Oleh, Dalem Tehang
“KAN bener rasa-rasaku, Be. Abis dhuhur nanti, aku dan kawan-kawan ini pelimpahan,” ucap Aris yang langsung merebahkan badan di tempatnya biasa tidur.
“Alhamdulillah. Selamet kalau gitu. Satu proses sudah dilalui, masuk ke proses selanjutnya. Yang penting tetep tenang,” kataku sambil menepuk bahu Aris, Iyos, Doni, dan Ijal secara bergantian.
“Kok Babe malah Alhamdulillah sih. Ini musibah buat kami,” sela Ijal.
“Apapun itu tetep disyukuri, Jal. Jadi ya Alhamdulillah. Dari sini pelimpahan. Setelah diberkas di kejaksaan, dititipin di rutan. Terus sidang. Begitu putus, tetep di rutan apa di lapas, sampai selesai jalani hukuman. Kan emang gitu alurnya. Kenapa jadi nganggepnya musibah. Kamu ini ada-ada aja,” kataku, memperjelas.
“Aduh, Be. Nggak kebayang kayak mana nanti di rutan. Bisa jadi apalah aku nanti disana. Salah-salah jadi tamparan orang,” ucap Ijal dengan suara memelas. Ingin menangis.
“Jal, nggak usah ngebayangin yang susahnya dong. Namanya di bui itu, mau di rutan atau di lapas, ya pastinya susah itulah. Tapi nggak perlu juga diratapi. Jalan-jalani aja. Lagian disana kan ada pak Edi, ada Joko. Cari aja mereka, masak mereka nggak jagain kamu, nggak mungkinlah,” sahutku, mencoba menenangkan.
“Nggak usah jadi anak cengeng gitu, Jal. Kita berempat tetep sejagaan. Tenang aja kamu,” kata Doni dengan suara tegas.
Iyos mendekatiku. Menyerahkan buku catatan keuangan kamar, serta uang yang tersisa. Diuraikan dengan rinci semua catatan pembukuan yang ada.
Ia juga menjelaskan, hari itu ada 22 tahanan di mapolres yang pelimpahan.
“Jadi gimana ini, kawan-kawan. Kita rapat nentuin pengganti Iyos dan Ijal, apa gimana baiknya,” kataku.
“Tunjuk aja sama Babe siapa yang gantiin Iyos dan Ijal. Kami sepakat aja,” sahut Reza.
Aku palingkan pandangan ke arah penghuni kamar 10 lainnya, yang hari itu belum memasuki proses pelimpahan berkas perkara dan penyerahan tersangka. Tomy, Irfan, Arya, Asnawi, Atmo, dan Nedi. Semua memberi isyarat sepakat dengan yang disampaikan Reza.
“Ya sudah kalau gitu. Nanti aku sampein setelah kita ngelepas kawan-kawan yang pelimpahan,” kataku kemudian.
Aku dekati Aris yang masih menengkurapkan badan di tempatnya tidur selama ini. Aku tepuk bahunya. Terasa ada kesedihan begitu mendalam. Badannya bergetaran.
“Kamu itu orang kuat, Ris. Nggak ada yang perlu diberatin,” kataku setengah berbisik di dekat telinga Aris.
“Aku inget anak-anak, Be. Kalau aku di rutan nanti, kayak mana mereka mau ngebesuk. Jauh tempatnya. Disini aja baru sekali kemarin itu,” ucap Aris. Ada nafas yang tertahan di sela bicaranya.
“Nanti pasti ketemu caranya kok, Ris. Nggak usah apa-apa ngebuat kamu sedih gini. Kata orang, yang namanya ujian itu nguatin, bukan ngelemahin” lanjutku sambil mengelus punggungnya.
“Yah, orang bisa bilang apa aja, Be. Tapi kan kita yang ngerasain. Sekuat-kuat kita, ada kalanya juga drop. Dan buatku, kalau sudah kepikiran anak, emang langsung down gini. Kita masing-masing kan punya kelemahan, Be. Jadi tolong pahami,” kata Aris, panjang lebar.
Perlahan ia balikkan badannya. Menelentang. Tampak matanya kuyu. Usai menumpahkan airmata. Ditatapnya aku yang duduk di sampingnya dengan pandangan tajam.
“Aku pasti kangen sama Babe. Jujur, aku ngerasa pas ketemu Babe. Kita bisa sharing soal apa aja dan saling nguatin. Cepetan urus pelimpahan ya, Be. Nanti kita sekamar lagi di rutan,” ujar Aris seraya duduk dan memelukku, erat-erat.
“Iya, Ris. Aku juga ngerasain sama dengan yang kamu rasain. Inshaallah semua urusan kita dimudahkan Sang Maha Pengatur,” sahutku, memeluk Aris juga.
Tiba-tiba Ijal mendekat, membawa cangkirku. Ternyata sudah berisi minuman kesukaanku; kopi pahit. Masih kedul-kedul.
“Kopi terakhir buatan Ijal ini, Be. Mudah-mudahan nanti di rutan, Ijal tetep bisa jadi OD di kamar Babe,” kata Ijal dan tampak tersenyum kecut.
“Terimakasih ya, Jal. Aku nggak bakal bisa lupain kebaikanmu. Berdoa aja semua urusan kita dipermudah,” kataku sambil memeluk Ijal.
Anak muda berstatus mahasiswa itu pun memelukku dengan kencang. Dan tak lama kemudian ia sesenggukan. Menangis. Tiada kuasa menahan kesedihan.
Suasana kamar pun diliputi kesedihan. Seakan pelimpahan adalah masa perpisahan yang takkan pernah bisa bertemu lagi.
Padahal, semua memahami, pelimpahan itu tak lain hanyalah sebuah proses perpindahan tempat penahanan semata. Dan dipastikan akan bertemu kembali di rumah tahanan negara alias rutan.
Namun itulah yang terjadi, manakala jiwa telah menyatu melebihi kedekatan lahiriyah. Ada rasa kehilangan yang begitu mendalam saat sosok yang biasa ada di sekeliling, menjadi terjauhkan.
Meski memang ada saatnya kita perlu mengambil jeda, memberi ruang untuk logika. Tapi ternyata, ketenangan itu sesungguhnya memang merupakan makanan jiwa yang paling istimewa.
Dan semua penghuni kamar 10 seakan tersadarkan, dengan pelimpahan beberapa kawan sekaligus hari ini, ketenangan itu menjadi terusik. Bahkan seakan tercerabut begitu saja dari sumbernya.
Aku minta Ijal memanggil tamping, untuk pesan empat bungkus nasi berlauk telur bulat.
“Buat siapa itu, Be? Kan kita sudah ada makan siang,” tanya Tomy.
“Buat bekal kawan-kawan kita yang pelimpahan. Kita kan nggak tahu, berapa lama proses pelimpahannya, juga gimana nanti kondisi di rutan sana,” ucapku.
Kawan-kawan penghuni sel 10 pun memahami apa yang aku perbuat. Dan mereka juga sangat mendukung saat aku putuskan, masing-masing yang menjalani pelimpahan dipegangi dana Rp 100.000. Dan mulai berlaku saat ini hingga ke depannya. Semua kebutuhan tersebut aku ambilkan dari uang kas kamar.
Seusai solat Dhuhur dan makan siang, Aris, Iyos, Doni, dan Ijal sudah siap untuk mengikuti pelimpahan. Tinggal menunggu panggilan dari pos penjagaan.
Masing-masing telah merapihkan pakaian dan barang bawaannya di dalam kantong plastik. Plus nasi bungkus dan dua gelas air mineral.
Hawa kamar 10 masih diliputi suasana sedih. Semua lebih banyak diam. Bahkan terasa agak tegang. Seakan menunggu detik-detik kematian.
Aris mendekatiku dan berbisik pelan: “Itu botol, buat Babe ya. Percayain aja satu orang jagainnya di ember!”
“Kirain kamu bawa hp-nya, Ris,” sahutku. Juga pelan. Aris menggeleng.
Aris memanggil Ijal. Menanyakan carger hp. Ijal menjelaskan, alat pengisi baterai telepon genggam itu juga direndam di dalam ember.
“Hati-hati ya, Be. Kita nggak tahu siapa yang nanti masuk ke kamar ini gantiin kami. Cermat-cermat aja. Di bui gini banyak pecundang dan pengkhianatnya. Nggak segen-segen ngabisin teman sekamar,” kata Aris, mengingatkanku.
“Oke, inshaallah aku bisa terus cermat, Ris. Kamu dan kawan-kawan juga bawa diri baik-baik di rutan. Tetep pede dan low profile aja ya,” ucapku menimpali.
Pintu kamar dibuka Adit tamping. Aris, Doni, Iyos, dan Ijal pun bergerak. Kami semua melepas mereka dengan pelukan dan rasa kehilangan.
Kami pandangi langkah mereka menuju pos penjagaan. Tiba-tiba Aris berbalik. Berdiri di depan jeruji kamar 10.
“Ada yang ketinggalan, Ris?” tanya Reza begitu melihat Aris.
“Babe mana?” kata Aris, balik bertanya.
Saat itu, aku sedang di kamar mandi. Buru-buru aku keluar dan mendekati Aris yang berdiri di balik jeruji besi.
“Kenapa, Ris?” tanyaku, ada kekhawatiran.
“Titip salam untuk Ayuk ya, Be. Sampein terimakasih banyak atas semua bantuan dan dukungannya selama ini. Tolong doain adik Babe ini. Jangan lupa ya, sampein ke Ayuk,” ujar Aris dengan suara bergetar.
Tampak matanya memerah. Ada kesedihan disana. Namun ia tutupi dengan buru-buru beranjak pergi. Melangkah cepat menuju pos penjagaan.
Berselang beberapa menit kemudian, terdengar suara petugas membariskan para tahanan yang akan pelimpahan. Dan bergeraklah 22 tahanan itu menuju ke bus yang telah disediakan untuk membawa mereka ke kejaksaan. (bersambung)