Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 83)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 24 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


KAMI makan malam penuh dengan beragam lauk. Karena usai hari besukan, banyak tahanan yang mendapat kiriman makanan. Semua lauk digelar di tengah tempat kami duduk bersila untuk makan bersama. 


Pun petang tadi, istri dan adikku juga membawa makanan. Selain ada juga cairan pembersih dan pewangi lantai untuk mengepel, cairan pembasmi kuman untuk bak mandi, obat pengusir nyamuk, vitamin, dan minyak kayu putih, serta tentu saja rokok.   


Seusai makan malam, aku minta Atmo memimpin rapat evaluasi keuangan kamar. Masing-masing yang mendapat besukan harus mengembalikan uang kopelan sebesar Rp 20.000, yang sebelumnya ditalangi dengan uang kas kamar.  Atmo menjelaskan, posisi kas kamar aman, karena masih lebih dari Rp 1,7 jutaan.


Saat kami masih berbincang ringan, seorang petugas jaga berdiri di depan jeruji besi, dan kemudian membuka pintu kamar. Ia memberi isyarat pada Nedi. 


“Izin ya, Be. Keluar sebentar,” kata Nedi, menganggukkan kepalanya. Aku merespon dengan mengacungkan jempol.


Setelah pintu kamar kembali digembok, aku minta perhatian kawan-kawan penghuni kamar, mengingat mulai besok ada kegiatan renovasi.


“Jadi, semua pakaian yang ngegantung di tembok, malem ini juga dilipetin dan susun rapih di tempat masing-masing. Rendeman pakaian besok pagi-pagi harus sudah dibilas dan dijemur di depan kamar. Isi semua ember dengan air yang bersih, karena baknya mau dibagusin lagi biar nggak rembes,” kataku, mengurai.


“Gimana kalau nyucinya malem ini aja, Be. Jadi pagi-pagi tinggal jemur. Ember juga diisi sekarang sama air yang ada di bak,” ucap Hasbi.


“Ya boleh. Gimana kamu ngatur waktunya aja, Hasbi. Besok aku minta kamar kita duluan yang direnovasi. Mau dicat temboknya. Yang bolong-bolong mau ditambel dan diplester dulu. Jadi kita harus sudah siap. Jangan orang mau kerja, diribetin sama pakaian ngegantung dan lain-lain,” lanjutku.


Spontan kawan-kawan bergerak. Merapihkan pakaian mereka yang selama ini tergantung di tembok. Hasbi juga langsung ke kamar mandi. Membilas rendaman pakaian penghuni kamar. Kecuali pakaianku, karena selalu dicuci di rumah.


Saat kawan-kawan masih sibuk dengan kegiatannya, aku merebahkan badan. Mencoba tidur. Namun, pikiranku berkelana kemana-mana. Menelusuri jalan panjang kehidupan hingga membawaku masuk bui. 


Begitu berliku, penuh tikungan, jebakan, dan akhirnya menjeratku. Tak kuasa apa-apa lagi. Dalam kelelahan penelusuran dan pengakuan kesalahan itulah, akhirnya aku pun tertidur. Meski tetap sama; tanpa mimpi. 


Kenyenyakanku tidur, terusik dengan tepukan di badan yang dilakukan Irfan. Dalam posisi masih setengah sadar dari lelap tanpa mimpi, terdengar lamat-lamat suara beberapa orang berbincang di depan kamar. 


“Ada apa, Fan?” tanyaku, membuka mata yang masih kriyep-kriyep.


Irfan tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat untuk aku menengok ke luar. Ke jeruji besi pemisah ruangan sel dengan selasar.


Ternyata, ada lima orang petugas berdiri disana. Dua orang berpakaian preman, yang aku kenali salah satunya adalah pak Rudy, komandan kompleks rumah tahanan. Tiga petugas lainnya berpakaian dinas adalah petugas piket penjaga tahanan. Satunya lagi yang berpakaian preman, baru aku lihat saat ini.


“Pagi, pak Mario. Ini pak Kapolres sedang mengecek kondisi ruangan dan tahanan. Mengingat besok akan dimulai renovasi,” kata pak Rudy.


Spontan aku berdiri. Tergopoh-gopoh berjalan ke arah jeruji besi. Langsung menyalami pak Rudy dan pak Kapolres dengan penuh hormat.


“Maaf, pak. Kami keasyikan tidur sampai tidak tahu kedatangan Bapak,” ucapku pelan, saat menyalami Kapolres.


“Nggak apa-apa. Ini kan memang jamnya tidur. Saya saja yang mengajak pak Rudy mengecek pada jam segini,” sahut Kapolres dengan suara ramah.


Plong hatiku mendengar sambutan Kapolres yang penuh keramahan. Pasalnya, selama ini selalu ada kekhawatiran bagi tahanan akan adanya perlakuan yang tidak mengenakkan bila didatangi petugas.


“Kamar ini paling rapih, pak Rudy. Tidak ada pakaian yang ngegantung di tembok. Coba jadikan semua kamar serapih ini. Kan enak juga melihatnya,” kata Kapolres sambil memandang sekeliling kamar kami.


“Siap, Dan. Segera ditindaklanjuti,” ujar pak Rudy dengan sigap dan hormat.


“Kamar ini isinya hanya delapan orang ya. Coba diatur, kamar-kamar lain yang sudah over, pindahkan kesini tahanannya,” kata Kapolres lagi.


“Siap, Dan. Rencana siang nanti ada tahanan baru tujuh orang, nanti kita maksimalkan masuk ke kamar ini,” sahut pak Rudy.


“Bagus kalau begitu. Tapi jangan semua juga masuk ke kamar ini. Maksimal empat orang-lah. Biar nggak sesak juga,” lanjut Kapolres.


“Bagaimana kalau nanti tambah empat penghuni baru, tidak ada masalah kan, pak,” ucap Kapolres sambil memandangku.


“Siap, Dan. Tidak ada masalah. Inshaallah,” kataku cepat. Seraya membungkukkan badan. Menghormat. 


“Oke, kalau begitu. Silahkan melanjutkan istirahatnya. Tetap jaga kesehatan dan jalani semuanya dengan kesabaran,” kata Kapolres kepada kami penghuni kamar 10.


“Siap, Dan,” sahut kami bersamaan, dan memberikan hormat dari tempat kami masing-masing berdiri.


Selepas itu, Kapolres dan rombongan petugas meninggalkan kamar kami. Aku kembali merebahkan badan. Namun baru saja akan meneruskan tidur, terdengar suara mengaji dari masjid, pertanda sebentar lagi waktu Subuh menjelang.


Kami memang tidak tahu waktu dengan pasti. Mengingat tahanan tidak diperbolehkan membawa jam tangan. Sehingga selama ini yang menjadi penanda waktu adalah suara mengaji atau adzan dari masjid yang ada di samping mapolres saja. 


Aku lihat Hasbi dan Atmo bergantian ke kamar mandi. Mengambil wudhu. Mereka memang rutin melakukan solat malam, sampai waktu Subuh datang. Kali ini, aku pun tergerak untuk mengikuti mereka. Bercengkrama dengan Yang Maha Esa.


Selepas solat Subuh berjamaah, aku lihat Asnawi menatapkan pandangannya ke luar kamar dari sela-sela jeruji besi. Beberapa kali terdengar ada desah ketidaknyamanan. (bersambung)

LIPSUS