Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 81)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 22 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


BARU saja kami selesai solat Ashar, seorang petugas berdiri di depan jeruji besi. Penjaga piket yang masih keluarga temanku, Panji.


“Maaf, bang. Mau lapor,” kata petugas itu, memandangku. Aku mendekat. Ke jeruji besi tempat dia berdiri.


Ia serahkan kertas kecil. Catatan nama orang-orang yang tadi datang berniat membesukku. Dan juga memberikan satu kantong plastik kecil. Berisi rokok. Ada empat bungkus.


“Sesuai kata abang, yang makanan dan minuman, sudah saya bagi di pos penjagaan. Kalau rokok, ya tetep untuk abang,” ucap petugas jaga itu, tersenyum.


“Sudah pas ini. Terimakasih banyak,” sahutku, dan menepuk tangannya.


“Saya dan kawan-kawan piket yang terimakasih sama abang. Izin kembali ke pos ya, bang,” kata dia lagi. Membalikkan badan. Meninggalkan kamar 10.


Aku letakkan rokok kiriman pembesuk yang tidak bertemu itu ke dalam tas kecilku. Aku perhati nama-nama yang tadi datang ke tempatku ditahan. Ada lima orang. Semuanya teman dari kantorku. Koperasi simpan pinjam.


“Kenapa Babe nggak mau terima besukan?” tiba-tiba Pepen membuka suara, dan terus asyik merapihkan panganan kecil kirimannya.


“Lagi nggak mood aja, Pen,” sahutku. Pendek.


“Padahal, asyik dan kehibur kalau besukan itu, Be. Banyak cerita di luaran yang bisa kita dapet,” lanjut Pepen.


“Gitu ya, Pen. Emang cerita apa yang kamu dapet dari besukan tadi?” tanyaku. Memancing.


“Banyak-lah, Be. Tapi intinya, dunia kita ini luas. Tetep kebuka peluang buat kita ke depannya. Penjara ini bukan apa-apa. Bukan tempat kita kehilangan masa depan,” urai Pepen, bersemangat.


“Emang siapa yang nganggep masuk penjara itu habis masa depannya, Pen? Cuma orang kerdil yang mikirnya gitu. Kita yang disini, jangan sekali-kali mikir kayak gitu. Kita tetep optimis,” kata Tomy, menyela pembicaraan.


“Kamu bener dan cocok, Tom. Biar aja orang di luaran mikir apa aja, yang penting kita enjoy dan bisa nemuin jalan buat perbaiki diri,” sahut Pepen, dan mengacungkan jempol ke arah Tomy.


“Omonganku bener kan, Hasbi? Kamu kan yang paham agama. Sesusah apapun kita nggak boleh kecil hati, apalagi nganggep sudah habis masa depannya kan,” ucap Tomy, memandang Hasbi yang tengah duduk santai di sudut kamar.


“Iya, bener itu, om. Baiknya ya sabar dan ikhlas aja. Ini sudah takdir kita. Nggak usah dimasalahin ini-itunya. Pahami aja semua itu. Karena memahami lebih berharga dari sejuta kata,” sahut Hasbi dengan kalem.


“Maksudmu memahami lebih bermakna dari sejuta kata itu apa, Hasbi?” ujar Tomy lagi.


“Karena cuma yang memahami yang mengerti, om. Dan yang mengalami saja yang memahami. Kalau kata seorang alim; kebenaran tidak dikenal lewat orang, tapi kenalilah kebenaran, maka kamu akan mengenal orang-orangnya,” kata Hasbi mengurai.


“Kamu ngomongnya filsafat bener, Hasbi. Aku suka itu. Coba kasih pencerahan lagi,” kata Nedi, ikut menimbrung juga. 


“Saya inget seorang filosof pernah bilang begini: manusia itu ibarat mangkuk yang mengapung di permukaan air. Bagaimana mangkuk itu pergi? Bukan ditentukan oleh mangkuknya, tapi oleh airnya,” Hasbi menambahkan.


“Nah, kalau soal air, saya inget perkataan Sunan Kalijaga, Hasbi. Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli. Selaras dengan aliran air, mengalir tapi jangan hanyut,” Atmo menimpali.


Tiba-tiba Pepen bertepuk tangan. Diikuti Tomy, Nedi, Hasbi, Atmo. Dan akhirnya, semua penghuni kamar 10 bertepuk tangan.


“Luar biasa ternyata isi kamar 10 ini ya. Nggak disangka, diem-diem rupanya pinter semua dan punya filosofi-filosofi kehidupan yang hebat,” kata Nedi dengan penuh antusias dan semangat, sambil mengacungkan kedua jempol tangannya.


Tanpa sadar, aku juga menganggukkan kepala dan mengacungkan kedua jempol untuk kawan-kawan sesama penghuni sel 10. Sungguh, apa yang mereka perbincangkan, sangat jauh dari yang aku bayangkan. Tak dinyana, mereka adalah para tahanan yang otak dan pikirannya berisi. Tidak terkungkung oleh olahan kriminal semata.


“Jujur, aku kagum sama kawan-kawan. Rupanya, pada suka baca buku juga sebelumnya. Coba terus kembangin kebiasaan itu. Minta dikirim buku-buku dari rumah. Jadi otak kita terus terisi, batin kita makin tangguh. Aku yakin, kita bisa saling mengisi disini,” kataku kemudian. 


Dan saat itu, aku menyadari, setiap jiwa dalam raga tidak akan bisa saling memahami, jika ia tidak pernah merasakan penderitaan yang sama.


“Kalau aku suka nulis puisi, Be. Kasih kertas aja, nanti malem aku buat puisi,” kata Asnawi, seraya tertawa.


“Yang bener, Nawi. Kamu bisa buat puisi? Kawanku pernah bilang, puisi yang indah itu pasti ditopang sama keleluasaan ilmu, kelapangan sudut pandang, juga kebijaksanaan yang diendapkan dari pembuatnya. Bener nggak itu,” ucap Nedi menyahuti Asnawi.


“Iya, bener apa yang dibilang kawanmu itu, Nedi. Berarti dia jago ngebuat puisi. Kawanmu itu paham bener, kalau kita sesekali perlu bicara dengan diri sendiri dan mengajaknya berdamai sama semua situasi yang terjadi. Aku suka sama tulisan yang bersayap. Yang setiap orang punya hak buat nerjemahin sesuai kemampuannya,” kata Asnawi, panjang lebar.     


Kami semua saling berdecak kagum dengan sahutan-sahutan perbincangan ringan yang berisi. Sampai kemudian, pintu kamar dibuka dengan cepat. 


Seorang tamping berdiri di tengah pintu sambil membawa dua kantong plastik berisi makanan. Matanya mengarah kepadaku. Hasbi buru-buru bergerak, menerima kantong plastik tersebut dan menaruhnya di tempatku.


“Ada ibu sama adiknya, om,” kata tamping itu sambil mengajakku jalan berdampingan menuju pos penjagaan.


Ku peluk hangat istriku dari sela jeruji besi. Juga adik iparku, Laksa. Kami bertiga berpelukan. Bercerita sambil terus berpegangan tangan.


“Tadi Makmun telepon, besok dia dan timnya mau koordinasi sama penyidik. Kayaknya ayah mau diusahain dicepetin pelimpahannya,” kata istriku.


“Sampein ke Makmun, setelah koordinasi sama penyidik, ketemu ayah dulu. Nanti kami bicarain mana yang terbaik,” sahutku.


“Oke, nanti malem bunda telepon Makmun. Jangan lupa, sajadah ayah lo. Kan mau dijadiin alas tidur nduk. Tadi sudah bunda bawain sajadah ganti,” ujar istriku.


“Astaghfirullah, iya juga ya. Lupa bawanya,” ucapku.


Tersadarlah aku. Buru-buru aku kembali ke kamar. Mengambil sajadah dan baju kotor. Aku minta Hasbi memisahkan sajadah dan baju kotor dalam kantong plastik yang berbeda. Dan setelah di pos penjagaan, aku berikan kepada istriku, Laksmi.


Adik istriku, Laksa, terus memompa semangatku. Meyakinkanku jika semua ujian tidak akan pernah melebihi batas kemampuan kita mengatasinya. 


“Tetep sabar dan ikhlas ya, kak. Jangan pernah ragu akan kekuasaan Allah,” ucap Laksa sambil memelukku dari sela teralis besi.


Aku cerita, tadi waktu besukan ada beberapa kawan kantor yang datang, tapi tidak ada yang aku temui. 


“Iya, tadi penjaga juga cerita. Mereka heran, ayah kok sering nggak mau nerima tamu. Sebenernya ya nggak apa-apa ditemui aja. Toh, maksudnya baik. Kenapa pula ayah nggak mau nemuin yang dateng kalau waktu besukan,” kata istriku.


“Kalau jam besukan itu ruame bener. Kayak pasar suasananya. Jadi kalau pun ngobrol, nggak plong gitu rasanya,” kataku, beralasan.


“Coba nanti pas hari besukan kita dateng ya, dek. Pengen lihat juga gimana serunya,” ujar istriku dan memandang Laksa, yang spontan menganggukkan kepalanya. (bersambung)

LIPSUS