Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 122)

INILAMPUNG
Senin, 02 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang            

   

LUAR biasa rupanya pak Mario ini. Fans-nya banyak bener di rumah tahanan,” suara penyidik Budi menyadarkanku atas keriuhan rasa tidak menentu yang bersenandung kencang di batin saat memasuki pos penjagaan.


Ku pandangi penyidik Budi sambil tersenyum. Kecut. Setelah proses administrasi selesai, aku salami empat petugas piket. 


“Tetep kuat ya, Be. Kami doain Babe cepet selesai masalahnya,” kata salah seorang petugas piket dengan wajah serius dan menggenggam erat tanganku.


“Terimakasih atas bantuannya selama ini, pak. Assalamualaikum,” ucapku dengan suara tersendat.


Dan selanjutnya mengikuti langkah penyidik Budi. Meninggalkan pos penjagaan rumah tahanan titipan serta  memasuki ruang poliklinik. Di tempat ini, dilakukan pemeriksaan kesehatanku dengan cermat oleh petugas kesehatan mapolres.


“Hasilnya baik, pak. Tensi darah normal. Dan secara keseluruhan, bapak sehat,” jelas petugas medis setelah memeriksa kesehatanku.


Penyidik mengajakku ke ruang kerjanya. Ia berkoordinasi dengan pimpinannya dan juga jaksa yang menangani perkaraku. Hampir satu jam aku berada di ruang penyidikan.


Dan akhirnya, dengan menumpang  kendaraan pribadi penyidik Budi, aku dibawa ke kantor kejaksaan negeri. Meski aku tidak diborgol, namun ada dua petugas lain yang mendampingi Budi di kendaraannya. Mengamankan proses pelimpahanku.


Sepanjang perjalanan dari mapolres ke kejaksaan negeri yang berjarak sekitar 10 Km itu, aku hanya diam. Memandangi jalan raya yang kami lalui. Ruas-ruas jalan yang dulu sering aku lewati. 


Aku duduk disamping Budi yang menyetir, dipersilahkan untuk merokok. Mengurangi ketegangan. Dua petugas lain yang duduk di bangku belakang, sesekali mengajakku berbincang dan bercanda.


Setelah memasuki pelataran kantor kejaksaan negeri, aku langsung diajak penyidik Budi dan dikawal dua petugas lainnya, melapor ke bagian administrasi pelimpahan tahanan. Hanya sesaat disesuaikan data yang ada dengan diriku.


Selepas itu, petugas administrasi kejaksaan membawaku masuk ke sel kecil. Sebelum masuk ke ruang tahanan sementara bagi tahanan yang menjalani pelimpahan perkara itu, aku diperintahkan membuka kaos yang dipakai, dan hanya menggunakan selembar rompi warna merah bertuliskan “Tahanan” di bagian punggung.


Ruang tahanan sementara di kejaksaan, benar-benar sangat tidak manusiawi. Hanya berukuran 1 x 2 meter. Pun sangat-sangat kotor. Di sudut ruang sel kecil itu, tampak tumpukan botol air mineral, bungkus rokok, bekas bungkus nasi, dan sebagainya. Juga bekas kotoran manusia. Baunya sangat menyengat. Pesing dan menjijikkan. 


Petugas kejaksaan memerintahkan aku untuk menaruh tas dan kantong plastik bawaan di bagian luar ruangan sel. Sambil menaruhkan barang tersebut, aku ambil rokok dan korek. Aku sadar, harus ada pengalihan kegiatan atas suasana kotor dan jorok selama berada di sel tikus itu.


Saat masuk sel tikus, tiba-tiba ada yang menyapaku. Ternyata Hasbi ada disana. Juga ada empat orang lainnya.


“Alhamdulillah, kita ketemu lagi, Be,” ucap Hasbi sambil memelukku penuh haru.


Ku salami empat orang lain yang juga sama-sama hanya memakai rompi sambil memperkenalkan diri. Dua orang mengaku selama ini menjalani penahanan di mapolda dan dua lainnya di mapolsek.


Buru-buru aku sulut rokok. Untuk mengurangi semerbaknya bau pesing dan berbagai bau lain yang menggulung di seluruh sel amat kecil tersebut. 


“Saya tadi muntah, Be. Tidak tahan dengan baunya,” kata Hasbi saat melihatku berusaha keras menepis bau menyengat yang sangat tidak enak di dalam sel.


Sambil menghisap rokok sesering mungkin, aku berjongkok di sudut sel. Tidak berani menaruhkan pantat di lantai yang sangat kotor dan banyak bekas berbagai minuman bertaburan. Menyatu dengan lantai, yang tidak jelas lagi apa warna dasarnya.


Ku tatapkan pandangan keluar sel. Ternyata ada dua sel lain di jejeran tempatku. Ukurannya sama. Hanya lebih bersih. Meski ada tumpukan sampah di sudutnya, namun tidak sebanyak di sel yang aku tempati.


Tiba-tiba, pintu sel dibuka. Ada dua orang lagi masuk ke ruang penahanan sementara ini. Suasana pun semakin pengap. Karena udara hanya keluar masuk melalui jeruji yang ada di pintu. Selebihnya tidak ada ventilasi sama sekali.


Lebih dari setengah jam aku berada di sel tikus yang berisi delapan orang, saat pintu dibuka dan aku dipanggil untuk keluar.


Penyidik Budi membawaku ke sebuah ruangan. Ternyata, ke ruang kerja jaksa penuntut umum yang menangani perkaraku. Dua orang. Pria dan wanita.


Dengan cermat, kedua jaksa itu membaca uraian perkaraku. Aku perhatikan mereka dengan serius. Ku temukan keganjilan pada baju dinas jaksa wanita. Tertulis di bagian lengan pakaiannya: kejaksaan tinggi. Bukan kejaksaan negeri seperti yang dipakai jaksa pria. Padahal pelimpahan perkaraku di kejaksaan negeri.


Pahamlah aku dengan apa yang pernah disampaikan Nedi. Bahwa selalu ada “permainan” dalam sebuah perkara. Aku pun sekarang meyakini apa yang disampaikan pria yang telah beberapa kali keluar-masuk bui karena tersangkut kasus perampokan itu. Ada skenario “menugaskan” jaksa dari kejaksaan tinggi untuk ikut menangani perkaraku.


Pintu ruang kerja jaksa diketuk dari luar. Adik istriku, Laksa, yang datang. Setelah memperkenalkan diri, ia dipersilahkan masuk untuk mendampingiku.


Setelah menyalami, Laksa memelukku dengan erat. Badannya bergetar. Menahan keharuan yang bergolak kencang di hatinya. 


“Tetep kuat dan sabar ya, kak,” ucapnya dengan pelan sambil terus memelukku.


Kembali pintu ruang pemeriksaanku oleh jaksa, diketuk dari luar. Dua orang lawyer-ku datang juga. Menyusul tidak lama kemudian istriku, Laksmi.


Setelah memelukku, spontan istriku Laksmi menyatakan protesnya, mengapa aku hanya memakai rompi tahanan tanpa pakaian daleman. 


“Jangan semena-mena gini dong. Emang harus tampilannya begini nurut protapnya,” kata istriku sambil memandang tajam pada jaksa wanita yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai adik kelas istriku saat masih di SMA.


Melihat kegusaran istriku, jaksa wanita itu meminta penyidik mengawalku kembali ke ruang sel tikus untuk memakai kaos seperti saat datang ke kejaksaan negeri.


Seusai memakai kaos dan menutupinya dengan rompi kejaksaan, aku kembali ke ruang jaksa. 


Berkat kecermatan jaksa, diketemukan keteledoran atau bisa jadi kesengajaan penyidik, yang menuliskan kalimat bahwa sebelumnya aku pernah menjalani hukuman penjara. Dengan kata lain, aku diatributi sebagai residivis. 


Atas temuan jaksa, diiringi protes istri dan Laksa, akhirnya penyidik Budi mengakui kesalahannya. Dan mencoret kalimat tersebut di hadapan jaksa, disaksikan istriku, Laksa, dan dua lawyer yang mendampingi kami.


Ku pandangi wajah penyidik Budi dengan tatapan penuh pertanyaan. Pria low profile yang selama ini menunjukkan profesionalismenya sebagai penyidik itu, ternyata, tetap membuat sebuah lukisan catatan yang bisa menjerat leherku, jika saja jaksa tidak cermat. 


Sadar jika aku menatapnya penuh tanda tanya, penyidik Budi tampak beberapa kali mencoba menundukkan wajahnya. Aku rasakan, ada rasa malu di hatinya karena perbuatan mengatributiku sebagai residivis dalam berkas perkaraku,  terungkap terang benderang.   


Sekira satu jam aku menjalani proses ulang pemberkasan. Setelahnya, aku diberi kesempatan oleh jaksa untuk memasuki ruang khusus di samping sel tikus. Bersama istri, Laksa, dan lawyer, kami memasuki ruangan itu.


“Kak, aku pamit dulu ya. Mau nemuin kawan yang jadi sipir di rutan. Untuk jagain kakak. Sudah koordinasi dengan kawan kakak yang memberi rekomendasi,” kata Laksa saat kami berbincang di ruangan khusus sebelum proses penahanan berlanjut ke rumah tahanan negara alias rutan.


“O iya, Dek. Terimakasih banyak. Selalu hati-hati di jalan,” sahutku sambil memeluk Laksa.


Bersamaan dengan Laksa meninggalkan aku dan istri di ruangan khusus, kedua lawyer juga berpamitan. Mereka menungguku di rutan.


Selama di ruangan khusus, istriku Laksmi terus memelukku. Meski tampak ia masih kurang sehat dan usai mengikuti acara kantor yang jaraknya cukup jauh dari kejaksaan, namun ia terus menunjukkan keceriaan dan ketegaran di depanku. 


“Ayah yang tenang ya. Terus aja wirid Alhamdulillah. Apapun kondisinya, jalani dengan hati yang lapang. Kendaliin pikiran. Yakini Allah selalu mendampingi,” ujar istriku, terus memeluk erat-erat.


Tidak terasa, air mataku jatuh ke lantai. Iya, aku menangis. Dan itulah tangisan pertamaku selama menjalani proses penahanan. 


Situasi saat itu, betul-betul membuatku begitu merasa terpuruk. Badan ini seakan masuk ke bumi. Dalam sekali. Penuh kegelap-gulitaan. (bersambung)

LIPSUS