Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 121)

INILAMPUNG
Minggu, 01 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAAT mataku menatap Hendri yang duduk di depanku, hatiku terkesiap. Pria gagah dengan wajah keras yang tersangkut kasus perampokan dengan modus pecah kaca itu, tampak dalam kegalauan yang dahsyat. Akibat perang batin mengenai anaknya yang menjadi penyebab Nasir masuk penjara, begitu keras. 


Sementara, Nasir masih duduk di sebelahku. Sambil menundukkan wajahnya. Ada kesedihan karena akan berpisah denganku. Sosok yang dianggap mampu menjaganya selama menjalani penahanan di mapolres.


“Nasir, gimana perasaanmu sama kawan yang minjem motormu dan akhirnya berbuat kriminal itu? Kalau dia atau keluarganya dateng dan minta maaf, apa yang kamu lakuin?” tanyaku pada Nasir, sambil menepuk pelan bahunya.


Spontan Nasir mengangkat wajahnya. Menatapku lekat-lekat. Perlahan, ada sorot amarah pada kedua matanya yang memang tajam.


“Pastinya ya marahlah, om. Gara-gara dia kan akhirnya Nasir harus masuk bui gini,” sahutnya beberapa saat kemudian, setelah menenangkan perasaannya yang bergolak tidak karuan.


“Pastilah kalau kamu kesel dan marah itu, Nasir. Tapi kalau kamu sudah nyadarin bila semua ini takdirmu, inshaallah marahmu nggak bakal lama. Kamu pasti bisa maafin. Apalagi kalau kawanmu itu nyerahin diri. Otomatis kamu bisa keluar dan bebas dari tuntutan kasus ini,” kataku dengan perlahan.


“Kalau Makmur nyerahin diri atau ketangkep dan Nasir dibebasin, ya sudahlah om. Ini pengalaman yang nggak bakal terlupa sepanjang hidup Nasir,” tuturnya lagi, dengan suara yang mulai terkendali.


“Jadi kamu bisa tetep sabar dan ikhlas dengan pengalaman buruk ini ya, Nasir. Dan kamu bisa terima kalau ada keluarganya minta maaf?” tanyaku.


Nasir menganggukkan kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam. Masih terdapat bongkahan kekesalan dan amarah pada sudut batinnya yang terdalam.


Aku beri isyarat pada Hendri untuk menyampaikan langsung kepada Nasir akan cerita yang sesungguhnya. Namun Hendri menggelengkan kepalanya. Tampak ia belum memiliki keberanian untuk bicara terus terang.


“Jadi gini, Nasir. Ada keluarga Makmur di kamar kita. Dia baru tahu juga masalahnya. Baru aja. Nah, dia pengen minta maaf sama kamu. Dan nanti sama-sama dengan papamu ngurus masalah ini sampai kamu bisa secepetnya dibebasin,” kataku dengan suara datar.


Nasir kembali menatapku. Dan sesaat kemudian, matanya berkeliling. Memandangi semua penghuni kamar.


“Siapa keluarga Makmur biadab itu, om. Kasih tahu sama Nasir. Pengen Nasir gebuk orangnya,” ujar Nasir dengan nada tinggi.


“Katanya kamu bisa sabar dan ikhlas. Nggak boleh pakai marah apalagi berbuat kasar dong, Nasir. Om sampein ini karena keluarganya itu baru aja tahu masalahnya. Dan mumpung om belum keluar dari kamar ini, om bicarain sama kamu. Biar semuanya clear dan baik-baik aja setelah om tinggal,” kataku lagi. Dengan kembali menepuk-nepuk bahu Nasir, menenangkan.


“Oke kalau gitu. Demi ngehargai om, Nasir mau terima permintaan maaf keluarga Makmur itu. Tapi nanti Nasir bicarain dulu sama papa, apa kata dia aja,” sahut Nasir, masih dengan nada tinggi.


“Papamu sudah dateng ke rumah keluarga Makmur kok, Nasir. Sudah bicara juga disana. Om yakin, sebagai pengacara yang handal, papamu pasti sudah punya langkah-langkah buat segera ngebebasin kamu,” ucapku kemudian.


“Bener papa sudah dateng ke rumah keluarga Makmur ya, om. Kalau emang bener, ya sudah. Kan papa yang ngurus semuanya. Kasih tahu siapa keluarga Makmur di kamar ini, om. Nasir janji, nggak bakal marah. Lagian, bukan dia yang buat masalah sama Nasir,” kata Nasir dengan nada suara yang mulai terkendali.


Ku pandangi Hendri yang masih duduk tepekur di dekatku. Perlahan wajahnya ia angkat. Dan sesaat kemudian, ia pegang tangan Nasir.


“Aku ayahnya Makmur, Nasir. Aku minta maaf atas perbuatan anakku,” ucap Hendri dan mencium kedua tangan Nasir dengan penuh perasaan.


“Masyaallah, jadi Makmur itu anaknya om Hendri? Ya sudah om, mau kayak mana lagi. Nasir tahu, om nggak tahu apa-apa soal perbuatan Makmur biadab itu. Demi kebersamaan kita di kamar ini dan hormat Nasir sama om Mario, Nasir maafin perbuatan Makmur. Tapi tolong juga, secepetnya keluarin Nasir. Dan Makmur masuk penjara, nebus kesalahan dia,” ujar Nasir dengan panjang lebar.


“Terimakasih, Nasir. Kamu masih muda tapi berjiwa besar. Om sekeluarga janji segera cari dimana Makmur dan nyerahin dia ke polisi. Papa kamu juga sudah ke rumah om. Kita disini berdoa agar Makmur cepet ketangkep. Kamu orang baik dan nggak terlibat apa-apa harus cepet dibebasin,” sahut Hendri, dan memeluk Nasir dengan erat seraya menangis haru.


“Emang kapan om Hendri tahu kalau Makmur itu terlibat kasus yang buat Nasir ada disini,” tanya Nasir, menatap tajam wajah Hendri.


“Barusan ini tadi. Pas kita ngangin. Om ke pos penjagaan. Pengen nonton tv. Rupanya istri om dateng. Dia cerita soal Makmur. Juga papamu yang dateng ke rumah. Terus om sampein ke Babe, gimana langkahnya. Sekali lagi, om minta maaf sama kamu ya, Nasir,” urai Hendri.


“Jadi barusan ini om tahu masalahnya?” tanya Nasir lagi. Hendri mengangguk. Tegas.


“Oke kalau gitu, om. Moga-moga papa cepet dateng. Nanti Nasir sampein. Nasir plong sekarang, karena mulai ada titik terang buat ngebawa Makmur masuk penjara,” ujar Nasir.


Tiba-tiba seorang tamping membuka pintu kamar, dan memandangku sambil tersenyum. Aku pun memahami maksud kedatangannya. Waktunya pelimpahan perkara ke kejaksaan negeri harus segera ku jalani.


Setelah menyalami dan memeluk semua penghuni kamar 10, aku keluar kamar. Membawa tas kain kecil tempat pakaian serta kantong plastik berisi nasi bungkus dan dua gelas air mineral sebagai bekal. Juga uang Rp 100.000 di kantong celana pendek yang aku pakai.


“Bismillah. Assalamualaikum,” ucapku setelah diluar kamar kepada kawan-kawan di kamar 10. 


“Waalaikum salam. Terimakasih banyak atas semuanya, Be. Nanti kita bertemu lagi,” kata Nedi dengan suara lantang dari balik jeruji besi. Aku acungkan jempol dan melepaskan seulas senyum. 


Setiap melewati kamar yang berjejer rapih untuk sampai pos penjagaan, semua kepala kamar dan tahanan lain, berdiri menempel di jeruji besi. Bergantian menyalamiku. 


Bahkan, Bagus kepala blok tahanan, sengaja meminta tamping membuka pintu selnya untuk ia keluar kamar. Saat aku berjalan mendekati kamarnya, ia langsung memelukku erat-erat. Tak dinyana, ASN yang tersangkut kasus narkoba ini menangis. 


Ku elus kepala Bagus dengan perlahan. Sambil menepuk-nepuk punggungnya. Meredakan kesedihan yang ada di hatinya.


“Doain aku segera nyusul ya, Be. Sudah jengah juga kelamaan disini,” kata Bagus seraya menghapus air matanya. Ku anggukkan kepala dan menengadahkan tangan. Berdoa, walau sesaat.


Tiba-tiba terdengar suara bersahutan dari setiap kamar. “Babe, Babe, Babe”. Aku pun kembali menatapkan pandangan ke arah semua kamar dan melambaikan tangan. 


Dari balik jeruji besi, terlihat puluhan tangan juga melambai, dengan suara teriakan: “Babe, Babe, Babe” yang terus bersahutan.


Petugas piket telah membuka gembok pintu penghubung antara pos penjagaan dengan kompleks rumah tahanan. Ku langkahkan kaki dengan keyakinan. Beragam doa terus ku senandungkan di dalam hati. Menguatkan mentalku memasuki fase baru kehidupan dalam lilitan sebuah perkara kriminal. (bersambung)

LIPSUS