Oleh, Dalem Tehang
NEDI tampaknya paham jika perkataannya menjadi pikiranku.
“Kalau memungkinkan, Babe main cantik aja,” kata dia, sambil memandangiku dengan wajah serius.
“Persoalannya, aku kan belum paham lapangannya, Nedi. Ini lapangan becek apa nggak,” sahutku. Sekenanya.
“Maaf ini, Be. Kita bakal tahu lapangan itu becek apa nggak, setelah kita tugasin orang buat ngeceknya. Nggak mungkin kita kan yang langsung ngecek lapangan? Jadi sebenernya, nggak perlu buru-buru nentuin lawyer. Nanti kita sesuaiin dengan kondisi lapangan,” jelas Nedi.
“Maksudnya gimana?” tanyaku. Makin sulit mengikuti alur permainan Nedi.
“Jadi gini lo, Be. Kalau lapangannya becek, baiknya kita pakai lawyer yang bisa nyelesaiin urusan di balik permainan. Dia nggak perlu turun ke lapangan, tapi sudah ngondisiin akhir permainan,” kata Nedi lagi.
“Konkretnya kayak mana sih?” tanyaku lagi.
“Kalau lapangan becek, maksudnya proses persidangan nanti jadi perhatian banyak kalangan, pakai lawyer yang ahli nyelesaiin urusan dari balik persidangan. Jadi persidangannya cuma formalitas aja,” sambung dia.
“Emang bisa lawyer nyelesaiin perkara tanpa ke persidangan,” kataku. Penasaran.
“Ya, bisa-lah, Be. Makanya cari lawyer yang ahli nyelesaiin perkara tanpa dia harus muncul ke persidangan. Timnya aja yang ikut sidang. Dia cukup ngelobi aja. Clear ini,” Nedi memperjelas.
Mendadak seorang petugas piket berdiri di jeruji, dan menyebut nama Nedi.
“Yang namanya Nedi mana,” kata petugas itu. Spontan Nedi berdiri. Dan mendekat ke jeruji besi.
Tampak petugas itu menyerahkan sebuah amplop ke tangan Nedi. Dan setelahnya, langsung berbalik. Kembali ke pos penjagaan.
Setelah duduk kembali di tempatnya, Nedi membuka amplop. Ada kertas kecil. Dan dibacanya. Sesaat kemudian, ia ke kamar mandi. Membakar kertas kecil dan amplop tersebut.
Sekeluar dari kamar mandi, Nedi mendekat ke tempatku merebahkan badan. Dan, ia rebahkan badannya di sampingku.
“Nanti aku izin keluar kamar sebentar ya, Be. Ada yang mau ketemu,” kata dia sambil berbisik ke telingaku.
Aku hanya menganggukkan kepala, tanpa menoleh ke posisi Nedi yang ada di sebelah kiriku.
“Babe mau dibawain apa,” tanya dia. Juga masih dengan berbisik.
“Nggak usah. Kamu bawa badan baik-baik aja. Jangan bikin masalah,” sahutku, tetap dengan menatap ke plafon.
Sesaat kemudian, Nedi bangun dan kembali ke tempatnya. Irfan yang menempati bidang di sebelahku, mulai merapihkan kantong plastik berisi pakaian yang menjadi bantalnya.
“Babe sudah ngantuk ya?” tanya dia sambil memandangiku. Aku hanya mengangguk.
“Mau sambil aku pijitin kakinya biar cepet tidur,” kata Irfan lagi.
“Nah, boleh juga itu, Fan. Siapa tahu pijitanmu enak dan buatku bisa tidur nyenyak,” sahutku sambil memandang wajah Irfan.
Pria muda yang tersangkut kasus pembobolan konter hp itu pun memulai aksinya. Memijat telapak kakiku. Tidak terlalu kencang, tapi juga tidak pelan. Tepat sesuai keinginanku.
Tiba-tiba aku tersadar, berjanji dengan istriku untuk menelepon. Buru-buru aku minta Irfan menyudahi pijatan enaknya.
Aku bergerak ke kamar mandi. Setelah meminta Asnawi memantau kondisi di luar sel.
Ku ambil hp jadul warisan Aris yang disimpan di dalam plastik kecil dan dimasukkan ember rendaman pakaian. Sambil berjongkok di kloset, aku aktifkan telepon seluler itu.
“Assalamualaiakum,” kataku, begitu saluran tersambung.
“Waalaikum salam. Alhamdulillah ayah bisa telepon. Kami sudah dari dokter, ini nduk ayah baru minum obat,” ucap istriku yang mengangkat teleponnya.
“Kenapa nduk itu kata dokter?” tanyaku.
“Demam sama ada radang tenggorokan. Sudah dikasih obat kok. Kalau tiga hari ke depan belum pulih, disuruh dateng lagi dan cek darah. Khawatirnya kena DBD,” jelas istriku.
“O gitu, sekarang nduk dimana?” tanyaku lagi.
“Ini, di samping bunda. Nduk, ini ayah,” kata istriku dan memberikan hp ke anak gadisku, Bulan.
“Hai, ayah. Mbak nggak apa-apa kok, ayah. Demam biasa aja. Ayah nggak usah khawatir ya,” ujar Bulan begitu telepon genggam di tangannya.
“Ayah percaya nduk kuat. Tapi kalau terus-terusan tidur di lantai cuma beralas sajadah, malah nggak sehat-sehat nanti. Mulai malem ini sajadahnya dibawa naik ke kasur aja, tetep jadi alas nduk tidur,” kataku.
“Kalau sajadahnya dibawa ke atas, bau ayahnya nggak kerasa lagi. Maka mbak tetep tidur di bawah, di tempat ayah biasa solat. Disitu bau ayah kerasa bener di sajadahnya,” urai Bulan. Suaranya serak. Menahan kesedihan.
“Kalau gitu, besok ayah kirimin sajadah yang ayah pakai selama di tahanan ini ya. Tapi nduk tidurnya di kasur. Sajadahnya tetep jadi alas. Bau ayah pasti lengket bener. Nemplek pokoknya,” ucapku. Juga menahan kesedihan.
“Beneran besok ayah kirim pulang sajadahnya ya? Malem ini mbak mau tidur di kasur pakai sajadah yang ada ini. Mulai besok pakai sajadah yang ayah pakai sekarang,” kata Bulan lagi. Ada nada ceria dari perkataannya.
“Iyo, besok ayah kirim lewat bunda. Yo wes, sekarang nduk istirahat. Ayah selalu doain kok. Mejemin mata sambil berdoa dan bayangin ayah pelukin nduk. Langsung bobo yo,” kataku kemudian.
Tanpa menyahut lagi, Bulan menyerahkan telepon kembali ke tangan istriku.
“Nduk ayah ini emang unik. Kadang pembawaannya begitu kuat. Tegar dan berdiri tegak. Tapi mendadak kelihatan kuyu dan terpuruk. Ayah harus ekstra doain nduk, dan sering-sering memotivasi dia,” kata istriku. Dengan penekanan.
“Iya emang, nduk itu beda. Tadi ayah janji, besok mau kirim pulang sajadah yang ayah pakai selama di tahanan. Tolong besok bunda bawain sajadah pengganti ya,” ucapku.
“O gitu, pantes dia langsung mau tidur di ranjang. Sajadah ayah yang dia jadiin alas tidur selama ini, dibawanya ke kasur. Inshaallah, besok kalau sudah dikirim sajadah ayah yang sekarang, dia mau tidur di kasur terus. Jadi nggak sakit-sakitan karena tidur di lantai sudah dua bulan lebih sejak ayah ditahan,” jelas istriku.
Aku terdiam. Membayangkan betapa menderitanya batin anak gadisku, Bulan. Dan betapa beratnya beban yang menggelayut pada istriku. Ia sesungguhnya amat terpuruk dengan kenyataan yang ada saat ini.
Namun ia tahu persis, anak-anak sepenuhnya hanya bergantung pada ketegarannya saat ini. Sehingga seterpuruk dan serapuh apapun yang dirasakannya, ia tetap menunjukkan jika dirinya kuat dan tetap tangguh.
“O iya, ayah kok masih pakai hp-nya Aris? Emang nggak dibawa waktu dia pelimpahan?” tanya istriku, setelah kami sama-sama diam beberapa waktu.
“Aris ngasihin hp-nya ke ayah. Biar kita tetep bisa komunikasi. Lagian, nggak mungkin juga bawa hp waktu pelimpahan. Masuk rutan pasti disita,” sahutku.
“Oh ya, Alhamdulillah. Tetep aja ada kemudahan dan ketemu orang baik ya, ayah. Terus bersyukur seberat apapun yang kita alami ini. Jangan pernah putus wirid Alhamdulillah. Baca aja dalam hati, terus dan terus,” kata istriku lagi.
Aku ceritakan, tadi penyidik memanggilku terkait pencabutan kuasa pada Rudolf dan rencana penunjukan Makmun dengan timnya sebagai lawyer-ku ke depannya.
“Rencananya besok pagi, Makmun mau nemuin ayah, minta tandatangan kuasa hukum. Bunda suruh langsung aja ke ruang penahanan, nanti pasti dibantu sama petugas piket. Inshaallah semua rencana kita lancar ya, ayah,” ucap istriku.
Aku mengaminkan harapan istriku. Betapapun, jangan pernah kehilangan harapan. Begitu aku pernah dipesankan oleh seorang teman, karena sesungguhnya, kesenangan dan kesusahan yang kita terima, pada hakekatnya adalah kesengajaan Tuhan agar kita mendekatkan diri kepada-Nya. Dan itulah cara Dia terus menebar harapan untuk para makhluk-Nya. (bersambung)