Oleh, Dalem Tehang
AKU mengajak Nedi dan Tomy ke pos penjagaan. Menyerahkan nama Reza untuk dikeluarkan dari kamar 10 dan Hasbi sebagai penggantinya. Bertukar tempat.
“Siap, Be. Sebelum maghrib, kami eksekusi,” kata petugas jaga itu dengan penuh hormat.
Kami bertiga melanjutkan ke kamar 3. Tampak Bagus, kepala kamarnya, sedang bermain catur.
“Bisa ganggu sebentar, Bagus?” kataku dari depan pintu sel.
Bagus pun berdiri. Meninggalkan keasyikannya bermain catur.
“Ada perintah, Be?” ucapnya, begitu berdiri di depanku.
“Biasanya, kalau mindahin orang ke kamar kita, kasih berapa ke petugas?” kataku kemudian. Dengan suara perlahan.
“Cepek aja, Be. Sekadar uang rokok doang. Emang Babe mau ngeluarin orang ya,” sahut Bagus. Aku mengangguk.
“Terus masukin dari kamar mana? Kamar Babe lagi lowong bener sekarang ya, karena tadi banyak yang pelimpahan,” lanjut Bagus.
“Aku ambil Hasbi dari kamar 8. Ngeluarin si Reza. Iya, isi kamar sekarang cuma delapan orang. Mungkin sehari dua ini bakal nambah orang kayaknya,” kataku.
“Kalau aku bukan kasus narkoba, mau aku gabung di kamar Babe. Selain kamarnya paling ujung, juga rukun damai orang-orangnya,” ujar Bagus dengan wajah serius.
“Sudah nasib kamu, Bagus. Mau gimana lagi. Oh ya, itu si Yansen nggak aku lihat tadi? Emang sudah dipindahin?” kataku lagi.
“Sudah, Be. Subuh-subuh abis kejadian waktu itu. Langsung diangkut keluar. Dimasukin sel di polsek. Aku bersyukur dia cepet pindah, jadi nggak bawa pengaruh negatif sama penghuni yang lain,” sahut Bagus.
“Kalau Roland tetep di sini ya?” tanyaku.
“Iya, tetep-lah, Be. Dia dendem berat sama Yansen. Nanti di rutan pasti bakal dikerjain habis si Yansen,” jelas Bagus.
Setelah berbasa-basi sesaat, kami pun pamit. Saat melewati kamar 7, aku lihat Rusdi sedang cengkrama di depan kamar.
“Pak ustad, izin ngomong sebentar,” ujarku, sambil menarik tangannya.
“Kok jadi grubukan gini to, Be. Emang ada apa?” tanya ustad Rusdi begitu kami berdiri di dekat tembok selasar.
“Izin ini. Aku mau tarik santri sampeyan. Si Hasbi mau aku ajak ke kamar 10. Jadi OD sekalian ngajarin kami ngaji,” kataku.
“Oh ya, Alhamdulillah. Dia emang bener-bener lagi kesulitan buat bayar uang kamarnya. Babe nyelametin dia dengan ngajak pindah kamar ini. Terimakasih banyak ya, Be,” kata ustad Rusdi yang spontan menepuk-nepuk bahuku. Ekspresi kelegaan.
“Syukur kalau gitu, pak Ustad. Emang Allah sudah ngatur kayak gini. Izin yo,” sahutku, dan berpamitan pada Rusdi.
Aku kembali ke sudut selasar. Bergabung dengan penghuni kamar 10 dan beberapa tahanan dari kamar lain. Kami bersendau-gurau penuh keriangan. Tidak merasakan bila kehidupan kami dibatasi oleh jeruji besi.
Dari kejauhan aku lihat Adit tamping berjalan mendekati posisi kami. Di tangannya, terdapat satu kantong plastik penuh dengan isi di dalamnya. Begitu sampai di depanku yang tengah ndeprok, dia langsung duduk.
“Om, ada adiknya di pos,” kata Adit, dan meminta rokok. Aku keluarkan satu batang rokok dari bungkusnya, dan memberikan kepada tamping yang aktif ini.
Sebelum berjalan menuju pos, aku minta Adit menaruhkan kantong plastik yang dibawanya ke tempat tidurku. Setelahnya, kami berjalan bersamaan menuju pos penjagaan.
Begitu sampai di pos, Laksa, adik istriku, langsung menuju tempatku berdiri. Di pojokan. Kami bersalaman dan berpelukan dari sela-sela jeruji besi.
“Sehat-sehat ya, kak,” kata Laksa dengan tetap memegang tanganku erat-erat.
“Alhamdulillah, dek. Berkat doamu dan keluarga, kakak selalu sehat. Semua keluarga di rumah juga sehat kan,” sahutku.
“Alhamdulillah. Kami semua sehat. Tapi bener kan kakak sehat-sehat aja? Atau lagi ada apa gitu?” kata Laksa lagi. Ada kesan ia tengah menyelidik.
“Iya, kakak sehat kok. Alhamdulillah nggak ada masalah apa-apa,” kataku dengan meyakinkan. Mengupas kekhawatirannya.
“Syukur kalau begitu, kak. Saya khawatir kakak ada apa-apa, jadi langsung aja kesini dari kantor. Tadi saya ngerasa kakak lagi kenapa-kenapa gitu. Alhamdulillah kalau baik-baik aja,” sambung Laksa. Kali ini tampak ada kelegaan pada wajahnya.
Aku pahami jika Laksa punya sensitifitas tinggi terhadapku. Karena kami selama ini memang sangat dekat. Hubungan batin kami sangat erat. Kami tidak merasa sebagai ipar, namun benar-benar kakak dan adik.
Sempat terpikir olehku untuk menceritakan insiden kecil yang terjadi antara aku dan Reza. Namun akhirnya aku urungkan. Aku khawatir, justru akan menambah beban pikirannya, karena terus dibayangi oleh hal-hal yang tidak mengenakkan yang aku alami selama di dalam penjara.
Di saat kami tengah berbincang santai, suara adzhan Ashar menggema dari masjid. Laksa pun berpamitan. Kami kembali berpelukan. Cukup lama. Saling merindukan kebersamaan seperti sebelum-sebelumnya, yang kini hilang. Dan tidak tahu, akankah berulang.
“Selalu jaga kesehatan dan hati-hati ya, kak. Saya percaya, kakak kuat menjalani garisan takdir ini,” ucap Laksa sambil menyalamiku dengan penuh kehangatan.
“Inshaallah. Saling doa yang penting ya, dek. Salam untuk keluarga,” sahutku.
Laksa membuka tas kecilnya. Ia keluarkan beberapa bungkus rokok dan sebuah amplop berisi uang.
“Masyaallah. Nggak usah terus kasih uang gini-lah, dek. Ayukmu setiap hari juga kesini kok. Kalau kakak ada perlu-perlu, ayuk nanti yang siapin,” kataku.
Laksa tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Penuh ketulusan. Meski di matanya tampak ada kesedihan. Matanya berkaca-kaca. Menahan air yang akan tumpah.
Setelah berpamitan dengan menyalami semua petugas jaga, Laksa melangkah keluar kompleks rumah tahanan. Menuju parkiran kendaraan di samping gedung mapolres.
Seiring adzhan Ashar, acara ngangin pun diakhiri. Semua penghuni kompleks rumah tahanan kembali masuk ke kamar masing-masing.
Selepas mengimami solat Ashar, aku langsung mandi. Setelah sebelumnya menaburkan cairan pembersih kuman ke dalam bak mandi. Karena air keran di kompleks rumah tahanan ini begitu keruh dan sedikit berbau. Aku khawatir air itu membawa kuman yang bisa menimbulkan gatal di badan.
Banyak tahanan di kamar lain yang mengalami penyakit gatal-gatal setelah mandi. Bahkan, banyak yang terserang kudisan.
Beruntung, sejak awal masuk sel, istriku selalu mengirimkan cairan pembersih kuman, yang rutin aku taburkan ke bak mandi setiap pagi dan petang. Sehingga semua penghuni kamar 10 terbebaskan dari serangan penyakit kulit.
Baru saja aku selesai memasukkan pakaian kotor ke dalam kantong plastik, pintu kamar dibuka. Adit tamping berdiri di tengah pintu sambil tersenyum padaku. Di tangannya, ada dua kantong plastik berisi makanan. Aku langsung paham. Ada istriku sore ini datang.
Dan benar saja. Begitu aku sampai di jeruji samping pos penjagaan, istriku langsung bergerak dari tempat duduknya. Setengah berlari, menuju tempatku berdiri. Setelah mencium tanganku, ia langsung memelukku erat-erat.
“Kangen bener bunda sama ayah,” kata dia berbisik di telingaku. Aku menganggukkan kepala.
“Ayah juga kangen sama bunda,” ujarku. Dan mencium pipi istriku. Penuh dengan kehangatan yang meletup kencang dari rasa kangen nan mendalam.
“Bunda nggak bisa lama-lama sore ini ya, ayah. Habis maghrib mau anter nduk ke dokter. Dia demam sejak semalem. Mungkin karena selama ini dingin tempat tidurnya,” kata istriku.
“Kok bisa kedinginan? Emang tidurnya dimana?” tanyaku.
“Nduk ayah kan selalu tidur di sajadah ayah. Ya di tempat ayah biasa solat itulah. Dia nggak mau tidur di kasur,” jelas istriku.
Aku terdiam. Menangis batinku. Begitu dalamnya duka yang dialami jiwa anak gadisku, Bulan. Begitu kehilangannya ia akan sosokku yang kini terkurung di bui. Begitu merintihnya ia punya hati yang selalu memanggil dan merindukanku.
“Naikin aja sajadahnya ke tempat tidur. Jadi nggak langsung kena lantai kalau dia tidur,” ujarku.
“Sudah beberapa kali bunda bilang gitu. Bahkan pernah bunda susun rapih di ranjangnya. Eh, malem-malem dia turunin lagi sajadahnya di tempat biasa ayah solat, dan dia tidur meringkuk disitu,” sahut istriku. Ada nada prihatin yang begitu dalam dari perkataan istriku, Laksmi.
“Ya sudah, nanti malem ayah usahain telepon ya, bunda. Nanti ayah yang minta nduk bawa sajadahnya ke tempat tidurnya, tetep jadi alas dia tidur,” kataku. Suaraku bergetar. Penuh kesedihan dan mencuatnya rasa bersalah yang mengangkasa.
Aku serahkan kantong plastik berisi pakaian kotor kepada istriku. Dan ia pun pamit pulang. Aku perhatikan langkahnya yang begitu gontai meninggalkan kompleks rumah tahanan. Yang rutin ia datangi sejak beberapa puluh hari belakangan ini. Seiring penahananku.
Tanpa terasa, airmata ku pun berjatuhan. Memercik di lantai tempatku berdiri di samping pos penjagaan. Terasa benar, begitu terpuruknya diriku melihat derita batin yang dialami istri dan anak-anakku saat ini. (bersambung)