"Jika hendak belajar kegigihan tanpa pernah putus di setiap kesempatan yang terbuka, simaklah perjalanan Prabowo."
SAYA
tersenyum sendiri, usai membaca kolom Wisnu Nugroho, Pimred Kompasdotcom yang berjudul "Probowo dan Kegigihan di Lima Kali
Pemilihan Presiden" itu.
Jika ditarik dalam konteks lokal Lampung, mungkin
kegigihan Prabowo sama dengan gigihnya Herman HN untuk maju Pemilihan Gubernur.
Herman HN selalu punya potensi sebagai calon gubernur unggulan, namun berujung
pada kekalahan-kekalahan yang bisa dibilang, dramatis.
Menariknya, sekarang. Meski dalam suasana suka
cita pasca pelantikan Partai NasDem, dimana Herman HN sebagai Ketua DPW, jelas
paling punya peluang besar sebagai calon gubernur dari partai besutan Surya
Paloh. Ironisnya, justru pernyataan mengejutkan, diucapkan Surya Paloh, parpol
itu disebut. Belum tentu mengusung Herman HN jadi calon gubernur sebelum
menunjukkan prestasi.
Kalimat yang secara eksplisit, menegaskan belum
tentu mengusung Herman HN. Hal ini, jauh dari karakter NasDem dan Surya Paloh
yang biasanya, paling awal dalam setiap deklarasi pencalonan. Baik itu kontestasi
level kabupaten/kota, gubernur, maupun ketika Pilpres.
Herman HN, Pilgub 2014 maju berpasangan dengan
Zainudin Hasan, kalah dengan pasangan Ridho Ficardo-Bahktiar Basri. Pada 2018,
maju lagi berpasangan dengan Sutono, yang kini jadi Sekretaris DPD PDI
Perjuangan. Herman-Sutono, dikalahkan pasangan Arinal Djunaidi-Chusnunia.
Jauh setiap jelang Pilgub, Herman HN merupakan nama bakal calon yang cukup populer dan punya modal elektabilitas. Dua periode menang Pilwakot Bandarlampung, dua kali sebagai cagub dengan perolehan suara lumayan besar. Selalu juara kedua.
Yakni, pada 2014 mendapat
1.342.763 suara, setara dengan 33,12%. Herman HN- Zainudin kalah dengan
Ridho-Bakhtiar yang memperoleh 44,96% atau 1.816.533 suara.
Sedangkan pada Pilgub 2018, Herman HN-Sutono
meraih suara 1.054.646, atau memperoleh 25,73%
tetap di juara kedua, kalah dengan Arinal-Chusnunia yang mendapat
1.548.506 suara, setara dengan 37,78%.
Yang menarik. Pasangan Herman HN-Sutono unggul
tipis dibanding incumbent, Ridho-Bakhtiar, pasangan yang mengalahkannya pada
Pilgub 2014. Kita ketahui, Ridho-Bakhtiar mendapat suara 25,46% atau 1.043.666.
Namun, berbasis hasil Pilgub 2018 itu, jika
ditarik dalam konvergensi parpol pengusung calon, ada 4 pasang calon dan Herman
HN-Sutono ketika itu, hanya diusung PDI Perjuangan. Satu parpol. Mampu jadi juara
kedua. Di sini, ada pasangan Mustafa-Ahmad Jajuli, diusung NasDem, PKS, dan
Hanura. Mustafa-Ahmad Jajuli memperoleh 11,04% atau 452.454 suara. Padahal,
kita ketahui, pasangan ini nyaris tidak ikut kampanye sebab, Mustafa
ditangkap KPK. Artinya, jika NasDem pada Pilgub 2018 ikut mengusung Herman HN,
menilik hasil suara partai itu di Pileg 2019, jelas mampu memenangkan Pilgub
Lampung.
Akan tetapi, variabel dalam politik selalu banyak faktor
yang memengaruhi. Diantaranya, sebagaimana dikuak buku “Politik Ambivalensi;
Nalar Elite Dibalik Pemenangan Pilkada” yang menyebut, studi mengenai patronase
yang mencoba menunjukkan sebuah gejala lain yang mirip dan dipandang negatif,
yang hampir selalu muncul dalam setiap pilkada di Indonesia, yaitu politik
uang. Selain itu, mencoba menguak nalar di balik proses pilkada tersebut, yang
memanfaatkan relasi patronase sebagai salah satu siasat utama untuk memenangkan
kontestasi politik.
Jika diamati secara lebih seksama, dua faktor
pemenang utama dalam setiap kontestasi di hampir semua Pilkada, yang disebut
buku itu, nyaris selalu diabaikan Herman HN.
Tentu, langkah ini bakal berbeda dengan Pilgub
2024. Patronase yang coba dibangun dengan menjadi Ketua DPW Partai NasDem, setidaknya
membuka celah, akankah margin hasil perhitungan suara yang cukup tipis pada
Pilgub 2018 lalu, bakal dimenangkan Herman HN?
Kita lihat saja.
Mungkin, jika Herman HN mampu melebarkan sayap
dengan menggaet perahu dari parpol lain seperti, PDI Perjuangan, Demokrat, PKS, dan atau parpol lain, peluang
kemenangan selalu ada.
Minimal, kegigihannya sebagai calon gubernur.
Kalau pun kalah, setidaknya mengikuti jejak Prabowo yang maju Pilpres sampai 4
kali.
Atawa, Herman HN hendak belajar meraih kemenangan
di kesempatan kecil yang terbuka dengan kegigihan biasa-biasa saja, menurut Wisnu, simaklah SBY dan Jokowi. Lokus lokal mungkin lebih tepat, simaklah perjalanan Arinal Djunaidi atau Ridho Ficardo. Muncul biasa saja sebagai calon gubernur, tapi menang pada Pilgub 2014 dan 2018. (*)
Pemilik Akun IG @Endritorial