Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 132)

INILAMPUNG
Kamis, 12 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang   


TAMPING itu berteriak. Memanggil tamping lain yang bertugas memegang kunci kamar. Tidak lama kemudian, pintu kamar dibuka. 


Setelah meminta izin kepada Asnawi selaku kap kamar, dan tahanan lain yang saat itu sedang sarapan, aku keluar kamar. Mengikuti langkah tamping. Menuju pos penjagaan bagian dalam. 


Komandan pengamanan rutan yang membantuku sejak awal berkat koordinasi Laksa atas rekomendasi seorang kawan baikku puluhan tahun ini, menyambutku dengan senyuman.


“Bisa tidur semalem, pak?” tanya dia, dan mempersilahkan aku duduk di kursi plastik yang ada di pos penjagaan dalam.


“Alhamdulillah bisa, pak. Bahkan nyenyak. Bangun-bangun karena mendengar suara adzan subuh,” sahutku, sambil tersenyum.


“Syukur kalau gitu. Yang penting tetep harus bisa tidur. Jaga kondisi badan yang utama. Nggak usah mikirin yang berat-berat. Jalani aja semuanya dengan santai,” ujarnya.


Beberapa saat kemudian, tamping yang tadi menjemputku, masuk pos penjagaan dengan membawa enam bungkus makanan. 


“Kita sarapan dulu, pak,” ucap komandan itu, dan memintaku memilih dari bungkusan yang ada. 


Ku ambil satu bungkus nasi uduk. Berlauk serpihan telor dadar dan satu potong tempe goreng. 


Aku ikut sarapan bersama para petugas keamanan yang berjaga pagi itu. Sambil menikmati makanan, kami berbincang. Utamanya saling memperkenalkan diri. 


Sang komandan menyampaikan mengenai jadwal piket dan pergantian tim pengamanan rutan. Ia berpesan, agar aku mengikuti semua ketentuan yang ada dengan penuh kedisiplinan. Karena mereka bertugas sesuai dengan standar operasional.


“Siapapun yang melanggar, pasti ada sanksinya. Sebaliknya, yang taat pada ketentuan, ya nggak akan ada masalah selama disini,” ujarnya, meyakinkan.


Setelah kami sarapan, ia memberikan telepon genggamnya, untuk aku berkomunikasi dengan istri dan keluarga. Segera aku hubungi istriku. Beberapa kali sampai panggilan terputus, tidak diangkatnya.


Aku sangat memahami kebiasaan istriku, Laksmi. Tidak akan langsung mengangkat teleponnya bila belum mengenal nomor yang menghubungi. 


Apalagi saat itu masih pukul 08.30, yang aku lihat pada jam dinding di pos penjagaan. Pada waktu semacam itu, ia pasti tengah sibuk di kantornya. 


Mataku memandang keluar pos penjagaan. Tampak belasan tahanan tengah berolahraga. Berjalan mengelilingi lapangan yang cukup luas. Jogging track-nya lumayan rapih. Meski terbuat dari paving blok.


“Kalau mau olahraga, cari keringet, silahkan, pak,” kata komandan pengamanan rutan, yang ternyata memperhatikan fokus pandanganku saat itu.


“Boleh ya, pak,” sahutku. Pendek.


“Silahkan saja. Pagi dan sore semua tahanan diberi kesempatan untuk berolahraga. Nanti jam 11 sampai 13 pintu kamar dibuka. Untuk beribadah ke masjid atau sekadar ngobrol dan ke kantin. Sore jam 15 sampai 17 juga dibuka lagi pintu kamar. Untuk ke masjid maupun olahraga,” jelas dia, panjang lebar.


Setelah meminta izin, aku pun berolahraga. Berjalan mengelilingi lapangan yang cukup luas. Hingga 10 kali putaran. 


Sorot mentari yang menyapa dengan kehangatannya, membuat badan terasa lebih segar dan keringat bercucuran. Membasahi kaos.


Sambil mengelap keringat dengan kaos, aku berjalan ke tepian selasar nan memanjang. Dan duduk di kursi panjang yang terbuat dari semen.


“Sudah segeran ya, Be,” sebuah suara menyapaku. Ternyata Aris dan Asnawi. Mereka pun menaruhkan pantatnya untuk  duduk di sampingku.


“Alhamdulillah. Sorry, aku nggak ngelihat kalian tadi,” kataku sambil menerima air mineral gelas yang diberikan Aris.


“Kami tadi duduk di sebelah sana. Kami ngelihat Babe lagi olahraga. Pas Babe selesai dan duduk disini, kami yang kesini,” Asnawi yang menjelaskan.


“Kata Nawi, semaleman Babe tidur nyenyak bener. Jarang-jarang lo yang bisa kayak gitu kalau baru masuk kamar penaling, Be,” ujar Aris. 


“Iya, nyenyak bener emang tidurku semalem, Ris. Alhamdulillah. Mungkin karena hati nyaman ya. Ada Asnawi di kamar, dan dia kasih kasurnya buat aku tidur. Nikmat bener tidur semalem,” uraiku dan menepuk bahu Asnawi. Ekspresi ucapan terimakasih kepadanya.


“Alhamdulillah. Semua ini berkat kebaikan Babe waktu kita sama-sama di polres. Dan semua tim Babe, tetep nyatu disini. Saling jaga dan ngebantu,” kata Aris lagi.


“O iya, gimana rencana kita buat ngeluarin kawan-kawan yang masih di AO itu? Apa kita ke gazebo depan kamar pak Edi aja ya? Kita obrolin disana,” ucapku.


Tanpa menjawab pertanyaanku, Aris dan Asnawi bangkit. Kami bertiga berjalan ke arah gazebo. Dan setelah sampai disana, Aris ke kamar pak Edi. 


Tidak berselang lama, pak Edi yang tampak baru bangun dari tidurnya, menuju ke gazebo kecil di depan kamarnya.


“Jadi gini, semalem aku sudah ngobrol sama petugas penting disini. Empat kawan kita bisa keluar dari AO secepetnya. Tapi kita diminta dana cukup besar,” ujar pak Edi.


Ia menyebut, dana yang diperlukan mencapai Rp 2 jutaan untuk mengeluarkan Irfan, Arya, Tomy, dan Hasbi dari kamar AO.


“Besar bener dananya, pak Edi? Darimana kita dapetinnya?” tanya Aris dengan mulut terbuka. Melongo. 


“Disini kan emang nggak ada yang gratis, Ris. Kayak kamu nggak paham aja. Itu harga yang harus kita bayar kalau mau keluarin mereka,” sahut pak Edi.


“Kita semua yang dulu sekamar, sokongan aja. Berapa dapetnya. Nanti kita obrolin lagi jalan keluarnya,” kataku, mencari solusi.


Kami sepakat menugaskan Aris dan Asnawi untuk menemui kawan-kawan yang sebelumnya satu kamar sewaktu di tahanan polres. Meminta mereka dengan ikhlas untuk sokongan. Dan sore nanti, kembali bertemu di gazebo untuk evaluasi serta mengambil langkah selanjutnya.


Selepas itu, aku kembali ke kamar. Namun belum sempat masuk kamar, pak Waras keluar. Ia membawa sajadah. Dan mengajakku ke masjid. Buru-buru aku mengambil kain sarung dan kopiah haji yang ia beri. Dan mengikuti langkahnya. Ke masjid.


“Jangan ada waktu yang sia-sia disini, Be. Kalau sudah olahraga, jaga kesehatan badan, giliran olahraga batin. I’tikaf di masjid,” kata pak Waras, saat kami berjalan menuju masjid yang cukup megah dan terawat itu.


Setelah mengambil air wudhu, terhenyak langkahku saat memasuki masjid. Ternyata, ada puluhan tahanan yang tengah mengaji dan solat sunah. 


Aku terus bersyukur di dalam hati, betapa Yang Maha Agung terus menemukanku dengan orang-orang yang menyeretku untuk selalu mendekat dengan-Nya.


Setelah menunaikan beberapa rokaat solat sunah, ku ambil Alqur’an dari tempatnya yang tersusun rapih. Mencoba untuk memulai belajar membaca kitab suci. 


Kekhusu’anku menjadi terusik saat suara puluhan orang lagi, berdatangan. Ternyata mereka para tahanan yang menjadi anggota majelis taklim. 


Dan tidak lama kemudian, mereka tampak begitu khusu’ dalam menjalankan ibadahnya. Aku sangat terharu melihat suasana tersebut. 


Seusai solat Dhuhur berjamaah, aku menunggu pak Waras di depan masjid. Beberapa saat, pria bertubuh tambun itu keluar dan bersamaku kembali menuju ke kamar. 


Sambil berjalan, ia menunjukkan kepadaku suasana kantin yang begitu penuh sesak dan riuh rendah oleh candaan puluhan tahanan. 


Juga belasan orang yang sedang mengantri untuk menggunakan telepon umum yang disediakan pihak rutan. Di wartelsus. 


“Seni kehidupan terindah disini adalah semua bebas melakukan apa yang dimauinnya, Be. Tentu bebas yang terbatas. Sepanjang nggak ngelanggar aturan, semua happy-happy aja,” kata pak Waras. 


Ku tanggapi perkataannya dengan anggukan kepala. Tidak ada pilihan selain terus mencoba memahami gaya kehidupan di rutan. Tempatku melanjutkan bagian kehidupan. (bersambung)

LIPSUS