Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 82)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 23 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


KAMI terus berbincang. Ringan. Kangen-kangenan. Dan mensyukuri kemudahan yang ada, yang setiap petang istriku dan keluargaku tetap bisa menemui meski dari balik jeruji besi. 


Dan karena itu semua, istriku selalu mengingatkan. Betapa banyak kebaikan Allah yang tersembunyi, dan hanya orang-orang cerdas yang bisa memahami hal-hal tersembunyi. 


Saat kami bertiga masih asyik bercengkrama dari sela-sela jeruji besi, tiba-tiba pak Rudy datang ke pos penjagaan.


“Selamat sore, pak Mario. Alhamdulillah. Seneng ya kalau ibu dan keluarga dateng begini,” ucapnya, langsung menyapa dan menyalami kami.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak bantuannya, pak Rudy. Berkat pak Rudy dan kawan-kawan petugas, hampir setiap sore saya bisa ketemu dengan suami,” sahut istriku dengan penuh hormat.


“Ini juga berkat pak Mario, bu. Beliau disini cukup baik, taat aturan, dan bisa bergaul cukup bagus dengan sesama tahanan. Dan menjaga hubungan harmonis dengan penjaga. Jadi kami tidak keberatan kalau sepulang kantor, ibu mampir kesini. Yang penting jangan malam hari, kecuali ada hal yang benar-benar penting. Tentu kami pertimbangkan,” kata pak Rudy, panjang lebar.


“Iya, pak. Alhamdulillah, sekali lagi terimakasih bantuannya,” kata Laksa, menyahuti. 


Pak Rudy tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Sesaat ia memandangku.


“Mengingatkan, pak Mario. Besok pagi jangan lupa ya. Kontrol dan awasi pekerja. Jumlah mereka ada 15 orang. Masing-masing kamar ditangani tiga orang. Jadi dalam satu hari, ada lima kamar yang dikerjakan. Inshaallah tiga hari sesuai target, renovasi kita selesai,” ujar pak Rudy, masih memandangku.


“Siap, pak. Inshaallah saya bisa jalankan amanah dengan baik,” kataku sambil menganggukkan kepala.


Selepas itu pak Rudy berpamitan, setelah berbincang pelan dengan petugas jaga beberapa saat.


“Emang besok pagi ayah disuruh apa to?” tanya istriku, begitu pak Rudy telah meninggalkan pos penjagaan.


“Mulai besok kan ada renovasi besar-besaran di setiap kamar. Ayah diminta pak Rudy ikut ngawasin yang kerja, juga para tahanan. Sama petugas piket dan kepala blok,” uraiku.


“O gitu, Alhamdulillah. Tetep ada aja kegiatan positif yang bisa ayah lakuin disini ya. Terus bersyukur, ayah. Nggak ada yang kebetulan semua ini,” sahut istriku sambil memelukku.


“Kalau gitu, mulai besok, kakak di luar sel ya dari pagi?” tanya Laksa.


“Iya, otomatis gitu, dek. Pastinya ya pas jam mereka kerja, kakak ngawasinnya. Kalau jam istirahat, kakak masuk kamar,” kataku.


“Alhamdulillah. Tetep dinikmati dan disyukuri ya, kak. Seseram apapun cerita orang tentang penjara, kakak bisa nikmatinya dari sisi lain. Ini yang patut terus disyukuri,” ujar Laksa dengan wajah serius.


Aku menganggukkan kepala. Laksa memang selalu menempatkan situasi dan kondisi apapun dari sudut pandang positif. Ia amat meyakini, sesungguhnya sesuatu yang negatif itu lahir dan dirasakan lebih karena alur pikir dan penerimaan kita sendiri. 


Suara mengaji dari masjid sayup-sayup mulai terdengar. Istriku langsung bergerak cepat. Kembali memelukku dengan erat. Ia paham betul, sebentar lagi kami akan berpisah. Ia kembali ke rumah, dan aku masuk sel. 


Ada sebulir air di sudut mata indahnya. Ku hapus perlahan. Penuh kasih sayang. 


“Terus kuat, sabar dan ikhlas ya, sayangku,” bisikku di telinganya.


Pelukannya semakin kuat. Seakan meletupkan kegundahan yang begitu dalam mengendap di jiwanya. Mengurai belitan persoalan yang berkumpul di pikirannya. Mencari pintu untuk mengurai dan bisa kembali menemukan ketenangan.


Seusai istriku melepas pelukan, Laksa memelukku. Juga penuh keeratan. Ekspresi betapa jiwa kami menyatu dalam sebuah siklus kehidupan yang penuh gelombang misteri ini.


Tepat adzan Maghrib berkumandang, istriku Laksmi dan adikku Laksa meninggalkan pos penjagaan. Ku pandangi langkah keduanya. Menyusuri jalan menuju parkiran kendaraan di samping mapolres.


Setelah mereka tidak tampak lagi, aku pandangi petugas piket, ada tiga orang. Mereka semua tersenyum ramah.


“Terimakasih, pak. Alhamdulillah saya diberi kemudahan untuk tetep bisa ketemu istri dan adik,” ujarku dengan penuh hormat.


“Kami juga terimakasih, kap. Kami sebenernya nggak enak hati. Karena ibu selalu bawa makanan buat kami yang piket, kalau dateng. Tapi kata ibu, itu sudah kebiasaannya kalau bertamu. Ikhlas ya, kap. Mudah-mudahan kap selalu sehat,” kata seorang petugas jaga. 


“Santai aja. Emang istri saya biasa bawaan kalau dateng ke mana-mana. Sudah gitu karakternya. Yang pasti ikhlas dan niatnya untuk berbagi rejeki,” sahutku sambil tersenyum dan mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Tanda menghormati. 


Sesampai di ruangan sel, aku langsung ke kamar mandi. Wudhu. Kawan-kawan sudah duduk rapih untuk melaksanakan solat Maghrib.


Begitu selesai maghriban, aku sampaikan kalau mulai malam ini, selepas Maghrib sampai Isya, Hasbi akan mengajar mengaji. Diawali dari bacaan juz Amma, yang bukunya sudah dikirim oleh keluarga Asnawi saat besukan siang tadi.


Kawan-kawan semua sepakat. Lima juz Amma yang disediakan Asnawi menjadi bahan kami mengaji. Hasbi langsung memulai mengajar.


Anak muda hafidz qur’an ini memang benar-benar menguasai ilmu cara membaca kitab suci yang simpel. Ditambah kefasihan dan kesabarannya, membuat kami semua mengikuti agenda ini dengan penuh antusias dan ceria.


Saat adzan Isya menggema, kegiatan belajar mengaji selesai. Setelah solat berjamaah, Tomy mengumpulkan semua kain sarung dan dimasukkan ke kantong plastik tersendiri. Yang sudah diberi nomor kamar. 


Sehingga bila setiap saat petugas piket memerintahkan kain sarung disimpan di lemari pos penjagaan, tinggal mengangkat kantong plastiknya saja.


Dan benar saja. Seusai melakukan apel malam, salah seorang petugas meminta kain sarung dikumpulkan. Tomy langsung menyerahkannya. 


“Nah, ini yang disiplin. Sudah dimasukkan dalam kantong plastik gini. Semua sudah ya? Atau masih ada yang tertinggal,” kata petugas jaga itu.


Aku mengangkat tangan sambil menunjukkan kain sarungku. Dan ku sampaikan kalau itu aku gunakan sebagai alas bantal dari botol air mineral.


“Oh, kap kamar ya. Nggak apa-apa kalau kap yang punya,” ucap petugas itu dan berbalik badan. Kembali ke pos penjagaan.


“Rupanya kap kamar tetep dapet dispensasi ya, walau cuma urusan kain sarung,” kata Nedi seraya tertawa ngakak.


Aku tertawa, pun semua penghuni kamar 10. Memang banyak hal yang selayaknya ditingkahi dengan tertawa sebagai ekspresi keceriaan. Meski terkadang, itu semua sesungguhnya untuk mentertawakan diri sendiri atau kondisi. (bersambung)

LIPSUS