Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 73)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 14 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang

 

REZA mendekat ke posisiku yang sedang santai bersandar di pintu kamar, sambil menikmati kopi pahit dan merokok.


“Maaf ini, Be. Sudah terpikir belum sama Babe siapa yang gantiin Iyos dan Ijal,” kata Reza, setelah duduk berhadapan denganku.


“Kepikir sih sudah. Tapi kalau kamu ada saran, sampein aja,” sahutku. Merespon positif.


“Izin ini, Be. Kalau boleh, aku aja yang jadi OD,” ujar Reza. Suaranya serius. 


Ku tatap wajah pria berusia beberapa tahun di bawahku itu dengan lekat-lekat. Sungguh tidak aku duga ia akan mengajukan diri sebagai orang dapur alias OD di kamar ini.


“Kenapa kamu kepengen jadi OD?” tanyaku, setelah bisa menutupi keterkejutan.


“Sebenernya, kepengen sih nggak, Be. Cuma sikon memaksa aku harus ambil langkah. Kebetulan OD kita kosong, jadi aku beraniin diri ajuin badan,” kata Reza.


“Coba ngomong terus terang aja, jangan pakai bersayap gitu. Biar gampang aku mahaminnya,” kataku, menyela.


“Jadi gini, Be. Aku kan nggak diurus lagi sama perusahaan tempatku kerja. Praktis aku nggak ada uang buat kebutuhan disini. Ketimbang aku jadi beban kawan-kawan, baikan aku jadi OD aja,” ujar Reza, mengurai permasalahan.


Aku terdiam. Ini masalah kompleks. Mengikuti keinginan Reza untuk dia menjadi OD menggantikan Ijal, berarti akan menimbulkan ketidaknyamanan di kamar. Karena ia sudah cukup tua, sedang mayoritas penghuni kamar lebih muda. Akan terjadi ketidak-enakan antar-penghuni kamar jika memerintahkan Reza. 


Sebaliknya, jika aku menolak permintaannya, ia akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bulanan di kamar. Dan itu, akan menimbulkan kecemburuan sesama penghuni kamar.   


“Jadi gimana, Be? Bisa aku aja yang jadi OD ya,” kata Reza, tiba-tiba. Membuyarkan perdialogan pikiran dan batinku.


“Aku pikirin dulu ya, Reza. Agak ribet ini soalnya,” kataku, pendek. 


“Maksudnya agak ribet kayak mana, Be?” tanya Reza. Penasaran.


Aku tidak langsung menjawab. Berpikir keras otakku. Apakah akan menyampaikan pandanganku apa adanya, ataukah menutupi dengan bahasa dan langkah lain.


“Ya sebenernya sih nggak ribet-ribet amat juga, Reza. Nanti-lah ya. Aku pikirin dulu,” sahutku sekenanya.


“Kalau emang Babe nggak mau, ngomong aja terus terang. Nggak perlu ngelak dengan pakai bahasa ribet gitu juga kali,” kata Reza. 


Suaranya meninggi. Diikuti ia beranjak berdiri dan pergi dari tempatnya duduk di depanku dengan menunjukkan ekspresi kekesalan. Menghantamkan kakinya ke tembok dengan penuh emosi.


Spontan, darahku mendidih. Dengan gerakan cepat dan sekuat tenaga, aku tarik kaosnya dari belakang. Sampai robek dan badannya terguling di lantai. Aku langsung duduk di atas badannya. Menjepit usahanya untuk berontak. 


Semua penghuni kamar bertindak cepat. Memegangiku yang mencekik leher Reza. 


“Kurang ajar kamu ya. Puah,” kataku sambil meludahi wajah Reza.


Asnawi dan Arya menarik badanku. Melepaskan jepitan kakiku ke badan Reza. Irfan dan Nedi menarik badan Reza.


“Sabar, Be. Reza emang kadang kelewatan kalau ngomong dan bersikap,” kata Asnawi sambil memegangi tanganku yang masih bergetaran karena menahan amarah.


Aku tatap Reza yang duduk sambil menundukkan wajahnya didampingi Nedi dan Irfan. Amarahku semakin menggila.


“Kita berantem aja yok. Siapa yang kalah, keluar dari kamar ini,” tantangku.


Reza hanya diam. Merasa diabaikan, aku kibaskan pegangan Asnawi dan bergerak cepat ke arah Reza. Kakiku menghantam tepat di wajahnya. Dari hidungnya langsung mengucur darah segar.


“Sudah, Be. Tahan emosi,” kata Nedi sambil mengangkat badanku bersama Asnawi. Menjauhkan dari Reza.


“Ini orang emang kurang ajar. Biar dia bangun kalau bener-bener jagoan,” kataku dengan nada tinggi.


Nedi dan Asnawi mendorongku ke tempat tidur. Tidak berselang lama, Atmo mendekat, membawa segelas air putih.


“Minum dulu, Be. Tenangin ya,” kata Atmo dan menyerahkan gelas di tangannya.


Perlahan, aku minum air yang diberikan Atmo, sambil menata napas. Namun pandanganku tetap ke arah Reza, yang masih duduk terdiam sambil mengelap darah segar dari hidung memakai kaosnya.


Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Ngangin. Aku berikan uang ngangin pada Adit tamping. Kami semua belum ada yang bergerak ke luar kamar.  


“Om, ada sopirnya. Katanya mau ambil surat,” kata Adit, beberapa saat kemudian.


Buru-buru aku buka buku catatan, dan mengambil selembar surat. Pencabutan kuasa buat Rudolf yang aku tulis tangan.


Aku pesankan pada Rayhan, sopirku, untuk memfotocopi surat tersebut, sebelum yang aslinya diberikan kepada Rudolf. Dan menyerahkan fotocopinya kepada istriku, Laksmi.


Saat akan kembali ke kamar selepas memberi arahan pada Rayhan, aku lihat pak Rudy sedang berjalan menuju pos penjagaan. Aku putuskan untuk menunggu komandan tahti tersebut.


“Selamat siang menjelang sore, pak Rudy,” sapaku, begitu dia masuk ke pos penjagaan.


“Siap, pak Mario. Sehat-sehat ya,” sahutnya. Kami pun bersalaman.


Pak Rudy memerintahkan petugas piket membuka pintu penghubung ruang pos penjagaan dengan kompleks tahanan. Akhirnya, aku pun berbincang dengan pak Rudy di ruang penjagaan.


“Gimana, baik-baik ajakan, pak Mario. Apa ada masalah?” tanya pak Rudy, begitu aku duduk di sampingnya.


“Alhamdulillah semua baik-baik saja, pak. Tadi empat orang penghuni kamar pelimpahan. Termasuk OD. Kalau memungkinkan, saya minta ada tahanan dari kamar lain dipindahkan ke kamar 10, untuk saya jadikan OD,” kataku.


“Memang tidak ada yang mau jadi OD?” tanya pak Rudy lagi.


“Ada yang mau sebenernya, pak. Hanya saja, dia sudah terlalu dewasa. Padahal di kamar, banyak yang muda-muda. Nanti pasti tidak berjalan baik sebagai OD,” jelasku.


“Bener itu, pak. Nanti dia ogah-ogahan. Dan yang muda-muda juga sungkan kalau mau menyuruh-nyuruh. Boleh saja kita pindahkan, kita tukar tempat saja. Nanti bilang ke petugas piket. Siapa yang pak Mario keluarkan, dan siapa yang ditarik. Mohon maaf, saya tidak bisa lama-lama. Mau ada briefing kapolres,” ucap pak Rudy.


Sambil berdiri, ia memberi penjelasan pada petugas piket tentang pembicaraan kami dan langkah yang akan diambil. Selepas itu ia bergegas meninggalkan pos penjagaan. Aku masuk kembali ke kompleks rumah tahanan.


“Sekarang eksekusinya apa nanti, Be?” tanya petugas piket.


“Sebentar ya, saya kordinasi dulu dengan kawan-kawan,” kataku dan berjalan di selasar, kembali ke kamar.


Saat melewati kamar 8, aku lihat Hasbi tengah duduk di sudut sambil membaca buku. Aku datangi dia.


“Oh, Babe. Maaf, nggak lihat,” kata dia, begitu tahu aku duduk di depannya.


“Singkat aja ini, Hasbi. Kamu mau nggak pindah ke kamar 10. Kamu jadi OD. Sekalian ajarin kami mengaji,” ucapku dengan pelan.


“Alhamdulillah. Mau bener, Be. Terimakasih banyak, Be,” sahut Hasbi dan mendadak memelukku. Penuh haru.


“Oke kalau gitu. Siapin barang-barang kamu. Nanti petugas piket yang ngatur,” lanjutku dan meninggalkan kamar 8.


Begitu masuk kamar 10, aku lihat Reza merebahkan badan. Entah tertidur atau apa. Aku panggil semua penghuni kamar, untuk keluar. Berkumpul di sudut selasar.


“Jadi gini. Aku mau keluarin Reza. Gantinya Hasbi dari kamar 8. Dia yang nanti jadi OD, sekalian ngajarin kita ngaji. Kalau ada yang nggak setuju, bilang sekarang,” kataku dengan tegas.


“Kami ikut dan patuh apapun keputusan Babe. Kami percaya, yang Babe lakuin buat kenyamanan kita semua,” ucap Nedi.


Aku tatap satu-persatu penghuni kamar 10 yang berkumpul di sudut selasar. Semua menganggukkan kepala.


“Berarti kita sepakat ya. Kalau nanti ada yang nganeh-nganeh, pasti aku bagal,” kataku kemudian, kali ini dengan nada tinggi. Ada nuansa pengancaman pada perkataanku.


Aku pesankan untuk semua penghuni kamar 10 agar tidak membocorkan rencanaku ini kepada Reza.  


Dan kini tersadari, jika aku mulai terbiasa kapan harus bersikap lembut, dan kapan saatnya bertindak tegas. Bahkan keras dan kasar jika diperlukan. 


Ternyata, kondisi lingkungan, acapkali, bisa mengubah karakter seseorang, meski secara perlahan. (bersambung)

LIPSUS