Oleh, Dalem Tehang
HASBI yang menaruhkan secangkir kopi pahit di depanku, aku bisiki untuk segera membuatkan minuman untuk Asnawi. Agar memecah pikiran dan rasa ketidaknyamanan yang tengah bergulat pada dirinya.
“Om, ini kopinya. Jangan lama-lama ngelamun, nanti kesambet,” kata Hasbi saat memberikan cangkir berisi kopi kepada Asnawi.
“Nggak tahu ini, Hasbi. Kenapa pagi-pagi hatiku sudah nggak tenang gini. Kayak nggak bakal nyampe ke hari esok aja hidupku ini,” ujar Asnawi sambil menaruhkan cangkir kopinya di sela-sela jeruji besi.
“Maaf ini, om. Kata orang, kehidupan itu memang penuh misteri. Itu sebabnya, jangan meramalkan esok hari. Cukup berbuat baik saja pada hari ini. Dan hari kemarin, jangan ditengok lagi,” sahut Hasbi, yang tetap berdiri di dekat Asnawi.
“Nggak salah emang omongan orang itu, Hasbi. Tapi kita yang lagi terpuruk gini kan nggak bisa semudah itu juga ngelakuinnya,” kata Asnawi, menimpali.
“Maaf ya, om. Saya pernah baca sebuah buku, isinya begini; pernah menjadi lemah itulah yang menguatkan kita. Pernah merasa takut itulah yang memberanikan kita. Dan, pernah melakukan hal-hal bodoh itulah yang membuat kita bisa bijaksana,” kata Hasbi terus menyemangati dengan bahasa-bahasa nan adem dan bersayap.
Asnawi hanya diam. Wajahnya ditempelkan ke jeruji besi yang ada di depannya. Nafasnya beberapa kali mendengus. Dan sesekali menggelengkan kepalanya.
“Maaf kalau apa yang saya sampaikan membuat om malah tidak nyaman. Saya hanya ingin berbagi saja. Karena kita disini sudah seperti saudara,” Hasbi melanjutkan.
Anak muda itu kelihatan tidak enak hati melihat Asnawi hanya diam setelah mendengar apa yang disampaikannya. Walau tetap memunculkan kearifannya, dengan menukilkan dari pernyataan orang lain apa yang ia ucapkan.
“Aku seneng sama perhatianmu, Hasbi. Apa yang kamu omongin itu bener. Aku diem ini bukan berarti nggak nganggep apa yang kamu sampein,” kata Asnawi kemudian.
“Jadi maksudnya bagaimana, om?” tanya Hasbi, yang selalu bertutur dengan bahasa tertata dan santun.
“Diem itu nggak berarti salah atau nyerah, Hasbi. Tapi cuma nunggu waktu dan takdir yang bicara, dan ngungkap jawaban yang sebenernya. Aku inget omongan ibuku; saat kamu berbicara, kamu cuma mengulang apa yang kamu tahu, tapi ketika kamu mendengar, kamu akan belajar sesuatu yang baru. Maka aku dengerin apa yang kamu sampein. Ku akui, semua omonganmu bener dan aku nambah pengetahuan jadinya,” tutur Asnawi, panjang lebar, sambil membalikkan badannya dan memandang Hasbi yang berdiri di dekatnya.
“Alhamdulillah kalau begitu, om. Saya takut kalau om tersinggung dengan perkataan saya,” sahut Hasbi dan memegang tangan Asnawi.
Asnawi tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kembali wajahnya mulai tenang. Terpecahkan ketidaknyamanan yang sebelumnya mengendap pada pikiran dan jiwanya.
Aku yang terus memandangi mereka sejak tadi, diam-diam bersyukur dalam hati dan tersenyum. Begitu misterius dan indahnya guliran cerita kehidupan ini ditata oleh Sang Maha Pengatur. Kegamangan dan kenyamanan datang bergantian tanpa pernah terbaca penentuan waktunya tiba.
“Emang disini inilah tempatnya mahamin kalau nggak semua keinginan bisa terpenuhi, dan itulah sebenernya obat terbaik buat kita biar nggak kecewa dan sakit hati,” tiba-tiba Tomy menyela dari tempat tidurnya.
Asnawi dan Hasbi spontan menengokkan wajahnya, melihat ke tempat Tomy yang masih merebahkan badan.
“Kamu ini nguping aja obrolan orang, Tom,” ketus Asnawi, sambil tersenyum.
“Ya kita kan sahabat, Nawi. Persahabatan yang bener itu bukan orang yang baik di depanmu aja, tapi yang tetep baik di belakangmu juga. Dan aku salah satu sahabat terbaikmu,” sahut Tomy, dan tertawa lepas.
Asnawi ikut tertawa. Dan sesaat kemudian, ia memberi isyarat waktunya untuk berolahraga. Seiring terdengarnya suara pintu kamar-kamar tahanan yang mulai dibuka gemboknya, dan suara gemerincingnya sampai ke kamar kami.
Begitu pintu sel dibuka, kami keluar kamar. Menggerakkan badan di sepanjang selasar. Tetap menjaga kebugaran tubuh adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan di penjara. Karena jika mengalami gangguan kesehatan di tempat ini, deritanya terasa beberapa kali lipat. Ditambah kondisi jiwa yang pastinya cukup sulit untuk bertahan dalam kestabilan.
Setelah beberapa kali memutari selasar sambil menggerakkan seluruh anggota badan, aku lihat Bagus, kepala blok tahanan yang baru, berdiri di depan pintu kamarnya. Dan ia memanggilku.
“Siap perintah, kepala blok,” kataku, begitu sampai di depan kamar 3, tempat Bagus.
“Babe ini seneng bener ngeledek. Aku jadi kepala blok kan karena Babe nggak mau,” sahut Bagus sambil tertawa.
“Bukan nggak mau, Bagus. Diralat omonganmu itu. Tapi karena aku emang nggak mampu. Dan kamu-lah yang mampu. Tuhan sudah ngatur kayak gitu. Jangan setengah hati nerima amanah,” ucapku dan menepuk-nepuk bahunya.
“Yah, apapun alasan Babe, terserah aja deh. Yang jelas, aku selalu minta sarannya. Sekarang, gimana nanti cara kita ngawasin saat tukang mulai kerja,” kata Bagus.
“Kita minta para kepala kamar juga ngawasin kamar masing-masing-lah. Jadi kita tinggal monitor. Sesekali aja kita ngeceknya. Juga suruh tahanan yang bisa nukang, ngebantu. Tekenin, setiap kamar minimal dua orang yang bantu tukang. Biar cepet selesai renovasinya,” ujarku.
“Kalau gitu, kita panggil para kepala kamar aja ya, Be. Kita briefing sebentar,” sela Bagus.
“Nggak usah pakai briefing-briefing itu, Bagus. Karena kamu ASN, jadinya sedikit-sedikit yang kepikir cuma briefing aja. Cukup datengin kamar mereka. Omongin satu-satu kepala kamar itu. Selesai,” saranku.
Bagus manggut-manggut. Dan tidak lama kemudian, ia langsung bergerak. Menemui kepala kamar dari satu kamar ke kamar lain. Menyampaikan tugas kepala kamar selama proses renovasi dilakukan.
Seusai mandi pagi, aku kumpulkan surat kabar yang selama ini rutin dibawa oleh Rayhan sambil mengantar sarapan. Ku bagi dalam beberapa lembar dan menyatukan serta mengikatnya dengan karet.
“Mau di-kiloin koran-koran itu, Be,” kata Pepen, bercanda. Aku tertawa. (bersambung)