Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 78)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 19 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


COBA Babe timbang lagi-lah keputusan ini. Bukannya apa-apa. Kami semua disini perlu orang yang bisa ngayomi dan punya hubungan baik sama petugas. Babe punya itu semua,” kata Asnawi. Mencoba mengubah pendirianku. 


“Kami semua di kamar ini pasti ngedukung kalau Babe mau jadi kepala blok,” Nedi menyambung.


Aku tidak menjawab. Hanya menggelengkan kepala sambil mengangkat tangan kanan dan menunjukkan gerakan penolakan melalui gerakan telapak tangan.


Sesaat kami semua berdiam diri. Masing-masing bermain dengan pikirannya. 


“Apa cerita kamu semalem, Nedi? Emang nggak perlu lapor,” kataku, mengubah topik pembicaraan.


Nedi menengok ke arah Asnawi, yang duduk di sebelah kanannya. Aku tahu maksudnya, meminta Asnawi pergi meninggalkan kami.


“Emang nggak boleh aku denger, Nedi. Nggak usah-lah mau rahasia-rahasiaan gitu. Kita di kamar ini diajarin Babe buat saling terbuka antar sesama, tapi nutup rapet-rapet dari siapapun juga yang dari luar,” ujar Asnawi, merasa tersinggung karena gerakan Nedi itu secara halus mengusirnya.


“Bukan gitu maksudku, Nawi. Kan belum tentu Babe ngebolehin yang lain denger apa yang mau aku ceritain,” kata Nedi, mencoba memperbaiki situasi.


“Ah, kamu ngeles aja. Jangan mentang-mentang rampok, kamu kira aku takut,” ujar Asnawi dan spontan menampar wajah Nedi. Plak.


Dengan gerakan cepat, kaki Nedi beraksi. Menjejak tubuh Asnawi. Hanya dalam hitungan detik, keduanya telah ber-kuntelan di lantai. Saling memukul dan menjepit.


Kawan-kawan yang lain berdiri, untuk memisahkan Asnawi dan Nedi. Namun aku larang. 


Sekitar 10 menit keduanya baku pukul dan beradu tendangan. Hingga darah mengucur dari hidung dan mulut. Sampai kemudian, mereka saling menjauh dengan sendirinya. Sambil sama-sama mengelap darah masing-masing.


Nafas Asnawi dan Nedi tampak ngos-ngosan. Mereka masih saling pandang dengan tatapan penuh emosi. Namun telah sama-sama menjauhkan diri. Berhenti baku pukul dengan sendirinya.


“Sudah selesai berantemnya? Puas?” ujarku kemudian dan meminta keduanya kembali duduk di tempat masing-masing.


Asnawi dan Nedi kembali ke bidang tempat masing-masing. Dan sama-sama mengelap darah mereka dengan kaos. Nafasnya masih tampak tidak beraturan.


“Gimana Asnawi dan Nedi? Masih mau dilanjut berantemnya? Kalau masih belum puas, ayo terusin. Aku dan kawan-kawan mau nonton,” kataku lagi.


“Nggak, Be. Sudah cukup,” ucap Nedi sambil menekan-nekan bibirnya yang pecah akibat pukulan Asnawi.


“Kamu gimana, Nawi? Masih belum puas berantemnya?” tanyaku lanjut.


Asnawi hanya menggelengkan kepalanya. Darah segar mengucur deras dari hidungnya. Ia coba tutupi hidungnya dengan ujung kaos.


Kawan-kawan penghuni kamar yang lain kembali duduk di tempatnya, setelah aku memberi isyarat untuk mereka duduk.


“Kalau sudah sama-sama puas dan nggak mau ngelanjutin berantemnya, ayo salaman. Sekarang,” kataku dengan nada tinggi.


Mendengar suaraku meninggi, Asnawi dan Nedi langsung berdiri dari tempatnya masing-masing. Terburu-buru langkah mereka. Saling mendekat. Bersalaman bahkan berpelukan. Saling memaafkan.


“Oke, nggak ada masalah lagi ya. Sekarang urus badan masing-masing. Obati yang sakit dengan caranya sendiri. Jangan ada yang coba-coba ngebantu,” kataku dan menatap penghuni kamar 10 lainnya.


Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Mencairkan suasana kamar yang sedang penuh ketegangan. Waktunya ngangin. Atmo menyerahkan uang kepada tamping yang membukakan pintu. Uang ngangin.  


“Sana, pada keluar kamar,” perintahku begitu pintu sel dibuka lebar dan terdengar suara tahanan dari kamar lain telah bercengkrama di selasar.


Semua penghuni kamar 10 keluar. Menikmati kebebasan sesaat di selasar. Sambil menghirup udara pagi yang pastinya lebih segar ketimbang di dalam sel.


Aku beranjak ke kamar mandi. Menyiram dan membersihkan badan. Air keran pagi itu cukup dingin. Menyegarkan.


Begitu keluar kamar mandi, aku lihat Tomy duduk di dekat tempatku. Ada cangkir kopi di depannya. 


“Ngapain kamu, Tom. Bukannya ngegabung di luar sana,” sapaku.


“Ada yang mau aku tanya sama Babe, bolehkan,” sahut dia dan menatapku.


“Apa yang mau kamu tanya?” kataku sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam plastik untuk nanti jika istriku datang, dibawa pulang dan dicuci di rumah.


“Kenapa tadi Babe biarin aja Nawi sama Nedi berkelahi. Bahkan ngelarang kami misah?” tanya Tomy dengan suara berat. 


“O soal itu. Kirain kamu mau tanya apa. Sengaja emang aku biarin mereka berantem, Tom. Biar sama-sama puas aja.  Kan mereka jadi sama-sama plong setelah itu,” jelasku sambil tersenyum.


“Mestinya nggak gitu juga-lah, Be. Kalau ada yang kelahi, ya Babe harus misahnya. Jadi nggak sampai berdarah-darah gitu,” tanggap Tomy.


"Kamu jangan ngomong mesti atau harus ya, Tom. Kita ini di penjara. Nggak ada sesuatu yang di luar sana dianggep wajar dilakuin, disini juga dianggep wajar. Lagian, kalau akhirnya mereka sendiri yang nyudahin berantemnya, kan sama-sama puas. Kalau dipisah, nanti malah mereka ada ganjelan di hati,” kataku mengurai.


“Jadi maksud Babe emang sengaja nggak mau misahin waktu mereka berantem itu biar mereka sama-sama puas, gitu ya?” ucap Tomy bertanya lagi.


“Jadi kalau besok-besok ada yang kelahi lagi, Babe larang dipisah ya?” Tomy kembali bertanya. Aku menganggukkan kepala. Menegaskan sikap.


“Gimana kalau sampai jadi masalah, misalnya petugas jaga tahu,” ujarnya lagi.


“Kalau sampai keluar kabarnya, aku pasti turun tangan-lah, Tom. Selama aku jadi kepala kamar, nggak boleh penghuni disini sampai bermasalah dengan petugas, apapun itu,” kataku, mempertegas komitmen.


“Assalamualaikum,” sebuah suara sapaan terdengar dari pintu kamar.


Aku dan Tomy sama-sama melihat arah pintu sel. Ternyata Gustav dan beberapa kepala kamar.


“Waalaikum salam. Masuk aja. Sini,” sahutku, mempersilahkan mereka masuk kamar dan duduk di dekat tempatku.


Setelah saling bersalaman, kami duduk melingkar di lantai atas. Hasbi buru-buru masuk kamar dan menaruhkan air mineral di depan Gustav dan para kepala kamar.


“Jadi gini, bang. Kawan-kawan sudah aku ceritain kalau abang keberatan jadi kepala blok gantiin aku. Nah, mereka pengen denger langsung dari abang. Sebab cuma abang pilihan kami saat ini,” kata Gustav memulai obrolan.


“Jujur aja ya. Aku nggak mampu jadi kepala blok gantiin Gustav. Jadi bukan keberatan. Itu yang sebenernya,” kataku, menyahuti perkataan Gustav.


“Kami nilai, yang mampu itu ya Babe inilah. Tinggal mau apa nggak. Itu aja kok,” kata Bagus, kepala kamar 3, menyela.


“Nah, itu masalahnya, Bagus. Karena aku sadar kalau nggak mampu, makanya nggak bisa ngelanjutin omongan mau apa nggak. Kebanyakan orang kan duluin maunya, nggak ngukur mampu nggak-nya. Kalau aku, ngukur mampu nggak-nya dulu. Jadi nggak maksain diri dan ngebuat banyak orang kecewa,” ucapku, mengurai.


“Oke, jadi nurut Babe, siapa yang pas gantiin aku disini,” ujar Gustav, memotong.


“Nurut pendapatku, Bagus-lah yang pas itu. Dia sudah lama disini. Dikenal semua tahanan, dan deket juga sama petugas. Tapi semua terserah kawan-kawan. Siapapun yang diputusin, aku ikut dan patuh,” kataku, polos-polosan.


“Cocok itu. Aku juga ngedukung Bagus kalau Babe sudah jelas sikapnya gini,” kata Rahmat, kepala kamar 8.


“Gimana yang lain?” tanya Gustav. Sambil memandangi satu-persatu kepala kamar yang ikut pertemuan di kamarku.


“Kami setuju. Bagus yang gantiin Gustav,” tegas Yosep, kepala kamar 6.


Saat Bagus akan memberi komentar, buru-buru aku tutup mulutnya dengan tanganku.


“Nggak usah ngomong. Terima kepercayaan kawan-kawan ini. Kami semua back up kamu,” kataku.


Bagus terdiam. Tidak tahu harus berbuat apa. Tanpa berlama-lama, aku salami dia. Diikuti Gustav dan yang lain-lain. Sahlah Bagus menggantikan Gustav sebagai kepala blok kompleks rumah tahanan di mapolres.        


“Bukan dulu, Be. Terus apa yang aku lakuin sekarang, kok main todong gini jadinya,” ujar Bagus, beberapa saat kemudian.


“Sudah, kamu bismillah aja, Bagus. Ini sudah garis tanganmu. Mau ditodong apa dielus-elus, tetep aja posisi kepala blok ini ya jadi hak kamu,” sahutku, sambil tersenyum. (bersambung)

LIPSUS