Oleh, Dalem Tehang
TIBA-tiba petugas jaga mendekatiku. Yang masih terfokus melihat langkah gontai istriku meninggalkan kompleks rumah tahanan. Buru-buru aku hapus airmata yang masih tersisa di sudut mata.
“Maaf, Be. Bisa eksekusi sekarang yang pindah kamar itu?” kata petugas jaga.
“O iya. Bisa. Bagusnya memang sekarang. Saya izin disini dulu kalau begitu. Kalau eksekusi sudah selesai, baru saya kembali ke kamar,” ucapku.
Seiring petugas piket membuka pintu pemisah pos penjagaan dan kompleks rumah tahanan, aku keluar. Duduk di pos penjagaan. Sambil berbincang dengan petugas yang lain.
Sekitar 15 menit kemudian, petugas piket yang mengatur perpindahan tahanan, kembali ke pos penjagaan. Baru aku masuk kembali.
Dan setelah ngegimel sekadar uang rokok kepada petugas yang mengurus pertukaran tahanan, aku pun kembali ke kamar. Diantar oleh Adit tamping, yang bertugas membuka dan mengunci kembali pintu kamar.
“Ini Hasbi tempatnya dimana, Be?” tanya Tomy.
“Taruh aja dulu barangnya dimana aja. Kita solat Maghrib dulu. Nanti kita atur,” kataku, dan langsung ke kamar mandi. Wudhu.
Seusai solat dan membaca yasin. Aku minta semua penghuni kamar duduk di tempatnya masing-masing.
Aku putuskan, Tomy, Irfan, Arya, dan Pepen pindah tempat. Naik ke lantai atas. Bersama aku dan Asnawi. Yang tetap dibawah tinggal Atmo dan Nedi. Ditambah Hasbi yang baru masuk.
“Jadi, sekarang bendahara kamar aku percayain sama Atmo. Dan Hasbi menjadi OD. Inshaallah, kalau keluarga Asnawi sudah ngirim Alqur’an dan juz Amma, Hasbi juga ngajar kita mengaji,”ucapku.
“Siap, Be. Inshaallah besok pas hari besukan, istriku sudah bawain Alqur’an dan juz Amma-nya,” kata Asnawi. Bersemangat.
Setelah aku bacakan catatan keuangan kamar yang diserahkan Iyos sebelum pelimpahan, dan ditambah beberapa pengeluaran selanjutnya, aku serahkan buku keuangan dan uangnya kepada Atmo sebagai bendahara kamar.
“Inget, Atmo. Yang bisa merintahin kamu keluarin uang itu cuma Babe. Nggak ada perintah lain yang wajib kamu patuhi. Dan kalau ada apa-apa, harus lapor Babe,” kata Tomy sambil memandang Atmo.
Atmo, anak muda berjiwa wiraswasta yang tersangkut kasus penadahan aki curian itu, menganggukkan kepalanya.
“Emang ada Tom yang minta keluarin uang ke Atmo kalau bukan Babe?” tanya Arya.
“Ya bisa aja-lah. Di kamar 6 ada cerita. Bendahara kamar digebukin gara-gara dia keluarin uang karena diminta sesama tahanan disitu. Gilanya, bendahara itu baru bilang pas orangnya sudah pelimpahan,” jelas Tomy.
“Kok bisa gitu? Emang kap-nya nggak dikasih tahu sama bendahara?” sela Asnawi.
“Itu masalahnya. Bendaharanya takut sama orang itu, karena diancam. Jadi dia nggak berani lapor ke kap-nya,” lanjut Tomy.
“Itulah perlunya kontrol keuangan. Mulai besok, setiap habis besukan, malemnya kita minta bendahara nyampein perkembangan kas kamar. Jadi semua transparan,” kataku, mencari solusi untuk menghindari peristiwa seperti di kamar 6.
Dalam hati, aku berterimakasih kepada Tomy yang telah mengungkap kasus di kamar 6. Karena aku tahu, Atmo sesungguhnya memiliki mental yang lemah.
Dengan cerita Tomy, aku berharap Atmo akan memiliki kesempatan untuk membangun ketegaran mentalnya. Dan hal ini sangat diperlukan untuk hidup di dunia penjara.
Di saat kami masih makan malam selepas solat Isya, petugas datang. Apel malam. Tampak salah satu dari tiga petugas itu tidak berkenan dengan kondisi kami saat itu.
“Besok-besok, saya nggak mau ngelihat sebelum apel sudah pada makan ya? Yang penting apel dulu,” kata petugas itu dengan suara kencang.
Kami semua penghuni kamar 10 sebenarnya sudah berdiri. Berbaris rapih. Meninggalkan makanan di piring yang ada di lantai, untuk mengikuti apel. Namun tetap saja disalahkan.
“Kok pada diem? Denger nggak yang saya bilang,” lanjut petugas itu, masih dengan suara kencang.
“Siap, Dan,” sahut kami bersamaan.
“Oke, untuk malem ini saya maafin. Tapi kalau besok-besok waktu saya pimpin apel masih sambil makan, saya buang makanan kalian semua,” sambung petugas itu, dan beranjak pergi.
Sepeninggal petugas tersebut, kami kembali melanjutkan makan malam. Meski menjadi kehilangan selera.
Seorang tamping datang. Langsung membuka pintu kamar. Ia memberitahuku jika di-bond penyidik. Karenanya harus segera ke pos penjagaan.
“Malem-malem gini di-bond ya, Be? Kok aneh ya?” ucap Asnawi. Aku hanya angkat bahu.
“Kalau di bui mah jangan ngomong aneh-lah, Nawi. Justru aneh kalau semuanya biasa-biasa aja, kayak kita di luar,” sahut Nedi sambil tertawa.
Didampingi tamping, aku berjalan menuju pos penjagaan. Aku lihat penyidik perkaraku ada disana.
Budi, penyidik itu, mengajakku berbicara di ruang penyidikan. Di ruang Jatanras di lantai II kompleks mapolres. Namun aku menawar. Berbicara di dalam kompleks rumah tahanan saja.
Di bagian belakang pos penjagaan. Ada tempat duduk dari semen yang cukup lumayan untuk berbicara serius.
Budi kordinasi dengan petugas piket. Dan disetujui untuk kami berbicara di dalam kompleks rumah tahanan.
“Saya mau memastikan saja, pak Mario. Apa benar bapak mencabut kuasa kepada Rudolf,” kata penyidik Budi, setelah kami duduk berdampingan.
“Iya, saya memang mencabut kuasa kepada Rudolf. Tadi siang suratnya diantar ke kantornya,” sahutku.
“Oke, berarti benar itu surat pak Mario yang menandatanganinya ya. Karena tadi, Rudolf telepon saya. Mengabarkan pencabutan kuasa dari pak Mario. Jadi saya perlu clear-kan. Terus nanti tetap akan memakai pengacara atau bagaimana,” lanjut penyidik Budi.
“Iya, rencana tetap pakai pengacara. Mungkin sehari dua nanti, pengacara yang baru akan kordinasi dengan pak Budi,” kataku.
“Kalau boleh tahu, siapa rencananya pengacara nanti?” tanya dia. Menyelidik.
“Ada, masih kenalan dekat juga. Namanya Makmun. Dia dengan beberapa temannya akan menjadi pengacara saya ke depannya,” jelasku.
“Makmun? Makmun mana ya, pak. Saya kok masih asing dengan namanya,” ucap penyidik Budi.
Dahi penyidik senior di polres itu tampak mengernyit. Pertanda ia tengah mencoba mengingat nama Makmun. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya.
“Dia memang tidak banyak berkiprah disini, pak. Cuma asli memang orang sini. Dan punya kantor juga disini. Memangnya kenapa, pak,” kataku lagi.
“Maksudnya, kalau memang tetap akan memakai pengacara juga, mungkin saya bisa beri masukan siapa-siapa yang selama ini cukup kenal baik dengan kami disini. Jadi lebih enak kordinasinya. Itu juga untuk memudahkan pak Mario ke depannya,” penyidik Budi memperjelas maksudnya.
“O gitu, pak. Saya meminta Makmun menjadi pengacara ini berdasarkan masukan dari adik-adik dan telah disepakati istri. Tentu nanti mereka akan kordinasi dengan pak Budi sebagai penyidik perkara saya,” ucapku. Menegaskan sikap.
“Oke kalau memang sudah begitu. Kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya ke depan. Terimakasih, pak Mario,” kata penyidik Budi dan berdiri.
Setelah menyalamiku, ia meminta petugas piket membuka pintu pemisah ruang penjagaan dan kompleks rumah tahanan. Tanpa basa-basi, ia langsung pergi meninggalkan kompleks tahanan.
Seorang petugas piket dari tim tahti bertanya mengenai pembicaraanku dengan penyidik Budi. Aku jelaskan sekadarnya.
“Sebenarnya penyidik tadi mau menyodorkan pengacara yang dia kenal baik, kalau Babe belum punya pilihan,” ujar petugas piket itu.
“Iya, saya paham kok maksudnya, pak. Niat pak Budi tadi itu baik. Tapi saya dan istri sudah sepakat memilih pengacara,” jawabku. Dan segera meminta izin untuk kembali ke kamar.
Sesampai di kamar, kawan-kawan menanyakan ada masalah apa sehingga malam-malam aku di-bond penyidik. Aku ceritakan apa yang baru saja terjadi.
“Mestinya Babe bilang aja belum ada pengacara pengganti. Pasti nanti penyidik merekomendasikan si A atau B untuk jadi pengacara Babe. Yang memang dekat dengan dia,” kata Nedi.
“O gitu. Terus kalau aku pakai pengacara yang dia tunjuk, apa manfaatnya,” kataku.
“Banyak manfaat pastinya. Pengacara pilihan penyidik itu sudah pasti paham dengan lika-liku alur proses hukum selanjutnya, termasuk trik-trik permainannya,” jelas Nedi.
“Misalnya kayak mana, Nedi?” tanyaku.
“Nanti Babe akan dibantu untuk ngatur di kejaksaan sampai ke persidangannya. Karena istilahnya, yang ngawal Babe sebagai pengacara itu, memang kolega mereka. Cincai-cincai-an gitu-lah,” lanjut Nedi.
“Emang bisa ada kemudahan?” ucapku. Penasaran.
“Ya pasti kalau itu mah, Be. Waktu pelimpahan Babe, pastinya bakal dipercepat. Di kejaksaan juga berkasnya nggak lama-lama, langsung dijadwalin sidang. Nanti pengacara itu yang ngelobi jaksa. Dan jaksa kordinasi sama hakim untuk kelanjutannya. Termasuk mau divonis berapa, ada nego-negonya itu,” urai Nedi. Panjang lebar.
“Emang bisa gitu?” ujarku. Makin penasaran.
“Aduh, Babe. Semua urusan dunia ini bisa diatur. Asal main cantik aja. Yang penting ada fulus-nya,” kata Nedi. Meyakinkanku.
Aku hanya bisa menarik nafas panjang-panjang. Pikiranku tidak bisa membayangkan bagaimana pola permainan yang disampaikan Nedi. Spesialis tindak kriminal perampokan yang memang telah berulangkali masuk bui. (bersambung)