Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 131)

INILAMPUNG
Rabu, 11 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


SUARA adzan Subuh menggema kencang. Mengejutkanku yang beberapa jam terlelap dalam tidur. Perlahan, aku bangun dari kasur tipis yang menjadi alas tidur malam ini. 


Tampak pak Waras dan beberapa tahanan lain yang seumuran denganku, juga telah bangun. Utamanya yang mendapat tempat di lantai atas.


“Ayo, kita jamaahan, Be,” ajak pak Waras sambil menatapku dengan pandangan lembut.


Dengan menganggukkan kepala, aku berdiri dan menuju kamar mandi. Wudhu. Disusul beberapa tahanan lain. Sesaat sebelum mengimami solat Subuh, pak Waras menengok ke arahku. 


“Kami pakai qunut subuhannya. Babe keberatan nggak,” kata pak Waras. 


“Sama, aku juga biasa pakai qunut, pak. Silahkan dimulai saja,” sahutku, dan langsung komat.


Seusai solat jamaahan, pak Waras membalikkan badannya. Memandang ke arah kami, jamaahnya. 


“Kami biasa ada kultum kalau habis subuhan, Be. Sekadar untuk terus mengasah keimanan kita,” ucap dia, menyampaikan kebiasaan di kamar 8 penaling.


Pak Waras memulai kuliah subuh tujuh menitnya dengan mengingatkan, perlunya sebagai tahanan untuk pandai-pandai menciptakan kenangan baru. Yang manisnya diperpanjang, dan pahitnya diminimalkan.


“Di saat seperti inilah, kita perlu banyak-banyak belajar dari segala yang keliru, dan menjadikannya sebagai penambah energi positif pada bagian benarnya. Dengan berusaha keras untuk tidak mengulang yang salah. Meski kita tahu, pada hakekatnya, kesalahan tidak selalu mampu tercegah,” urainya dengan suara khas; berat.


Ia mengajarkan kepada kami, bahwa setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Karenanya, selama di rutan, bergurulah dengan para tahanan dan jadikan rutan sebagai sekolah untuk menambah kesabaran. 


“Kesabaran itu amalan yang terpuji, dan pelakunya akan selalu terbimbing di atas kebenaran. Jadi, kita harus melatih diri untuk kuat dalam kesabaran. Juga mesti melatih pikiran untuk melihat yang baik dalam segala hal. Janganlah kita dikendalikan oleh perasaan, sebab jika perasaan tidak dibangun di atas akal dan syariat, ia akan menjadi badai yang menghempaskan kita ke dalam neraka,” lanjut pak Waras.


Dalam penutupan kultumnya, Pak Waras menyampaikan, kehidupan ini pada hakekatnya seimbang. Siapa yang hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Sebaliknya, siapa yang hanya memandang penderitaannya saja, berarti dia sakit.


Memang, hanya sesaat dan dengan bahasa yang sederhana kultum pak Waras. Namun membuatku mendapat tambahan energi untuk selalu kuat dan penuh kesabaran dalam melakoni bagian kehidupan yang menyesakkan ini.


Aku kembali ke tempat tidur, mencoba merebahkan badan. Tapi pak Waras dan beberapa tahanan mengajak duduk di dekat tempatnya. Tepat di pembatas sel. Di samping jeruji besi.


“Sini ngobrol-ngobrol, Be,” ajak pak Waras seraya meminta seorang tahanan menyiapkan minuman hangat.


Sambil menikmati kopi pahit dan rokok, aku dengarkan ia berkisah tentang kehidupan yang membawanya masuk bui.


Ia seorang distributor garam puluhan tahun ini. Dan menguasai banyak pasar tradisional di wilayah tempat tinggalnya. Sampai kemudian, pada suatu hari, dilakukan pemeriksaan oleh aparat berwenang. Ternyata, ia dinyatakan belum memiliki izin mengedarkan garam beryodium itu.


“Memang, masih ada persyaratan yang belum selesai, sesuai aturan yang baru berlaku enam bulan terakhir ini. Yaitu rekomendasi BPOM. Tapi, sudah ada surat dari BPOM, kalau rekomendasi usahaku masih dalam proses. Tapi, rekomendasi itu tidak berguna. Tetep aku diproses dan sekarang  lagi jalani persidangan,” kata pak Waras, mengurai kasusnya.


“Jangan-jangan karena ada pesaing yang bermain, pak,” ucapku, mengira-ngira.


“Nah, dugaan Babe itu bener. Baru sebulan terakhir ini aku denger waktu keluarga membesukku. Ada perusahaan baru yang sekarang ngedarin garam serupa dengan yang puluhan tahun ini kami jadiin usaha keluarga. Ya, sebenernya sah-sah aja. Cuma yang buat ngenes, puluhan ibu-ibu di kampung yang selama ini kerja di tempatku, jadi kehilangan pekerjaan,” tanggap pak Waras. Suaranya bergetar. Seakan menahan amarah.


Ia kemudian menyebutkan lagi satu demi satu penghuni kamar 8 penaling dengan kasusnya. Mulai dari kasus togel, lakalantas, pencurian, penjambretan, perkelahian, korupsi dana desa, hingga pencabulan. 


Beberapa saat kemudian, terdengar beberapa pintu kamar dibuka dan suara riuh menyertai keluarnya para tahanan.


“Itu kamar-kamar tamping, Be. Mereka keluar sejak pagi. Mulai dari tamping kebersihan, tamping air, dan sebagainya. Agak siangan nanti, giliran tamping kantor yang keluar,” jelas pak Waras, menjawab keherananku atas riuhnya suasana pagi itu.


Dan sesaat kemudian, tampak beberapa tamping kebersihan menyapu dan mengambil sampah-sampah yang ada di selasar nan memanjang itu. Dilanjutkan dengan mengepel lantainya. Mereka melakukan tugasnya sambil penuh canda tawa. Tetap ada keceriaan disana. 


Juga terdengar suara air mulai mengucur dari keran di kamar mandi. Seorang tahanan yang semula duduk bersama kami, bangun dari tempatnya. 


Berjalan ke kamar mandi. Mengatur air dari bak mandi dengan mengisikannya ke dalam beberapa ember yang ada disana.


“Air cuma ngalir 30 menit waktu pagi gini. Nanti sore gitu juga. Jadi, kalau nggak pinter-pinter kita ngatur tempat nampungnya, bisa-bisa kita nggak mandi,” kata pak Waras lagi.


“Katanya setiap kamar harus bayar uang air, kok sebentar bener dialirinnya,” ucapku. Terheran.


“Kalau kita nggak bayar, airnya malah nggak dialirin sama sekali, Be. Karena kita bayar itulah, ngalirnya dikasih 30 menit pagi dan 30 menit sore. Nggak usah Babe pertanyain, bukannya kebutuhan air sudah ditanggung rutan, karena nggak ada gunanya pertanyaan itu. Kita bicara realita aja. Ya, kayak gini adanya,” jelas pak Waras. Ada senyum kecut di sudut bibirnya.


Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Tanpa bisa berkata apa-apa. Karena melawan realita, hanyalah sia-sia.


Dari deretan kamar lain, terdengar suara apel. Pak Waras meminta semua tahanan dibangunkan. Termasuk Asnawi yang masih terlelap dalam tidurnya. 


Beberapa saat kemudian, dua petugas sipir didampingi tamping berdiri di depan kamar. Kami berbaris rapih. Menyebut nomor sesuai posisi berdiri dengan berurutan. Hingga 15 orang mengabsenkan diri semua. 


“Yang baru masuk semalem mana?” tanya salah satu petugas. Aku mengangkat tangan. 


Sesaat, ia memandangiku dengan tajam. Dan setelahnya, membalikkan badan. Tanpa bicara apapun. Melanjutkan apel pagi para tahanan ke kamar yang lain.


Memahami kondisi air yang sangat terbatas, aku buru-buru mandi. Agar badan tetap bersih dan segar. 


Beberapa tamping menawarkan sarapan. Mulai dari nasi urap, nasi kuning, nasi uduk, hingga lontong sayur. Semua harganya sama. Rp 25.000 perbungkus.


Pak Waras dan beberapa tahanan membeli sarapan yang ditawarkan tamping. Yang merupakan titipan dari usaha sampingan sipir rutan. 


Asnawi juga menawariku jika ingin sarapan. Namun aku belum tergerak untuk menikmati makan pagi. 


Aku memilih untuk menikmati kopi pahit dan beberapa potong gorengan yang dikirim Gerry semalam. Meski sudah dingin dan agak keras. 


Seorang tamping mendekat ke jeruji kamar kami. Matanya yang liar menatap kami satu demi satu. 


“Kamu nyari siapa sampai melotot gitu?” tanya Asnawi, yang tengah sarapan nasi uduk.


“Yang namanya Mario mana ya, kap,” kata dia.


Asnawi menunjuk ke arahku. Yang sedang duduk santai, bersandar tembok di sudut kamar. Tengah menikmati rokok dan terbawa pikiran menerawang jauh.


“Om Mario, ditunggu komandan di pos,” kata tamping itu, setelah melihatku yang berusia lebih tua dibanding dirinya. 


Aku langsung berdiri, dan setelah memasukkan rokok beserta korek ke kantong celana pendek, berjalan ke arah pintu kamar. 


“Ada apa dipanggil komandan jaga ya, Be?” tanya Asnawi, penuh kekhawatiran.


Aku hanya menggelengkan kepala. Perlahan, ku coba memahami untuk mengikuti apapun ritme yang ada di tempat baru penahananku ini. (bersambung)

LIPSUS