Oleh, Dalem Tehang
“NANTI pasti diperluin koran-koran ini, Pen. Kan pas ngecat tembok, biar nggak berceceran catnya yang jatuh, harus ada alasnya. Koran ini bisa jadi alas. Jadi nggak kotor lantainya,” jelasku.
“Cerdas ternyata, Babe ini. Sini saya bantuin kalau gitu. Kita jadiin 10 ikat aja ya, Be. Jadi bisa kita bagi ke semua kamar,” ucap Pepen dan langsung bergerak membantuku.
“Babe ini seneng bener ngerepotin diri sendiri lo. Urusan lantai kotor bekas cat aja jadi pikirannya. Padahal biar aja masing-masing kamar bersihin kamarnya kan bisa,” kata Tomy, menyela sambil tertawa.
“Nggak ada salahnya kita saling bantu, Tom. Lagian, koran-koran ini juga biar ada gunanya setelah kita baca, ketimbang numpuk aja,” ujarku.
“Bener itu, Be. Kawan-kawan dari kamar lain yang hobi buat kerajinan tangan sebenernya pengen minta koran sama Babe, tapi nggak berani ngomong,” Arya menimbrung.
“O gitu, kalau emang ada guna buat mereka, selama sudah kita baca, kasih-kasih ajalah. Nggak usah sungkan mintanya,” kataku.
“Nanti aku bilang ke kawan-kawan ya, Be. Mereka banyak yang pengen minta, tapi selama ini nggak berani bilang,” lanjut Arya.
“Tapi sekarang korannya kan sudah terikat dan nanti buat pelapis lantai semua kamar. Paling sisa beberapa lembar lagi ini, Arya,” ujar Pepen yang masih asyik mengikat tumpukan koran.
“Lumayan masih beberapa lembar. Sisihin ya. Kawan-kawanku di kamar 6 pada minta soalnya,” kata Arya lagi.
“O, kawan-kawanmu pemetik itu lagi buat kerajinan gambar motor ya, Arya. Sekalian sama sosok orang yang metiknya nggak,” celetuk Pepen seraya tertawa ngakak.
Mendengar celetukan Pepen, kami semua tertawa. Juga Arya yang menjadi objek candaan. Saat Arya telah membuka mulutnya untuk menyahuti perkataan Pepen, tiba-tiba muncul petugas piket di depan jeruji besi. Apel pagi. Tertahanlah apa yang akan disampaikannya.
“Gimana, sehat semua? Nggak ada masalah apa-apa kan?” tanya petugas piket setelah mengabsen kami satu demi satu.
“Alhamdulillah, semua sehat dan tidak ada masalah, Dan,” sahut Nedi, yang berdiri paling dekat dengan jeruji besi.
“Syukur kalau gitu. Nanti siang ada tahanan baru masuk sini, empat orang. Selesai apel ini, kap kamar ke pos ya. Ada yang mau dibicarain,” lanjut petugas itu. Aku menganggukkan kepala.
“Wah, banyak juga kalau tambah empat orang, Be. Umplek nanti jadinya. Bisa nggak kira-kira diajak nego petugas penempatannya,” kata Tomy setelah petugas piket meninggalkan kamar kami.
“Makanya tadi petugas piket bilang kap ditunggu di pos penjagaan, itu kan dia ngebuka diri buat nego, Tom. Masak kamu nggak nyambung,” sela Nedi.
“Iya juga ya, kok aku jadi oon gini ya. Kali gara-gara keseringan makan mie instan sama nasi cadong ya,” ucap Tomy dan kembali tertawa lepas.
Spontan suasana kamar pun dihiasi dengan tawa dan canda. Dan ternyata, mentertawakan perilaku diri sendiri itu lebih menyegarkan serta lepas tanpa beban.
Di tengah kami masih asyik bercanda, Bagus dan seorang tamping tiba-tiba berdiri di balik jeruji besi.
“Be, tugas sebagai pengawas segera dimulai. Kita disuruh kumpul dulu di pos,” kata Bagus sambil menatapku.
Aku bergerak. Keluar kamar setelah pintu sel dibuka tamping. Sambil menuju pos penjagaan, Bagus bercerita ia telah memberitahu semua kepala kamar terkait dengan kegiatan renovasi mulai hari ini. Dan semua kepala kamar siap menjalankan arahan kepala blok tahanan.
Begitu sampai di pos penjagaan, tampak belasan orang berdiri disana, para pekerja yang akan melakukan perbaikan di setiap kamar tahanan.
Petugas piket memberi arahan tentang pola kerjanya. Termasuk siapa yang harus melakukan pengawasan.
Seorang pria setengah baya yang merupakan mandornya, mengaku telah membagi anak buahnya menjadi lima tim, dengan masing-masing tim beranggotakan tiga orang. Ia juga menyerahkan nama-nama pekerja sesuai dengan tim yang dibentuknya.
Bagus sebagai kepala blok tahanan menjelaskan, di setiap kamar, pekerja akan dibantu dua orang tahanan, dan kepala kamar tetap ada di kamarnya hingga pekerjaan selesai untuk melakukan pengawasan secara langsung.
Dan ketika kamar tengah direnovasi, semua penghuni hanya diperbolehkan duduk di depan kamar masing-masing. Tidak diperkenankan berkeliaran.
Ia menyarankan agar pekerja diberi pakaian dengan warna yang sama, sehingga mudah membedakan mana pekerja dan mana yang tahanan.
“Sebab, jumlah tahanan disini ratusan, saya saja nggak hapal wajahnya satu-persatu. Biar nggak timbul macem-macem, sebaiknya semua yang kerja, pakai kaos dengan warna yang sama,” urai Bagus sambil melihat ke mandor.
Petugas piket mengaminkan apa yang disampaikan Bagus. Mandor meminta waktu 30 menit untuk mengambil kaos seragam kerja timnya di kantor mereka.
Saat kami masih menunggu mandor kembali ke pos penjagaan, datang Rayhan, mengantar sarapan.
“Mantap bener kap kamar 10 ini, setiap pagi dianter sarapan. Coba dulu sesekali kami yang piket juga dikirimi sarapan,” ujar seorang petugas piket seraya tersenyum.
“Inshaallah nanti disampaikan. Tapi sarapannya pas piket aja kan, nggak harus dianter ke rumah,” sahutku sambil bercanda. Petugas piket pun tertawa.
Sarapan kiriman istriku Laksmi segera aku serahkan ke tamping untuk dibawa ke kamar. Setelah berbincang beberapa saat, Rayhan pun berpamitan.
Pria muda yang telah hampir 10 tahun bertugas sebagai sopir di rumahku ini, memang sudah seperti keluarga sendiri. Banyak hal di luar tugas utamanya yang ia tangani. Dan bersyukurnya, ia termasuk sosok yang ringan tangan.
Tidak berselang lama, mandor datang kembali dengan membawa 15 kaos warna biru, dan langsung dibagikan kepada pekerjanya.
Melihat itu, Bagus bergerak cepat ke kamar-kamar dan meminta tahanan yang memakai kaos warna biru untuk melepas dan mengganti dengan warna lain.
Aku kagumi ketelitian dan kecermatan Bagus dalam mengantisipasi segala kemungkinan buruk. Meski secara lahiriyah, sangatlah sulit tahanan bisa lolos dari kompleks rumah tahanan ini.
Hari pertama renovasi kompleks tahanan difokuskan untuk kamar 2, kamar 4, kamar 6, kamar 8, dan kamar 10.
Pekerja di kamar 10 dibantu oleh Irfan dan Arya. Keduanya membaur dan saling bantu dengan tukang yang tengah bekerja. Sedang yang lain, duduk di depan kamar. Pun dengan kamar-kamar lain. Yang tidak bertugas mendampingi pekerja, berada di depan kamar masing-masing.
Hasbi menemuiku yang masih berada di pos penjagaan, berbincang dengan penjaga dan Bagus. Ia menanyakan apakah sarapan sekarang atau nanti.
“Oke, sekarang aja. Makan di depan kamar bareng-bareng. Yang lagi bantu tukang, nanti nyusul sarapannya,” kataku pada Hasbi. (bersambung)