Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 86)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 27 Maret 2022


Oleh, Dalem Tehang


SETELAH berpamitan, aku meninggalkan pos penjagaan. Dan bersama penghuni kamar 10 lainnya, menikmati sarapan kiriman istriku. Nasi pecel dilengkapi dengan kerupuk.


“Babe, nanti kan mau masuk orang baru nih, apa masih mertahanin kriteria lama?” tanya Tomy di sela-sela kami sarapan.


“Iya, nanti soal itu aku bicarain sama petugas piket. Tadi belum pas waktunya mau ngomonginnya,” kataku.


“Emang yang masuk kamar kita pakai kriteria, Be?” tanya Nedi. Aku menganggukkan kepala.


“O iya ya. Nedi sama Atmo belum tahu ya? Jadi gini, aku aja yang jelasin ngewakilin Babe. Kamar kita nolak yang masuk karena kasus cabul dan curanmor,” kata Asnawi, menyela.


“Emang kenapa sama yang kasus-kasus itu?” tanya Nedi lagi. Tampak ada keheranan di wajahnya.


“Karena yang tersangkut kedua kasus itu sering jadi bulan-bulanan petugas. Di-bagal habis-habisan. Kasihan ngelihatnya. Yang pernah ngalamin itu ya si Arya. Gara-gara dia itulah, akhirnya kita sepakat melobi petugas dan kepala blok untuk nggak masukin yang kasus cabul sama curanmor ke kamar kita,” jelas Asnawi.


Nedi menganggukkan-anggukkan kepalanya. Tampak ada pengalaman baru yang ia dapatkan dari gaya di kamar 10 ini.


“Ada yang buatmu heran kayaknya, Nedi?” tanya Tomy yang memperhatikan wajah Nedi.


“Ya, heran nggak heran sih sebenernya. Herannya, kok bisa ada kesepakatan kayak gitu. Nolak tahanan yang kasusnya cabul sama curanmor. Padahal, kita sama-sama tahanan juga. Dan kok bisa dijalanin kesepakatan ini,” ucap Nedi sambil tersenyum.


“Terus nggak herannya apa?” sambung Tomy. Penasaran.


“Nggak herannya, ya namanya dunia penjara kan emang penuh dengan keanehan dan ketidaklaziman kalau ngutip bahasanya pejabat. Sepanjang ada fulus, semua bisa diatur,” kata Nedi lagi, dan tetap tersenyum. 


“Kira-kira sampai kapan kesepakatan ini bisa dipertahanin ya, Be?” tanya Asnawi memandangiku.


Aku hanya angkat bahu. Karena menyadari, masa penahanan di tempat ini maksimal hanya 90 hari, yang datang dan pergi bergantian sesuai siklusnya. Tidak ada yang bisa menjamin, sesuatu yang berjalan hari ini, tetap bertahan pada esok hari. Sebuah kehidupan tanpa ritme yang tersusun rapih. 


“Saya punya usul. Gimana kalau yang kerja di kamar kita, dikasih rokok. Juga dibuatin kopi. Biar mereka semangat kerjanya,” kata Atmo, membuka obrolan baru.


“Bagus itu. Lakuin aja,” sahutku, pendek.


Atmo langsung berdiri dan memanggil tamping. Ia masuk kamar, membuka lipatan kaosnya, mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli tiga bungkus rokok bagi para tukang yang bekerja di kamar 10. Saat tamping datang, ia serahkan uangnya dan memberitahu jumlah rokok yang dibeli.


Tanpa diperintah, Hasbi juga bergerak. Meminta air panas kepada tamping dan membuatkan tiga gelas kopi. 


“Aku ada makanan camilan, kasih juga ya,” ucap Pepen sambil memandangi kami semua. Bersamaan kami anggukkan kepala.


Selepas sarapan dan menikmati sebatang rokok, aku masuk ke kamar. Mengecek hasil pekerjaan tukang. Diluar dugaan, kerja mereka cukup cepat. Hanya bak mandi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk penyelesaiannya. Karena sudah terlalu banyak rembesan meski kecil-kecil.


“Kira-kira selesai nggak sampai jam 5 sore nanti, pak?” tanyaku pada salah satu pekerja.


“Kalau mlester sama ngecatnya selesai, pak. Cuma bak mandinya belum bisa diisi air. Minimal besok siang baru bisa diisi. Biar kering dulu tambelannya,” kata pekerja itu.


“Sip kalau gitu, pak. Tolong yang lebih rapih ngecatnya ya. Biar kelihatan bener cat barunya itu,” kataku.


“Siap, pak. Cuma mohon maaf, kawan yang satu ini kayaknya kurang pede kerjanya. Katanya grogi berat karena harus kerja di sel penjara,” ujar salah satu pekerja sambil menunjuk seorang kawannya yang tampak banyak diam. 


“Lah, kenapa harus grogi? Kan bisa lihat sendiri. Kami nggak macem-macem. Malah kami suguhi kopi, dikasih rokok dan camilan kerja disini. Kalau ada perlu apa-apa bilang ke Arya atau Irfan. Itu orangnya lagi berdiri di pintu, mereka yang bantu bapak-bapak beresin pekerjaan di kamar ini,” sahutku sambil menunjuk Arya dan Irfan.   


“Terimakasih, pak. Kami akan kerja sebaik mungkin. Mudah-mudahan nggak ngecewain hasil kerja kami,” kata tukang itu lagi. 


Sambil meninggalkan kamar, aku pesan pada Arya dan Irfan untuk terus membantu dan memantau pekerjaan tiga orang tukang tersebut.


Sesuai arahan pak Rudy, aku mengecek semua kamar yang hari itu direnovasi. Belum sampai setengah hari, rata-rata sudah lebih dari 60 persen hasil pekerjaannya. Lumayan cepat dan cukup baik.


Seorang tamping mendekat saat aku masih memantau pekerjaan di kamar 4. 


“Om, diminta ke pos. Ada yang mau diobrolin kata petugas piket,” ucap tamping itu.


Aku masuk ke pos penjagaan. Tiga orang petugas yang sedang piket, tampak asyik bermain games di hp-nya masing-masing.


“Oh, kap sudah dateng ya. Kita ngobrol sebentar aja,” kata salah satu petugas piket begitu melihat aku duduk di kursi panjang yang ada di pos penjagaan.


“Siap, pak. Obrolannya yang asyik tapi ya,” sahutku sambil tersenyum. 


Mencoba sejak dini melunturkan kemungkinan petugas piket bermain sandiwara, menunjukkan kekuasaan dan kewenangannya yang seringkali tidak berbatas.


“Iyalah, asyik-asyik aja kok, kap. Jadi gini, kamar 10 dapet perhatian serius dari Kapolres, karena cuma diisi delapan orang. Padahal kamar-kamar lain paling sedikit isinya 16 orang,” urai petugas itu setelah menaruhkan telepon selulernya di meja.


“Oke, terus gimana, pak,” kataku, memotong.


“Jadi, sesuai arahan Kapolres, nanti kamar 10 dapet tambahan empat orang dari tujuh yang siang ini masuk,” sambung dia.


“Kalau boleh tahu, kasus apa saja mereka bertujuh itu, pak?” tanyaku.


“Sebentar, saya lihat catetannya dulu,” jawab petugas piket dan membuka map yang ada di mejanya. 


“Tiga orang kasus perampokan, dua orang kasus narkoba, satu orang kasus penggelapan mobil rental, dan satu orang lagi kasus curanmor,” petugas itu mengurai, setelah membaca catatan di mejanya.


“Izin ini, pak. Kalau bisa, yang masuk kamar 10 itu yang kasus perampokan sama penggelapan mobil rental. Kalau narkoba kan memang nggak mungkin,” kataku kemudian.


“O gitu, maunya kap. Kenapa nggak yang curanmor juga aja sekalian. Atau ditukar sama yang kasus penggelapan,” sahut petugas piket.


“Kami di kamar punya kesepakatan, menghindari yang kasus curanmor sama cabul, pak. Lagian pas empat orang kalau yang kasus perampokan sama penggelapan. Sesuai arahan Kapolres,” ucapku.


“Ya sudah kalau maunya kap begitu. Tapi tetep inget ya, kap. Yang berhak mengatur penempatan itu kami petugas tahti dan piket. Bukan tahanan ngatur penempatan tahanan,” kata petugas itu menyindir sambil tersenyum penuh arti.


“Iya, saya paham kok, pak. Cuma tadi saya menyampaikan saja, kalau di kamar kami ada kesepakatan seperti itu. Sebagai kap kamar, tentu saya harus perjuangin. Maka saya sampaikan. Dan saya berharap, tetep ada toleransi-lah untuk kami wujudin kesepakatan itu,” kataku panjang lebar.


“Oke, nanti kita atur. Yah, sama-sama kita ngatur-lah. Saling paham aja,” lanjut petugas piket, dan terus menebar senyuman penuh arti.


“Siap, pak. Sepahaman itu indah,” ujarku, juga sambil tersenyum. (bersambung)

LIPSUS