Oleh, Dalem Tehang
AKU masih di pos penjagaan, berbincang ringan dengan petugas piket, saat dari kejauhan ku lihat adik iparku, Laksa, tengah berjalan menuju kompleks rumah tahanan.
“Itu adek saya, pak. Bisa nanti kami ngobrol disini saja,” kataku pada petugas piket.
“Oke, bisa. Kan sekarang ini memang kap lagi tugas juga. Ngawasin tukang yang kerja. Jadi nggak nyalahin aturan,” ucap seorang petugas piket, penuh pengertian.
Laksa langsung memelukku erat begitu masuk pos penjagaan dan aku sudah berdiri menyambutnya.
“Alhamdulillah. Akhirnya bisa juga kita ngobrol bebas ya, kak. Seneng hati saya bisa ketemu kayak gini,” kata Laksa dengan wajah berbinar penuh rona bahagia.
“Kakak juga seneng, dek. Alhamdulillah bener ya. Tetep ada kemudahan. Emang kamu nggak ngantor?” ujarku.
“Ngantor, kak. Karena inget kakak sejak pagi bisa di luar sel, jadi saya sempetin kesini. Harapannya ya bisa ngobrol bebas gini, nggak dibatesin jeruji besi kayak biasanya. Alhamdulillah, harapan saya dikabulkan Yang Kuasa,” urai Laksa, dan kembali memelukku.
Laksa membawa dua kantong plastik berisi makanan. Ia serahkan satu kantong ke petugas piket. Berikut dua bungkus rokok.
“Terimakasih banyak, pak. Wah, banyak bener ini pemberiannya,” kata petugas piket begitu menerima pemberian Laksa.
“Yang ini untuk kakak. Isinya makanan kecil sama minuman dan vitamin. Juga ada rokoknya,” ucap Laksa sambil menyerahkan kantong plastik satunya ke tanganku.
“Banyak bener kamu itu kalau bawaan, dek. Nggak usah selalu bawaan-lah kalau dateng. Kakak jadi nggak enak hati,” kataku dengan serius dan memandang wajah Laksa.
“Ini nggak seberapa, kak. Alhamdulillah ada aja rejekinya kalau mau nemuin kakak. Ya semua sudah diatur sama Yang Maha Pengatur, kita syukuri dan nikmati aja, kak,” sahut Laksa dengan bahasa yang terus menunjukkan ketergantungan kita sebagai makhluk pada Sang Pencipta.
Kami berbincang ringan. Mulai soal kondisi keluarga saat ini hingga posturku yang kian mengurus.
“Kakak jangan terlalu banyak pikiran. Lepasin aja. Serahin semuanya sama Yang Kuasa. Ini sudah takdir kakak, terima dengan sabar dan ikhlas. Jadi nggak makan badan. Saya prihatin ngelihat kakak yang kurus begini,” tutur Laksa, tidak bisa menutupi kesedihannya melihat kondisiku.
“Inshaallah, dek. Kakak sama kawan-kawan di kamar terus rutin jamaahan lima waktu. Kakak bersyukur, ketemu kawan-kawan yang segera nyadarin kalau nggak ada pilihan di penjara gini selain deketin diri sama Tuhan. Cuma emang kakak akui, ngendaliin pikiran dan perasaan itu nggak mudah, dek. Itulah kali yang ngebuat badan kakak jadi turun beratnya sekarang ini,” kataku mengurai.
“Ya emang nggak mudah buat tetep bisa tampil kayak biasanya sih, kak. Tapi maksud saya, kakak jangan terus-terusan mikirin persoalan yang buat kakak masuk ini. Sudah, lepasin aja. Yang Maha Kuasa sudan nakdirin kayak gini. Terima dengan sabar dan ikhlas. Saya yakin, kakak bisa kok,” lanjut Laksa, masih dengan suara penuh keprihatinan.
“Inshaallah, dek. Kakak terus coba ya,” ujarku.
Aku tepuk-tepuk bahu Laksa. Mencoba menenangkan, sekaligus menunjukkan bila aku amat memahami apa yang ia inginkan.
Suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Menggetarkan jiwa. Menyadarkan akan adanya kewajiban yang mesti dilakukan sebagai sebuah ekspresi penghambaan kepada Sang Khaliq.
“Saya pamit dulu ya, kak. Sudah dhuhur. Mau balik ke kantor. Inshaallah begitu ada kesempatan, saya bisa kesini lagi,” kata Laksa, dan berdiri.
Kami berpelukan erat. Ada keharuan yang begitu mendalam. Setetes air jatuh dari sudut mataku. Kedua mata Laksa pun tampak memerah, menahan kesedihan yang tidak bisa diungkapkan.
“Terimakasih banyak atas semuanya ya, dek. Salam kakak untuk keluarga. Kita terus saling doa aja. Allah yang mengatur semuanya,” ucapku sambil menyalami Laksa dengan kencang.
Ku perhatikan langkah Laksa yang tampak ia paksakan tetap gagah saat berjalan meninggalkan pos penjagaan menuju parkiran kendaraan di samping mapolres. Aku sangat bangga pada dirinya. Yang begitu tulus tanpa pamrih dalam mengekspresikan sebuah kedekatan batin dengan wujud lahiriyah yang apa adanya.
Aku berniat kembali ke kamar setelah Laksa tidak tampak lagi dari pandanganku. Namun seorang petugas piket menahan. Memintaku tetap di pos penjagaan.
“Kenapa, pak” tanyaku, heran.
“Tadi saya bawa buah kelengkeng, hasil panen dari taneman di rumah. Ini untuk kap. Sedikit memang, tapi biar ngerasain hasil taneman sendiri,” kata petugas piket itu.
Ia beri aku satu kantong plastik buah kelengkeng yang kelihatan kulitnya masih ranum. Pertanda baru dipetik.
“Metiknya tadi pagi itu, kap. Pas mau piket,” lanjut petugas itu sambil tersenyum.
“Alhamdulillah, terimakasih banyak, pak. Inshaallah tanemannya terus berbuah ya,” kataku sambil membungkukkan badan. Pertanda hormat.
“Sama-sama, kap. Cuma maaf, nggak banyak. Ya sekadar biar kita sama-sama ngerasain aja,” sambung dia, masih dengan tersenyum.
Mandor melapor kepada petugas piket, waktu istirahat telah tiba. Pintu pemisah pos penjagaan dengan ruang tahanan pun dibuka. Setelah melalui pengawasan dan penghitungan yang ketat, ke-15 pekerja diperbolehkan keluar. Untuk makan siang dan solat.
“Kami makan dan solat di luar, pak. Nanti kami segera kembali kesini,” ucap mandor melapor kepada petugas piket.
“Silahkan, yang penting sesuai jadwal sudah mulai kerja lagi,” kata petugas piket.
Aku pun masuk ke ruang kompleks tahanan, untuk kembali ke kamar. Bagus yang menungguku di depan kamarnya, meminta buah kelengkeng yang diberi petugas piket.
“Ada aja lo rejeki Babe ini. Aku yang dari tadi duduk disana, nggak pernah ditawarin. Begitu Babe, malahan dikasih,” kata Bagus, dengan nada setengah ngambek.
“Namanya nasib orang, Gus. Mana kita tahu. Ya sudah, ini juga kan kita bisa berbagi,” sahutku, dan aku beri keleluasaan bagi Bagus untuk mengambil buah kelengkeng sesuai kemauannya.
Sambil berjalan ke kamar, aku makan buah kelengkeng pemberian petugas piket. Manis, legit. Alhamdulillah.
Saat melewati kamar 9, seorang tahanan menyapaku. Aku pun berhenti. Ia meminta buah kelengkeng yang ada di kantong plastik. Dan karena tinggal sedikit, akhirnya aku berikan semua kepada penghuni kamar 9.
Keinginan untuk berbagi itu aku rasakan semakin menggelora saat di dalam penjara. Betapa banyak sesama tahanan yang menahan lapar dan haus akibat keterbatasannya.
Betapa banyak yang untuk menghilangkan dahaganya, terpaksa harus meminum air langsung dari keran. Betapa banyak yang untuk mengganjal perutnya, mesti berbagi satu bungkus mie instan untuk lima orang. Bahkan, satu batang rokok bergantian menghisapnya untuk delapan orang.
Sambil melamunkan berbagai kondisi itu, tanpa terasa langkah pelanku telah membawa memasuki kamar 10. Tempatku tinggal selama dua bulan lebih terakhir ini. (bersambung)