Cari Berita

Breaking News

Refleksi: Sepuluh Tahun Puisi Esai

Senin, 21 Maret 2022



Oleh Isbedy Stiawan ZS



—--------------‐------------------------------

Pada Jumat 17 Maret 2022, komunitas pues berulang tahun ke 10. Dirayakan di Roemah Kuliner Metropole Cikini, Jakarta. Dihadiri sekira 15 orang. Sepertinya Milad pertama selama 10 tahun. 

—---------------------------------------------



SEMBILAN tahun silam, pertama kali saya mengenal puisi esai, “makhluk baru” dalam genre sastra — khususnya puisi — Indonesia. Saya katakan baru, karena menggunakan istilah yang mengawinkan dua disiplin dari sebuah karya tulis. 


Kalau soal lainnya, yang menurut banyak orang sudah dilakukan oleh sastrawan lain, semisal Linus Suryadi AG lewat Pengakuan Pariyem ataupun sastrawan lain, adalah hal lain.Tapi, saya tidak mau memperpanjang persoalan itu. Biarlah orang lain.


Pada 9 tahun lalu, saya dihubungi kawan penyair Jakarta, Remmy Novaris DM. Ia mengatakan sekaligus mengajak dalam “proyek” penulisan (buku) puisi esai yang digagas Deny JA. Kata Remmy, sejumlah sastrawan akan ikut terlibat di dalam penulisan buku itu. 


Saya harus jujur katakan, saat itu saya tidak mengenal Deny secara dekat (pribadi), namun yang saya tahu DJA — biasa disapa — adalah konsultan politik dan penggagas suatu lembaga survei (politik) di Indonesia. Ia juga kolumnis. Puisi-puisi esainya saya baca kemudian, sebagai referensi. 


Saat itu Remmy juga bicara ihwal karya yang dihonori. Saya berkeyakinan, program buku puisi esai ini digagas serius dan profesional. Remmy juga menyampaikan, kalau saya ‘oke’ maka Fatin Hamama sebagai “orang DJA” akan menghubungi. Fatin adalah penyair perempuan yang sudah saya kenal cukup lama. Kami pernah seperjalanan dalam rombongan ke Thailand dalam acara Dialog Utara, bersama Hudan Hidayat, Irwan Kelana, Leon Agustus (alm, alfatihah). 


Remy juga izin memberikan nomor kontak saya. Tak lama dari percakapan dengan Remy, Fatin menghubungi saya. Percakapan langsung ke inti masalah; tema yang digarap dalam puisi esai dan nominal honor. “Bisa kan menulis puisi esai?” tanya Fatin.


Biarpun saya belum pernah menulis puisi esai dan tak ada puisi saya selama ini saya tulis melebihi 5 halaman kertas HVS/halaman komputer (laptop), saya optimistis katakan bisa. Lagipula, menulis adalah jalan hidup saya dan profesi, semestinya juga profesional. 


Deal! Begitu pembayaran saya terima (di sini nominal tidak saya sebut, karena sudah banyak yang tahu), saya langsung ke Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung. Masalah tanah di daerah itu memang sempat hangat. Kawasan register bernama Moro-Moro telah membetot perhatian saya. Dus hari di sana sambil mengamati lokasi dan sedikit wawancara ditambah dengan sebuah buku tentang Moro-Moro yang ditulis aktivis Oki Hajiansyah Wahab. Lalu jadilah puisi esai pertama saya, berjudul “Kisah dari Moro-Moro, Negeri Asing Itu” (baca: Moro-Moro Algojo Merah Saga (Editor Fatin Hamama, Jurnal Sajak, Januari 2014). 


Kalau titimangsa puisi esai (selanjutnya, akan saya singkat menjadi pues saja) tertulis Lampung, September-6 Oktober 2013, berarti pergulatan saya di komunitas ini sudah 9 tahun. Ternyata untuk menulis sebuah pues pun saya butuh waktu sekira satu bulan—minimal 3 minggu. Karena menulis pues mesti berdata, ini membutuhkan waktu mencari referensi selain survei lokasi. Bukan berarti puisi di luar pues tak berdata dan lainnya. 


Semua puisi punya data, biarpun tersembunyi atau disembunyikan oleh penyairnya. Juga amatan, resapan, cecap sebelum penyair menuliskan. Dalam pues ditambah - semacam wajib - ada catatan kaki. Awalnya, agak sulit saya melakukan


Alabisa karena biasa. Pepatah ini saya rasakan berlaku saat menulis pues. Dari pengalaman pertama di Moro-Moro…" saya mendapatkan pengalaman lain. 


Ternyata program penulisan buku pues dilanjutkan dengan launching, setahun berikutnya. Bertempat di Teater Kecil TIM Jakarta. Ada konferensi pers. Ada pula pembacaan petikan pues yang dipandu Sujiwo Tejo.


Heboh! Sejumlah (seniman) berdemo di depan Teater Kecil. Mereka menolak pues (Deny JA). Mereka dipicu oleh terbitnya buku 33 tokoh sastra Indonesia (33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, KPG Januari 2014), musabab ada nama penggagas pues, Deny! Ya, DJA "seakan setara" dengan sastrawan lainnya semisal Amir Hamzah, STA, HB Jassin dll. Seakan DJA menelikung dekat finish. Dianggap "politik masuk ke dunia sastra". Kita mulai alergi pada politik, rupanya. Lalu melupakan, bahwa sejatinya dari bangun hingga mau tidur kita berpolitik–menjalani "politik hidup". Bagaimana kita bisa bertahan.


Kalau buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh bermasalah bukan lagi berhujjah sebagai "barang haram" yang mesti dimusnahkan, tetapi lawan dengan karya (buku) yang lain. Sejarah sudah ada, Ajip Rosidi membuat buku juga untuk "menyaingi" buku yang disusun HB Jassin.


Selepas konpers, saya keluar dari Teater Kecil mau mencari rokok. Di jalan saya dicegat salah satu pendemo. Ia “sok akrab” mewawancarai — lebih tepatnya ingin mendoktrin saya — sambil mengaktifkan rekaman di telepon genggamnya. 


“Abang tidak tahu kalau dipolitisasi Deny.”


Saya menggeleng.


“Abang tak sadar kalau sudah dijebak demi ambisi politik DJA, sampai-sampai ia mau keluar uang besar membayar penulis?”


Saya kembali menggeleng.


Dia terus memburu dengan pertanyaan dan pernyataan.


Akhirnya saya katakan pada orang muda itu. “Ingat, saya bukan peramal. Mana saya tahu soal buku yang menghebohkan itu. Saya menulis karena memang profesi saya adalah penulis. Saya punya barang, Deny punya uang. Jual beli karya atau barang yang saya yakin sah dan halal.”


Dia masih mengikuti saya. Saya katakan lagi, “Andai saya punya uang dan sekaya DJA dan saya tahu Anda bisa menulis baik, lalu saya tawarkan pada Anda, akan anda ambil dan menulis juga. Dalam berniaga, kita dianjurkan boleh kepada siapa saja, bahkan berbeda keyakinan!”


Setelah kejadian peluncuran buku pues, sejumlah penulis berjamaah memulangkan uang dan meminta karyanya dicabut dari buku. Saya bertahan untuk tetap di jalan awal; jual beli sudah disepakati. Tak ada yang dikecewakan ataupun dirugikan. Saya tak merugikan orang ramai, dari mereka juga saya tak pernah mendapatkan apa-apa. Berkarya adalah urusan individu dan me pribadi. 


Dia lalu diam, mengingsut lalu menjauh dari saya. Tak tahu apakah hasil rekaman itu ia hapus atau menjadi kenangan. Kepada banyak pihak setelah penghebohan  berikutnya, saya selalu gunakan kalimat tersebut. Sedikit saya tambah, menulis bagi saya adalah profesi, harus saya lakukan secara profesional. 


Setelah perjalanan “Moro-Moro” saya mendapat informasi bahwa Jurnal Sajak menggelar lomba pues. Ternyata ini sudah tahun kedua. Nama-nama seperti Beni Setia pernah ikut dan menang (?). Saya ikut, mengambil tema pertikaian antaretnis di Kalianda, Lampung Selatan. Kerusuhan antara etnis Bali dan pribumi menyita pemberitaan kala itu. Karena dari kedua pihak jatuh korban.


Pues saya, “Cerita Duka dari “Negeri Keratuan Darah Putih” memperoleh juara ketiga. Ada yang menarik dari kabar baik ini. Pada saat pembacaan petikan pues saya jumpa Agus R. Sarjono, salah satu dewan juri. Di belakang panggung kami jumpa dan mengobrol sedikit. Ia berujar, “Ternyata Anda bisa juga menulis pues, sama kuat dengan menulis puisi lirik.” Penilaian Agus itu langsung saya balas: “Wah bakal juara ni aku!” Khas saya dibarengi tawa. Agus membalas dengan tersenyum (manisnya hehe…). Benar! Saya diundang hadir saat pengumuman. 


Meski saya tanya ke Jamal D. Rahman waktu itu ditugaskan menghubungi para pemenang. “Kalau hanya harapan dan seterusnya aku tak mau hadir.” Jems -biasa ia disapa- menegaskan, “Ya sudah datang saja! 


Saat penyerahan hadiah, saya ingat selain Joni Ariadinata yang membaca pues juara pertama, juga ada Monica yang membaca pues Deny JA. Kejuaraan ini semakin menambah "kekuata " bagi saya menulis pues, yang saya anggap sebagai “genre baru” terlepas banyak yang membantahnya. 


Beberapa tahun selanjutnya, saya diundang lagi untuk mengkoordinir penulis di daerah (Lampung) yang mau menulis pues. Dapat 5 penulis termasuk saya, yaitu Endri Kalianda, Jafar Fakhrurozi, Fajar Mesaz, dan Syaiful Irba Tanpaka. Setelah nama-nama itu saya serahkan kepada Fatin Hamama sebagai koordinator pusat, salah satu penulis dari Lampung meminta saya pertimbangkan ulang. 


“Abang senior di antara kami, ibarat pohon yang lebih tinggi maka guncangan oleh tiupan angin lebih terasa. Sasaran bully pasti tertuju ke bang Is, dan bukan ke kami. Kalau saya keputusan Abang.”


“Jalan,” hanya itu jawaban saya.


Kami pun jalan. Kami berbagi gagasan, Jafar mengangkat ‘tanah ulayat dimakan ulat’, Fajar menggarap ‘seorang ibu yang membawa bayinya yang meninggal di rumah sakit dengan angkot ke Kotabumi Lampung berjarak 171 km dari Kota Bandarlampung.


Lalu Syaiful Irba Tanpaka menulis soal ‘sejak lokalisasi ditutup, justru prostitusi merebak ke jalan-jalan tengah kota’, Endri mengangkat ‘kampung begal Jabung Lampung Timur', dan saya menulis ‘kampung Texas’ Telukbetung. 


Pues saya di 5 penulis pues dari Lampung, lagi-lagi saya tulis hampir satu bulan, 18 Oktober-29 November 2017. Buku pues ini diterbitkan secara e-book, dan disiarkan di grup FB Komunitas Puisi Esai pada Agustus 2018 (cetakan pertama).


Perjalanan dari rencana hingga penerbitan, dunia maya menjadi gaduh. Semua yang terlibat proyek nasional pues ini dibully dan dimaki-maki, bahkan fitnah. Saya sempat menutup media sosial sebentar, tapi saya buka lagi. Namun, tidak mau terlibat dalam berbagai perdebatan. Hanya Heri Mulyadi, penulis Lampung namun menggunakan kloter Jambi, “gagah berani” terlibat dalam berbagi diskusi di media sosial. Politisi dari PKS dan pengusaha ini, gagah bag petarung menentang badai. Meski sekali waktu, ia mengontak saya dan mengabarkan: “wah bang, saya 'babak belur" debat dengan Ahmad Yulden Erwin dan 'simpatisannya' di FB,” katanya terbahak. Masih juga sempat tertawa ini orang, batin saya. Saya salut atas sikapnya.


Tidak tahan mendapat serangan "batman" bertubi-tubi Jafar Fakhrurozi dari Lampung mengundurkan diri, dengan mengembalikan uang ke DJA. Meski uang itu dipulangkan ke Jafar. Di daerah lain, kabarnya ada yang mencabut karyanya karena tak tahan intimidasi.


Dan, ini merupakan tahun sebagai “perayaan paling menghebohkan” bagi pues. Walau sebelum ini, juga ada hingga ke persidangan karena laporan Fatin yang dicemarkan nama baiknya. 


Saya juga tak lepas mendapat caci dan bully. Juga fitnah. Sampai-sampai rencana yang murni gagasan kami sebagai sastrawan untuk menghelat pertemuan sastrawan di Babel, difitnah atau dicurigai dapat bantuan dari Deny JA. Saya dan Anwar Putra Bayu yang sudah berkorban waktu dan lelah karena naik kapal laut, berantakan tak tersisa. 


Saya juga mendapat predikat "penyair puisi esai" seakan mengubur kerja saya menulis ribuan puisi di luar puisi esai. Sampai-sampai kekaryaan saya disingkirkan dari ranah sastra di daerah saya. Atau ada yang tidak mau satu buku dengan karya saya. Kebencian mengalahkan akal sehat.


Belum lagi pesan masuk ke inbox isteri yang membuatnya stres. (Maafkan saya ya sayang, Fitri Angraini). Setiap pekerjaan pasti berisiko, yang jahat maupun baik. Yakinlah apa ysng saya lakukan ini baik dan halal (halalun thoyyibah). 

     Usai merayakan 10 tahun Pues
          di Roemah Kuliner Jakarta

Ketika ada acara sastra di luar kota, saatnya saya keluar kandang. Saya menemui setiap orang yang menolak pues. Diskusi. 


Di Hari Puisi Indonesia di pelataran TIM, Festival Sastra di Bengkulu, juga Rainy Day di Banjarbaru z Kalimantan Selatan, dan Kongres Kesenian di Jakarta. Ada yang menarik komentar ketus panitia sekaligus Kepala Dinas Perpustakaan Banjarbaru. “Anda tetap menunjukkan puisi yang berkualitas, sepertinya tak berpengaruh heboh pues. Saya salut.” (kira-kira ucapan seperti itu yang saya tangkap dan ingat)


Ternyata di dalam negeri pues ditentang dan ditolak oleh sebagian seniman dan aktivis seni. Justru pues merambah dan mengepakkan sayap untuk meninggi dan menclok di dahan yang lebih jauh. Terbang sudah antarnegara alias ASEAN. 


Sungguh, sulit dibendung. Dan saya meyakini, bahwa semakin dibendung, kreativitas justru berubah jadi bah. Saya teringat biografi seniman Sade yang konon mengilhami istilah sadis(me). 


Nama Sade lengkapnya adalah Marquis de Sade dalam budaya populer , termasuk karya fiksi, biografi, dan referensi kecil lainnya. Senama dengan istilah psikologis dan subkultur sadisme, namanya digunakan secara beragam untuk membangkitkan kekerasan seksual, ketidaksopanan, dan kebebasan berbicara. 


Sade pernah ditahan tanpa ia tahu kesalahannya. Di dalam penjara ia tetap menulis. Menurut cerita, setiap menulis, seorang perempuan pencuci pakaian yang mengambil kemudian diserahkan ke penerbit. Sade pertama kali menulis di kertas, karena ketahuan selnya steril bagi kertas dan pena. Ia pun menulis di taplak meja, ketahuan lalu tak ada alas meja di dalam tahanannya. Singkat cerita, ia menulis di seluruh tubuhnya yang bugil dengan darahnya sendiri. Hingga mati dalam tahanan. 


Dari membaca kisah Marquis de Sade bisa jadi pembelajaran bagi kita bahwa semakin dikerangkeng seseorang (seniman), kian membuncah kreativitas imajinasinya. Atau badan bisa dipenjara atau dibatasi, tapi imajinasi tak akan bisa dibendung. 


Tampaknya kita terlalu pelit mengakui perbedaan, dan setiap yang berbeda dianggap mengganggu dan harus dibantai atau dihabisi. Sungguh, amat miris. Entah sampai kapan perbedaan (yang berbeda) bisa berdampingan. Dapat saling berkawan, meski berseberangan untuk urusan pilihan, ideologi, dan kreativitas. 


Pada Jumat 17 Maret 2022, komunitas pues berulang tahun ke 10. Dirayakan di Roemah Kuliner Metropole Cikini, Jakarta. Dihadiri sekira 15 orang. Sepertinya Milad pertama selama 10 tahun. 


Gagasan apa lagi untuk tahun-tahun berikut? Akan lebih “menggemparkan” atau diterima dengan tetap menolak keberadaan pues dengan diam. 


Sambutan Denny JA sebelum memotong nasi tumpeng, ia akan terus menerbitkan buku pues. Selain itu mengalokasikan uangnya sebagai dana abadi Komunitas Puisi Eaai.. Salam.*









….

LIPSUS