Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 77)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 18 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang

  

INI cah ragil dari tadi nunggu giliran ngomong sama ayah,” sambung istriku, dan memberikan hp-nya ke Halilintar, anak bungsuku.


“Assalamualaikum, ayah. Sehat terus ya,” kata Halilintar, membuka obrolan.


“Waalaikum salam. Tole ayah harus sehat terus juga ya. Nggak boleh sakit-sakit. Nanti nggak ada yang jagain bunda dan mbak, kalau jagoan ayah sakit,” sahutku.


“Alhamdulillah adek sehat terus, ayah. Berkat doa ayah. Tadi juga nemenin bunda nganter mbak ke dokter,” kata anak bungsuku yang biasa dipanggil Adek.


“Gimana sekolahmu, le. Tetep prioritas belajarnya yo. Jangan terlalu banyak kegiatan ekstranya, jadi nggak keganggu belajarnya,” kataku. Mengingatkan.


“Siap, ayah. Adek tetep utamain belajar kok. Dan Alhamdulillah, nilai ulangan harian, juga tugas-tugas sekolah semuanya bagus. Oke banget kalau kata bunda,” jawab Halilintar. Suaranya mantap. Penuh percaya diri namun tetap merendah.


Sesaat aku terdiam. Bangga atas ketegaran mental anak-anakku berkat suntikan semangat yang terus dilakukan istriku selama ini. 


Penjauhan secara fisik antara aku dan istri serta anak-anak, sesungguhnya tidak banyak mempengaruhi jiwa mereka. Meski tetap harus diakui, ada “kehilangan” yang tidak bisa digantikan oleh apapun dan siapapun. 


“Ayah, sudah dulu ya. Adek mau tidur. Besok kan pagi-pagi mau sekolah. Ada ulangan matematika juga,” kata Halilintar, mengejutkan lamunanku sesaat.


“O iyo, le. Jangan lupa berdoa sebelum tidur. Terus saling doa ya, jagoan,” sahutku.


“Ayah sudah ngantuk belum? Kalau sudah ngantuk, kita tidur ya. Bunda capek bener rasanya,” kata istriku, setelah hp diberikan oleh Halilintar.


“Yo wes, kita tidur dulu. Besok pagi-pagi kan bunda juga harus ngantor. Selamat tidur, kesayangane ayah,”sahutku, dan mematikan telepon.


Setelah menyimpan kembali telepon seluler ke dalam plastik kecil dan memasukkan ke ember rendaman pakaian, aku keluar kamar mandi. 


Aku lihat, Nedi telah siap menunggu panggilan. Sedang Asnawi masih menatap ke luar sel dari sela-sela jeruji besi. Menjalankan tugas, mengawasi lingkungan seperti yang aku perintahkan.


“Sudah, Asnawi. Terimakasih,” ujarku sambil menatap Asnawi yang masih siaga.


“Oke, Be. Sekarang izin tidur ya,” sahut Asnawi, dan langsung merebahkan badannya di tempat ia mendapat jatah bidang untuk tidur. 


Aku langsung merebahkan badan, di atas sajadah yang menjadi alas tidur. Irfan yang sebelumnya sudah merebahkan badan, mendadak bangun.


“Kita lanjut pijetnya ya, Be. Tadi kan baru imit-imit aja,” kata Irfan sambil meminta aku menjulurkan kaki.


“Mijetnya sampai aku tidur, Fan. Jangan tanggung,” pintaku.


Ku taruh rokok dan korek di samping Irfan menjalankan tugas memijatnya. Ia paham jika itu caraku berbalas budi. 


Entah sejak kapan aku tertidur, tahu-tahu kakiku ditepok-tepok. Aku buka mata, ternyata Atmo.


“Maaf, Be. Sudah habis adzan Subuh. Saatnya solat,” kata Atmo dengan suara perlahan.


Aku bangun dan segera wudhu. Semua ikut jamaahan, kecuali Pepen yang memang non muslim. Selepas berdoa, kami kembali ke tempat masing-masing. Dan melanjutkan tidur.


Saat apel pagi, kami semua bangun. Dan seperti biasa, berbaris rapih sambil berhitung sesuai posisi berdiri. 


“Isinya cuma sembilan orang aja ya. Ini kamar paling sedikit isinya. Coba nanti dipindahin dari kamar yang belasan jumlah penghuninya,” kata seorang petugas yang memimpin apel pagi.


"Siap, Dan. Nanti kami kordinasikan,” jawabku. Singkat.


“Kordinasinya itu sama saya. Jangan ngatur-ngatur sendiri,” lanjut petugas itu dengan suara tinggi.


Aku hanya menganggukkan kepala. Sengaja tidak menjawab dengan perkataan, karena pasti akan mendapat tanggapan negatif lagi dari petugas. Sehingga akhirnya, yang terjadi adalah perkataan yang bersahutan tanpa kesimpulan.


Seusai apel, aku kembali merebahkan badan. Ingin melanjutkan tidur. Seperti juga kawan-kawan yang lain.


Tiba-tiba Hasbi menepuk kakiku. Memberi isyarat untuk melihat ke arah jeruji besi. Ku tatapkan mata. Ada Gustav berdiri disana.


“Kenapa, Gustav?” tanyaku, masih sambil berbaring di tempat tidurku, di atas sajadah.


“Bisa ngobrol sebentar, bang. Ada yang pengen saya diskusiin sama abang,” kata Gustav.


“Iya, bisa. Masuk aja. Suruh tamping buka pintu,” ucapku.


Tidak lama kemudian, Gustav sudah duduk di depanku. Sambil menyandarkan badan ke tembok pemisah kamar mandi, aku minum kopi pahit buatan Hasbi. OD baru di kamar 10.


Hasbi menaruhkan air mineral kemasan di depan Gustav. Memang, sejak beberapa hari lalu aku perintahkan tidak lagi memberi kopi atau teh untuk siapapun yang datang ke kamar. Cukup satu gelas air mineral saja.


Minuman kopi atau teh, juga minuman lainnya selain air mineral, hanya untuk penghuni kamar. Pun tidak ada suguhan apapun bagi yang datang. Terkecuali pada hari besukan dan memang sedang banyak panganan.  


“Gimana, Gustav?” tanyaku, setelah beberapa kali menyeruput kopi pahit ditemani rokok.


“Jadi gini, bang. Nanti siang, aku kan mau pelimpahan. Tadi sudah ngobrol-ngobrol dengan beberapa kepala kamar, mereka minta abang gantiin aku jadi kepala blok disini,” kata Gustav dengan suara serius.


Aku terhenyak. Tidak menduga Gustav menyampaikan permintaan beberapa kepala kamar, untuk aku menggantikannya.


“Jangan aku-lah, Gustav. Yang senior-senior kan banyak. Aku ikut aja siapa yang kamu pilih,” sahutku, setelah berpikir beberapa saat.


“Yang aku pilih memang abang sebenernya. Kawan-kawan kepala kamar juga nyebut nama abang, pas aku minta pendapat mereka. Jadi klop. Apalagi, hubungan abang dengan komandan tahti kan bagus,” lanjut Gustav.


Aku terdiam. Pikiranku bekerja cepat. Mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya. Beberapa kali aku menarik nafas panjang sambil menghembuskan asap dari rokok yang ada di tanganku.


“Jadi gimana, bang? Oke ya. Nanti tinggal kita sama-sama lapor ke petugas piket, untuk dilaporkan ke komandan,” kata Gustav lagi.


“Jangan aku, Gustav. Aku sangat ngehargai kamu dan kawan-kawan yang minta aku gantiin kamu. Tapi aku lebih tahu kemampuanku. Jujur, aku nggak mampu jadi kepala blok tahanan. Lebih baik cari orang lain. Siapapun dia, aku siap ngedukung,” ujarku kemudian.


Gustav tampak terkejut. Kelihatan sekali ia tidak menyangka aku menolak menggantikannya. 


“Abang mampu jadi kepala blok disini kok. Aku yakin itu. Kawan-kawan kepala kamar juga ngedukung abang. Jangan kecewain aku dan kawan-kawan-lah, bang,” kata Gustav, setengah menghiba.


“Maaf bener, Gustav. Aku nggak sanggup gantiin kamu. Aku dukung siapapun yang kamu pilih asal bukan aku,” kataku, dengan tegas.


“Ya sudah kalau gitu, bang. Apa kata abang ini, aku sampein dulu ke kawan-kawan kepala kamar. Nanti pas ngangin, kita ngobrol lagi,” ujar Gustav dan berpamitan.


Begitu Gustav keluar kamar, Asnawi dan Nedi mendekat ke tempatku duduk menyandar ke tembok pemisah kamar mandi.


“Kok Babe nggak mau jadi kepala blok, kenapa?” tanya Asnawi.


“Nambah-nambah urusan aja, Nawi. Kita disini bukan mau nyari jabatan. Kita aja lagi ngadepin masalah, kok mau nambah-nambah beban pikiran,” ucapku dengan santai.


“Tapi ini kesempatan buat Babe tunjukin kemampuan mimpin lo. Beda rasanya bisa mimpin tahanan itu, Be,” ujar Nedi, menyela.


“Ah, Nedi. Kamu mau ngejerumusin aku sama urusan yang nggak penting itu namanya. Aku cuma pengen, di penjara bisa nemuin jalan buat perbaiki diri. Bisa ngedeket sedeket-deketnya sama Tuhan. Sudah,” kataku dengan tegas.


Asnawi dan Nedi terdiam. Mereka mulai paham dengan gayaku. Juga komitmenku untuk bisa mendapat hidayah dari balik jeruji besi ini. 


Dan tiba-tiba, aku teringat pada pernyataan seorang alim: Tiada penjara yang lebih sempit daripada kekangan hawa nafsu, dan tidak ada ikatan yang lebih sulit terurai daripada ikatan syahwat. (bersambung)

LIPSUS