Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 79)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 20 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang  


HASBI berjalan terburu-buru dari selasar, dan berdiri di pintu kamar. Memandang ke arahku.  


“Ada apa, Hasbi?” tanyaku.


“Ada yang mau ketemu. Di pos penjagaan. Tiga orang. Kata petugas piket, mau minta tandatangan Babe,” jelas Hasbi.


Aku teringat perkataan istriku kemarin malam. Pagi ini, Makmun akan memintaku menandatangani surat kuasa sebagai lawyer menggantikan Rudolf.


“Maaf, kawan-kawan. Aku harus ke pos dulu. Selamat ya Bagus,” kataku pada Bagus, Gustav dan para kepala kamar yang masih duduk di kamarku.


Seiring aku keluar kamar, mereka pun meninggalkan kamarku. Dan bergabung di selasar bersama tahanan-tahanan lain.


Tanpa banyak perbincangan, aku tandatangani surat kuasa untuk Makmun dan timnya. Ku sampaikan juga jika penyidik telah menemuiku dan memastikan bila aku memang telah mencabut kuasa pada Rudolf.


“Kami segera kordinasi dengan penyidik. Semua perkembangan akan kami sampaikan ke mas Mario dan mbak Laksmi,” ucap Makmun.


“Oke, coba buat schedulle pola kerjanya kayak mana ya? Nanti kita diskusikan lebih lanjut,” saranku. Makmun yang didampingi anggota timnya; Enrico dan Nazmi menganggukkan kepala.


Setelah bersalaman dan memesankan untuk aku terus menjaga kesehatan dan tetap tegar, Makmun dan tim lawyer baruku, berpamitan. 


Seorang penjaga mendekat ke tempatku berdiri. Di balik jeruji besi paling sudut. Ia menyalamiku dengan hangat.


“Bang, saya iparnya Panji. Teman abang waktu kuliah. Dipesenin sama bang Panji untuk nemuin dan jagain abang,” kata dia sambil tersenyum ramah.


“Oh ya? Alhamdulillah. Gimana kabar Panji? Sehat-sehat aja kan,” kataku dengan antusias.


“Alhamdulillah, bang Panji sekeluarga sehat. Maaf baru ngenalin diri saat ini sama abang. Sebab waktu aplusan jaga minggu kemarin, mau ngomong sama abang, kayaknya abang lagi suntuk berat. Nanti malah nggak pas,” lanjut petugas jaga itu, juga masih dengan menunjukkan senyumnya.


“Yah, namanya juga di tahanan. Ada-ada aja yang bikin pening kepala dan naik darah,” ucapku sambil tertawa.


“Tapi seneng saya lihat abang. Tetep enjoy dan bawaannya nyantai. Saya ngobrol-ngobrol dengan kawan sesama penjaga, mereka juga nilai abang itu bagus. Nggak pernah neko-neko, walau kenal baik dengan komandan,” lanjut penjaga tahanan itu.


“Syukur kalau gitu penilaian kawan-kawan petugas. Alhamdulillah. Yang pasti, ya dijalani aja apa adanya disini. Toh, ini bukan kiamat. Nanti ada saatnya kita berbalas kalau Tuhan berkehendak,” kataku dengan enteng.


Aku lihat, beberapa orang tengah berjalan menuju kompleks rumah tahanan. Membawa kantong plastik berisi makanan. Melihat aku memandang jauh ke arah pintu masuk kompleks tahanan, petugas itu pun berpaling. Memandang ke arah yang sama.


“Ini kan hari besukan, bang. Emang sudah jam-nya. Sebentar lagi pasti nambah ramai,” ucap petugas itu. 


Tersadarlah aku, kalau hari ini adalah hari besukan. Hari lebaran bagi para tahanan. Saat dimana sejak pagi hingga siang, mereka bisa bercengkrama dengan sanak saudaranya, istri dan anak-anaknya, meski tetap dibatasi oleh jeruji besi.


Segera aku berpamitan kepada petugas jaga untuk kembali ke kamar. 


“Kalau ada yang besukan, mau nerima nggak, bang?” tanya petugas itu.


“Nggak usah. Kalau ada bawaannya, ambil aja. Cuma tolong catet nama yang dateng. Bilang aja, abang lagi istirahat,” sahutku, sambil mengacungkan jempol, dan berbalik badan. Kembali ke kamar.


Sesampai di kamar, aku membaui keharuman yang tidak biasanya. Percampuran berbagai minyak wangi.


“Kok jadi harum nggak karuan gini ya bau kamar ini,” ucapku sambil terus menggerak-gerakkan hidung.


“Kan hari besukan, Be. Semua sudah pada mandi dan pakai parfum. Makanya jadi kayak gini bau kamar kita,” sahut Asnawi. Ada senyum di bibirnya. Sumringah.


Aku pandangi penghuni kamar. Satu-persatu. Semua sudah pada mandi. Memakai kaos dan celana pendek dengan rapih. Dan masing-masing telah memakai pewangi badan kesukaannya.


Tampak Pepen dan Arya sedang bergantian menyisir rambutnya sambil memandangi wajahnya di kaca cermin kecil yang ditaruh di atas tembok pemisah kamar mandi. 


Aku tersenyum dalam hati. Betapapun menderitanya mereka yang tengah menjalani penahanan, ketika waktu bertemu keluarga menjelang, semua pasti akan tampil beda. Memaksimalkan penampilan, menceriakan wajah, dan penuh kebahagiaan. 


“Be, perasaan nggak pernah aku ngelihat Babe ngaca. Padahal kaca cermin ada di tembok samping Babe tidur,” kata Arya, yang masih terus menyisiri rambut panjangnya dengan menatap kaca cermin kecil.


Baru tersadar juga aku. Sejak masuk ke sel, dua bulanan ini, belum pernah sekalipun memandang wajahku sendiri di cermin kecil yang ada di atas tempat tidurku ini.


“Iya juga ya, Arya. Baru sadar aku,” sahutku. Polos. Sambil tertawa.


“Jujur ya, Be. Sebenernya kami semua juga heran, kok Babe nggak pernah ngaca kalau habis mandi. Atau sesekali seperti yang lain, mandangin wajah sendiri sambil nyantai,” Tomy menyambung.


“Apa emang sejak dulu, Babe nggak suka ya ngaca di cermin?” kata Nedi.


“Nggak juga sih. Aku di rumah selalu ke cermin dulu gitu habis mandi atau setelah berpakaian dan siap pergi. Tapi disini, kok kayak lupa ya. Beneran, nggak pernah kepikir sama aku buat ngaca selama ini,” ucapku dengan terus terang.


“Kirain Babe punya ilmu yang pantangannya nggak boleh ngaca di cermin. Jadi kalau pengen lihat wajah kayak mana, ngelihatnya lewat air,” sambung Nedi.


“Emang ada ilmu dengan pantangan kayak gitu, Nedi?” kata Pepen, menyela.


“Ada, Pen. Dulu ada kawanku waktu masih aktif dinas di militer, yang nggak pernah mau ngaca di cermin. Kalau mau ngelihat mukanya, dia ke kamar mandi. Ngelihat lewat bak air di kamar mandi,” jelas Nedi.


“Apa namanya ilmu itu, terus apa gunanya?” tanya Tomy. 


“Katanya sih buat nolak sihir, tenung, teluh dan sebangsanya itu. Bener nggak-nya, aku nggak tahu,” sahut Nedi.


Tiba-tiba, seorang tamping membuka pintu kamar. Membawa tiga kantong plastik berisi penuh. Dan menyerahkan ke Tomy, Arya, serta Irfan. Setelah menaruh barangnya, mereka bertiga keluar kamar. Mendapat besukan keluarganya.


Baru saja ketiganya berjalan keluar kamar, tamping yang lain datang lagi. Juga membawa tiga kantongan, untuk Pepen, Atmo, dan Asnawi. Ketiganya langsung keluar kamar, selepas menaruhkan barang kirimannya di tempat masing-masing.


Tinggallah aku, Nedi, dan Hasbi yang di kamar. Bisa dipastikan, Hasbi tidak akan ada besukan, karena keluarganya tinggal jauh dari kota ini. Dan secara ekonomi sangat kesulitan. Jangankan untuk bisa rutin melihat Hasbi yang sedang ditahan, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih sangat kekurangan.


“Kamu nggak ada besukan, Nedi?” tanyaku sambil menyandarkan badan ke tembok pemisah dengan kamar mandi. Tepat di tempat tidurku.


“Nanti aku di-bond, Be. Siangan. Maleman aja aku laporin semuanya ya. Mohon maaf, tadi sempet bermasalah sama Asnawi,” sahut Nedi.


“O gitu, iya nggak apa-apa. Aku tahu, kamu punya jaringan kuat, Nedi. Jadi kamu diurus disini,” lanjutku.


“Kok Babe tahu?” kata Nedi dengan cepat. Wajahnya berubah. Memerah. 


“Feeling aja. Cuma aku seneng, kamu fair. Terbuka. Jadi kita enak-enak aja. Itu yang penting. Jangan kita sudah di penjara, sekamar pula, mau sembunyi-sembunyi. Aku nggak suka yang kayak gitu. Itu mental pecundang, bukan petarung,” kataku sambil tersenyum.


“Siap, Be. Aku juga bangga sama Babe. Anak buah bermasalah, dibiarin aja sampai selesai dengan sendirinya. Nggak mau buat salah satu anak buah jadi kecil hati,” ucap Nedi.


“Ya mau apalagi. Kalau kalian pengen berantem, ya berantem aja. Tapi ada masanya, yang kalah bakal aku tamparin, yang menang aku tendangin. Lihat aja kalau nanti masih ada yang sok jagoan di kamar ini,” kataku, kali ini dengan penekanan.


“Siap, Be. Nggak lagi aku berlaku kayak tadi. Spontan aja tadi itu. Dan baru kali ini empat kali aku masuk penjara, punya kepala kamar yang main tarik-ulur gini. Bikin anak buah jadi susah ngecak maunya kayak mana,” Nedi melanjutkan.


“Aku cuma pengen, kamar ini adem. Jadi harus sepahaman semuanya. Yang semaunya sendiri, pasti aku pindahin. Gimana juga caranya,” kataku lagi.


Seorang tamping berdiri di depan jeruji besi. Memandangi kami bertiga dengan serius. Beberapa kali ia memberi isyarat melalui kedipan matanya. Tapi kami tidak paham. 


Karena sesungguhnya, tidaklah sebegitu mudah bisa memahami sebuah isyarat, betapapun sudah terlatihnya kita oleh pelajaran dari lingkungan yang abnormal. (bersambung)

LIPSUS