Cari Berita

Breaking News

Autentisitas Islamnya Buya Syafii Maarif

INILAMPUNG
Minggu, 29 Mei 2022


Oleh, Endri Kalianda


WAFATNYA Prof. DR. A Syafii Maarif pada Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB itu, menyisakan banyak kenangan dalam beragam perspektif. Terutama peran kebangsaan dan keagamaan yang begitu kokoh disuarakan “Bapak Bangsa”. 


SKH Kompas bahkan, menayangkan berita utama dengan kesedihan yang ekstrem, selain penuh warna hitam, judul Koran itu, “Nyala Abadi Suluh Bangsa” menegaskan, kehilangan besar bagi bangsa Indonesia. 


Buya Syafii Maarif adalah ketaladanan abadi dalam menjaga kerukunan dan keragaman. Jauh sebelum itu, pengamat politik R William Lidlle pada kata pengantar di buku “Mencari Autentisitas dalam Kegalauan”, (PSAP;2004) menyebut; “Islamnya Syafii Maarif itu merupakan rahmat bagi seluruh dunia.”


Pandangan tentang “Negara Islam” dan polemik seputar “Piagam Jakarta” di awal reformasi yang sempat mengemuka, membuat beliau berada di posisi yang tegas. Buya Syafii Maarif menyebut, banyaknya umat islam dan terutama elite politik yang menjual ayat-ayat Tuhan untuk kepentingan pribadi yang jahat dan korup. Gagasan mewah tentang Negara Islam, yang disuarakan politikus tanah air, menurut dia (hlm.69; Kontroversi Gagasan Negara Islam) bukan ijtihad, melainkan sebatas reaksi emosional, bukan didorong oleh kesungguhan untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan islami yang komprehensif, utuh, dan substansial. 


Mereka, penyuara lahirnya negara islam terlihat mencolok, lebih tertarik pada bentuk dan merk daripada substansi dan isi. 


Tragedi wacana ini, seperti terlihat dari munculnya kemewahan gagasan tentang lahirnya Pakistan sebagai negara islam yang terbukti, tidak ada yang berhasil membumikan nilai-nilai islami, selain hanya melahirkan korupsi dan kemampuan membuat bom nuklir yang kemudian, memunculkan stigma, Islamic Bomb.


Buya Syafii Maarif secara jernih, mengajak untuk berhati-hati membuat sebuah label, bahkan merumuskan wacana, elite politik harus lebih mawas diri. Komoditas politik atas munculnya wacana “Piagam Jakarta” di awal reformasi tak boleh terulang jika tidak diimbangi dengan kajian mendalam. Politikus, tak boleh lagi melontarkan wacana soal itu, sebab mereka tak punya otoritas. Hanya membuat gaduh dan ancaman tercabiknya azas kebangsaan yang sudah mapan. Sementara perangkat yang disuarakan tentang negara islam, seringkali ahistoris yang dapat berakibat sangat fatal. 


Pemikiran Buya Syafii Maarif itu tidak tiba-tiba ada, kita telusuri, dalam naskah pidato pada Pengukuhan Guru Besar di bidang Filsafat Sejarah, Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Yogyakarta, 4 Januari 1997 berjudul “Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama” Buya Syafii Maarif menegaskan sebagai pribadi dengan latar belakang spiritualisme islam yang mantap, pengembara intelektual, sekaligus yang membumikan keunggulan Bung Hatta yang disebut Mochtar Lubis sebagai manusia Indonesia; kesederhanaan, sopan dan santun yang tinggi, kejujuran, cinta pada kebenaran, keadilan, keberanian berpikir dan menyatakan pikiran, integritas pribadi dan berilmu, tiada nafsu berkuasa atau mengejar kekayaan. 


Dan hampir semua tokoh menyebut, Buya Syafii Maarif punya keunggulan sebagaimana “Bung Hatta Manusia Berdisiplin” itu. 


Untuk Indonesia, kekosongan yang ditinggalkan Bung Hatta, akan sukar terisi, kini di tanah air kita, benar-benar berwujud sepeninggal Buya Syafii Maarif. Yang secara gigih berusaha mengisi ketauladanan negarawan itu. Sebab, dengan banyak mengutip sejarawan barat, beliau merumuskan lahirnya sebuah peradaban dengan wajah asri, anggun, dan adil. Yaitu, suatu keamanan ontologis yang tidak mungkin tercakup dalam sejarah dan filsafat, melainkan butuh fondasi relijius. Agama merupakan jawaban atas cakupan waktu masa lalu, kini, dan masa depan. Dari sini, Buya Syafii Maarif kemudian menawarkan sebuah formula yang tidak dapat dipenuhi otak manusia modern yang sekuler itu, semua tertuang dalam buku; “Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia”.


Kegalauan mendasar Buya Syafii Maarif terkait proses pembangunan bangsa ini, terletak pada ancaman yang mulai terasa. Yaitu, otak manusia Indonesia telah jadi tawanan kepentingan politik sesaat melalui berbagai bentuk indoktrinasi yang melelahkan. Bahkan cenderung melumpuhkan. Manusia Indonesia mulai banyak yang kehilangan kedaulatan dirinya, yang dampak panjangnya, kehilangan kedaulatan bangsa. Mentalitas setengah budak, yang terus dilawan Buya Syafii dengan menggelorakan semangat optimisme dimulai dengan pembangunan karakter dan cinta akan kebenaran. Sebab, ilmu itu wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran.  


Kita banyak disuguhi beragam potret buram dan keprihatinan sebagai bangsa besar dengan sejarah kepahlawanan yang adiluhung. Hampir di semua pemikiran Buya Sayfii Maarif, banyak menguak tafsir sejarah dari kehebatan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini yang bertabur pemikiran kelas dunia. Banyak referensi. Berbanding terbalik dengan generasi sekarang yang rabun membaca. Sampai beliau kemudian, membuat rumus; “Dicari; Politisi Muda Cerdas, Beriman, dan Berwawasan Kebangsaan”.  


Globalisasi yang kejam menjadi ancaman seirus apabila kita tetap saja dengan mental lama yang korup. Akan tetapi, mengutip ayat Al Quran, Buya Syafii Maarif menyeru. Kita tak boleh berputus asa, betapa pun sulitnya keadaan.  


Beliau tidak hanya berhenti pada wacana pemikiran dan permenungan. Problem kedaulatan diri menurut Buya Syafii Maarif, mesti dimulai dari pentingnya merumuskan pendidikan bagi anak-anak. 


Indonesia ditinggal Bung Hatta, menurut beliau, kerinduan untuk bertanya atas situasi bangsa yang tak menentu seperti sekarang, terasa sekali. Untunglah, tokoh ini telah mewariskan kepada kita setumpuk karya yang bermutu tinggi untuk kita kaji kembali sebagai pedoman dalam mengurus persoalan-persoalan bangsa.


Kalimat itu seolah ejawantah bagi bangsa Indonesia saat ini. Ada kesamaan cermin, ketauladan berbangsa dan bernegara pada Bung Hatta dan Buya Syafii Maarif.


Itulah kemudian, dalam buku Memoar Anak Kampung, Buya Syafii Maarif berkisah dirinya jadi Ketua Panitia Pembangunan Madrasah Mualimin pasca gempa Yogya, agar substansi ajaran KH Ahmad Dahlan tetap membumi dan mencerahkan bangsa. 


Tentu saja, berkat membaca banyak tulisan Buya Syafii Maarif itu, dua anak saya, harus sekolah di Mualimin dan Mualimat. Semoga. (*)


ENDRI KALIANDA. Esais, Tinggal di Bandarlampung

LIPSUS