Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 129)

INILAMPUNG
Senin, 09 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


GERRY meminta OD kamarnya membuatkan minuman hangat. Aku minta kopi pahit. Sesaat kemudian, sambil menyandarkan badan ke tembok sambil tetap duduk di atas kasurnya, Gerry mengambil sesuatu dari balik kasur. Ternyata sebuah hp android.


“Harus lapor bang Peeng dulu kalau abang sudah sama aku. Video call aja biar dia puas,” ujarnya sambil memencet sebuah nomor.


Hanya dalam hitungan detik, hubungan telepon tersambung. Setelah melaporkan bila aku telah bersamanya, Gerry menyerahkan hp ke tanganku.


“Bang Mario, tetep jaga kesehatan ya. Maaf cuma begini yang bisa aku lakuin buat abang. Kalau ada perlu apa-apa, bilang sama Gerry ya, bang,” kata Peeng yang tampak wajahnya penuh kesedihan saat berbicara denganku melalui video call.


“Ini sudah luar biasa, Peeng. Alhamdulillah. Nggak ku sangka kamu masih inget aku. Terimakasih banyak ya, Peeng,” ucapku, juga dengan nada sedih.


“Maaf, bang. Aku pengen nangis lihat abang kayak gini. Tapi aku yakin, abang kuat kok. Kalau ada apa-apa bilang ke Gerry buat sampein ke aku ya, bang. Nggak usah sungkan, aku tetep Peeng kawan abang,” lanjut Peeng dengan nada suara yang tetap penuh kesedihan.


Ku lihat, pria yang aku kenal tangguh dan bermental baja itu mengusap matanya. Ada air di kedua matanya. Tidak bisa dipungkiri, ia sangat prihatin melihat kondisiku.  


“Sudah dulu ya, bang. Aku nggak kuat lama-lama ngelihat abang. Mana gundul kayak gitu pula,” ujar Peeng lagi, dan mematikan hp-nya.


Beberapa saat aku terdiam. Mengatur perasaan dan nafas yang mendadak terasa akan menghilang. Akibat beratnya beban yang aku sandang. Meski tidak juga bisa dipungkiri, perhatian kawan seperti Peeng sungguh sangat besar artinya untuk terus bersemayamnya optimisme di sanubariku.


“Bang, sekarang kita makan siang dulu ya. Aku tahu abang belum makan. Kami sengaja belum makan karena pengen bareng abang,” kata Gerry, memecah pergulatan kencang di pikiran dan jiwaku.


Siang menjelang petang itu, aku disuguhi nasi bungkus dengan lauk ikan nila goreng dan sambel terasi. Ditambah kerupuk dan tempe goreng. Seluruh penghuni kamar Gerry makan dengan lahapnya. Nyaris tidak ada sisa lagi pada bungkusnya. 


“Untuk keluar dari AO sudah ada yang ngurus apa belum, bang?” tanya Gerry setelah kami makan bersama.


“Inshaallah sudah, Gerry. Doain aja semuanya lancar,” sahutku.


“Kalau sampai besok siang belum jelas kapan keluarnya, bilang ya bang. Nanti aku yang ngurusnya,” lanjut Gerry.


“Siap. Terimakasih banyak sebelumnya,” ucapku dan menundukkan kepala. Memberi hormat.


“Abang santai aja. Kalau ada yang macem-macem, sampein. Banyak disini kawan kita dan pasti sejagaan. Kalau bang Peeng aja hormat sama abang, kami semua pasti harus hormat sama abang,” Gerry menambahkan, sambil menatapku dengan tajam. Menunjukkan kesungguhan dari perkataannya.


Saat suara adzan Ashar dari masjid di dalam kompleks rutan mengalun syahdu, Gerry memberi isyarat untuk aku kembali ke sel AO. Dengan cepat, aku berpamitan kepada semua penghuni kamarnya.


Ketika jalan menuju selku, Gerry mengajakku masuk ke kantin. Ia membelikanku nasi dengan lauk sayur telor dan satu botol air mineral serta dua bungkus rokok.


“Banyak amat, Gerry. Rokokku masih ada kok,” kataku melihat dia begitu banyak membeli barang untukku.


“Kalau rokok kan bisa berbagi dengan kawan-kawan, bang. Disini nggak bisa pelit, tapi nggak boleh juga sok juragan. Tarik ulur aja,” sahut Gerry seraya tersenyum penuh arti.


Ia mendampingi sampai aku masuk ke kamar. Dan sempat aku lihat, ia memberikan satu bungkus rokok untuk petugas yang membukakan pintu kamar untukku.


Begitu aku duduk di tempat yang disediakan Irfan, seorang tahanan yang sebelumnya duduk di lantai bawah, mendekat.


“Babe ini kawannya Gerry ya,” kata dia begitu duduk di dekatku, sambil memperkenalkan namanya Harjuno.


“Kenalnya ya tadi ini, Juno. Dia sahabat kawan yang dulu pernah akrab, namanya Peeng,” jelasku.


“Oh, jadi Babe ini kawannya bang Peeng,” lanjut Harjuno dengan tatapan serius.


“Iya, Peeng itu sejak muda sudah berkawan denganku. Cuma emang, beberapa tahun ini kami nggak pernah ketemu. Sampai ini tadi bisa ngobrol sama dia pakai hp-nya Gerry,” kataku, mengurai.


“Syukur kalau gitu, Be. Aku anak buahnya bang Peeng. Selama ini aku kerja di pelabuhan. Keamanan disana. Dia yang kasih aku kerjaan,” ucap Harjuno.


“Emang kenapa kamu bisa masuk sini?” tanyaku, penuh tanda tanya.


“Aku ngebacok orang, Be. Ada yang mau ngebobol kantor pelabuhan. Kepergok sama kami yang lagi jaga. Ku bacok habis orangnya sampai masuk rumah sakit. Aku kena kasus penganiayaan malah akhirnya,” urai Harjuno.


“Kok malah kamu yang ditahan. Orang yang ngebobol kantor kayak mana?” tanyaku lagi.


“Kata polisi, karena pelaku belum terbukti ngelakuin pencurian dan nggak ada barang bukti dari pencuriannya, jadi dilepasin. Aku yang mergokin dan ngebacok dia, malah jadi pelaku penganiayaan. Padahal jelas, statusku emang penjaga keamanan disana,” lanjut Harjuno.


“Ya sudah, terima aja semuanya dengan sabar dan ikhlas ya, Juno. Emang kadang, kita sendiri bingung sama penerjemahan hukum itu. Anggep aja kita ada disini buat nebus dosa-dosa kita. Sudah gitu aja, nggak usah didebatin masalahnya,” ujarku kemudian. Terus mencoba meringankan keadaan.


Tiba-tiba Danil berdiri. Ia memandangiku yang masih berbincang dengan Harjuno. Perlahan, ia melangkahkan kakinya. Melewati satu demi satu tahanan yang sedang rebahan. Hingga berjarak sekitar satu meter dari tempatku duduk, ia hentikan langkahnya.


Irfan dan Arya yang sebelumnya merebahkan badan, langsung duduk. Di samping kanan dan kiriku. Menempatkan diri layaknya pengawal.


“Maaf, Mario. Bener kamu kawannya bang Peeng?” tanya Danil dengan suara datar.


“Kalau bener emang kenapa,” sahutku, dengan nada meremehkan. 


Pikiranku bekerja cepat. Ini saatnya meruntuhkan mental Danil yang selama ini sering berbuat semena-mena kepada sesama tahanan.


“Bang Peeng itu kakak iparku,” ujar Danil kemudian.


“O, jadi perempuan yang kamu gebukin itu adiknya Peeng?” kataku. Kali ini dengan nada tinggi. Danil mengangguk pelan. Wajahnya menunduk.  


“Katanya kamu jagoan. Ipis lagi. Tapi beraninya nganiaya perempuan dan anak kecil. Laki-laki apa kamu itu. Pantes disebut pecundang orang kayak kamu ini,” kataku lagi. Dengan nada tinggi.


Danil hanya menundukkan wajahnya. Badannya bergetaran. Merasa mendapat angin untuk meruntuhkan habis-habisan mentalnya, aku telah berpikir akan  menerornya lagi. Namun, ku lihat Dika memberi isyarat dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.


Walau baru mengenal Dika di kamar ini, meski ia mengaku pernah mengikuti sebuah penataran soal koperasi dan aku menjadi pemateri, aku memahami makna gelengan kepalanya. Agar aku tidak melanjutkan perkataan lagi. Yang akan menambah sakit hati Danil.


“Ya sudah, Danil. Kembali duduk di tempatmu,” kataku sambil memandang pria berbadan besar dengan tato pada beberapa bagian tubuhnya, yang sejak tadi berdiri kaku dengan menundukkan wajahnya.


Tanpa menunggu lama, Danil membalikkan badan. Langkahnya sangat pelan untuk sampai ke tempatnya. Dan duduk, dengan menunduk.


Aku panggil Dika untuk mendekat ke tempatku. Ku ucapkan terimakasih atas isyarat yang ia berikan kepadaku.


“Aku paham maksudmu, Dika. Terimakasih sudah menyelamatkanku dari berbuat dosa dengan menyakiti perasaan orang lain,” ucapku dan menggenggam tangannya.


“Sama-sama, bang. Aku salut sama abang. Langsung paham sama isyaratku. Maaf juga kalau caraku kurang sopan,” kata Dika dengan tersenyum.


“Yang kamu lakuin itu sudah bener. Aku nggak nambah dosa dan kamu dapet pahala,” kataku lagi, juga dengan tersenyum.


“Aku cuma mikirnya sederhana aja, bang. Kita disini sudah sama-sama sakit. Ayolah kita hindari buat nambah sakitnya orang lain. Kalau ada yang nyakitin kita, baikan kita aja yang ngejauh,” Dika menambahkan.


“Aku seneng sama pikiran sederhanamu itu, Dika. Kesederhanaan yang membawa makna sangat besar buat hidup kita di penjara,” sahutku dan menepuk-nepuk bahunya.


Aku terus bersyukur di dalam hati. Selalu dipertemukan dengan orang baik hati dan tulus dalam saling mengingatkan. Teringatlah aku akan sebuah perkataan seorang sahabat: yang membuat manusia cepat sadar ternyata bukan kepandaiannya, melainkan kerendahan hati dan keikhlasan dalam menerima kelebihan orang lain dan kekurangan diri sendiri. (bersambung)

LIPSUS