnya ini,” kataku.


Makmun menjelaskan panjang lebar proses penunjukan mereka sebagai lawyer-ku, menggantikan Rudolf. Termasuk langkah-langkah yang akan mereka ambil nantinya secara hukum.


“Oke, prinsipnya saya sepakat. Segera siapkan surat kuasanya, nanti saya tandatangani. Hari ini juga saya siapin surat pencabutan kuasa ke Rudolf,” ujarku.


Setelah berbincang beberapa saat, mereka berpamitan. Istriku kembali ke kantornya. Aku pesan kepada istriku segera meminta Rayhan datang ke tempatku untuk nanti mengantarkan surat pencabutan kuasa ke Rudolf.     


Sesampai di kamar, aku tulis surat pencabutan kuasa terhadap Rudolf. Hidup memang menentukan pilihan. Dan sekali memilih, apapun kondisi dan risikonya harus diterima. Pun yang aku lakukan saat ini.


Baru saja aku lipat kertas surat buat Rudolf, pintu kamar sel dibuka. Aris, Iyos, Doni dan Ijal masuk. Wajah mereka tampak penuh kegalauan. (bersambung)

LIPSUS