Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 133)

INILAMPUNG
Jumat, 13 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


APEL siang berlangsung singkat. Petugas hanya memperhatikan saat kami berhitung. Setelahnya, Asnawi memerintahkan OD menyiapkan makan siang. Kami makan dari catering dapur. Satu boks plastik layaknya tupperwaer kecil, untuk tiga orang. 


Aku, Asnawi, dan pak Waras makan pada satu tempat. Dan sejak siang itu, kamar 8 penaling memesan lima boks catering. Untuk 15 orang penghuni sel. 


Meski hanya dengan lauk sayur singkong, sambel tahu, dan tiga potong ikan asin, tetap nikmat rasanya. Walau memang, sangat jauh dari ukuran kelayakan untuk kenyang. Apalagi bicara gizi.


“Tetap bersyukur ya, Be. Kita masih bisa makan seperti ini. Ada ratusan tahanan lain yang nggak jelas makannya, kecuali dari nasi cadong,” ucap pak Waras, seakan memahami betapa trenyuh hatiku dengan kenyataan ini.


“Iya, pak. Alhamdulillah. Inshaallah, aku tetep bisa terus mensyukuri yang ada,” sahutku dengan suara datar. Meredam gelegak kesedihan yang menyayat hati.


Ku rebahkan badan setelah menghabiskan satu batang rokok seusai makan siang. Dan terlelap dalam buaian kantuk yang sangat. Hingga kemudian terdengar suara riuh dari penghuni kamar untuk segera keluar, begitu tamping membuka gembok.


“Jamaahan ashar di masjid ya, Be,” kata pak Waras, mengajakku untuk kembali beribadah langsung di rumah Allah.


Aku ikuti langkah pak Waras ke masjid. Sambil berjalan, ku pandangi ratusan tahanan tengah asyik dengan kegiatan masing-masing di luar kamar. 


Ada yang bermain sepakbola. Bermain volly ball. Bergerombol di beberapa sudut selasar, bercanda penuh tawa. Dan mayoritas memenuhi kursi kantin yang jumlahnya memang sangat banyak.


Seusai solat Ashar berjamaah di masjid, aku buru-buru berjalan menuju gazebo di depan kamar pak Edy. Tampak Asnawi dan pak Edy sudah ada disana. Sambil menikmati kopi dan menonton televisi.


“Aris mana ya, Be? Katanya tadi solat ke masjid dulu,” tanya Asnawi, begitu aku duduk di dekat mereka.


“Nggak ketemu aku tadi di masjid. Paling sebentar lagi juga dia dateng,” sahutku.


Dan benar saja. Aris, mantan anggota Dewan yang Terhormat, yang harus menjalani kehidupan penjara karena tersangkut skandal proyek pembangunan ini, muncul. Ia tampak berjalan santai dengan menyelempangkan kain sarung di badannya. Terdengar siulan kecil dari mulutnya. Tetap ada keceriaan di jiwanya.


Asnawi dan Aris menyampaikan, hasil sokongan kawan-kawan eks penghuni kamar 10 rutan polres mencapai Rp 1,5 juta. Akhirnya disepakati, kekurangannya kami berempat yang melengkapi. 


“Oke, jadi sekarang sudah klop dana yang dibutuhin ya. Aku segera nemuin sipir untuk ngurus Tomy, Irfan, Arya, dan Hasbi. Biar mereka secepetnya keluar kamar AO,” ujar pak Edy dan beranjak pergi.


Sepeninggal pak Edy, aku, Asnawi, dan Aris masih tetap di gazebo. Menonton televisi sambil menikmati kopi yang telah dibuatkan OD kamar pak Edy. Suasana rutan memang lebih nyaman. 


Bukan hanya karena luas lahan yang mencapai sekitar 3 hektar, tetapi juga dihiasi dengan beragam pepohonan dan taman-taman kecil serta berbagai sarana hiburan lainnya.


“Disini besukannya dari jam 9 sampai jam 12, Be. Kecuali hari Jum’at dan Minggu. Babe kasih tahu ayuk aja, jadi bisa ngatur waktunya,” kata Aris kepadaku.


“Iya, nanti malem ku coba telepon ayukmu, Ris. Tadi pagi ku telepon pakai hp komandan, tapi nggak diangkat,” sahutku.


Setelah minuman hangat habis, kami bertiga kembali ke kamar. Aku dan Asnawi masuk ke kamar 8, sedang Aris di kamar 12. Kamar paling ujung dari deretan kamar penaling yang terdiri dari dua lantai itu.


Saat aku dan Asnawi masuk kamar, hanya ada pak Waras dan tiga tahanan lain. Mereka tengah berbincang ringan. 


Kawan-kawan yang lain sedang menikmati kebebasan dengan berbaur di dekat lapangan. Menyapa senja dari dalam tembok tinggi rutan.


Seusai menaruhkan kain sarung dan kopiah di bidang tempatku, aku buru-buru mandi. Bagiku, menjaga kebersihan badan dan tetap merasa segar, lebih penting.


Baru saja selesai mandi, ku dengar suara riuh. Para tahanan kembali harus masuk selnya masing-masing. Dan sesaat kemudian terdengar suara pintu kamar digembok oleh tamping. 


Tidak berselang lama, terdengar suara mengaji dari masjid. Pertanda adzan Maghrib segera mengumandang. Ku lihat, pak Waras, Asnawi, dan beberapa tahanan lain bergegas mengambil wudhu dan memakai kain sarung. Siap untuk menghadap Sang Pencipta. 


“Kita cuma bisa ikut jamaahan di masjid untuk solat Dhuhur dan Ashar aja, Be. Kalau anggota majelis taklim, bisa jamaahan di masjid sejak solat Subuh sampai Maghrib. Isya sudah nggak boleh lagi,” kata pak Waras, memberi penjelasan kepadaku sebagai tahanan baru di rutan.


“Kenapa dibatasi gitu ya, nggak sekalian lima waktu, pak?” tanyaku.


“Untuk ngejaga dari hal-hal yang nggak diinginin aja, Be. Kita kan nggak tahu hati orang dari ribuan tahanan disini. Bisa aja ada yang manfaatin kesempatan buat kabur,” lanjut pak Waras, yang sudah enam bulan lebih berada di rutan ini.


“Emang ada yang pernah nyoba kabur?” tanyaku lagi.


“Selama aku disini, sudah pernah kejadian dua orang mau kabur. Bahkan yang terakhir, sudah sampai atas genting di bagian dapur rutan. Tinggal lompat turun, keluar pagar rutan. Tapi akhirnya, ketahuan juga sama petugas,” pak Waras menambahkan.


Tidak terbayangkan olehku, rutan yang dikeliling tembok setinggi 8 meter ditambah kawat berjeruji itu, juga dilengkapi sarana CCTV pada berbagai posisi strategis, masih bisa membuat tahanan untuk mencoba melarikan diri.


Ditambah empat menara penjagaan di setiap sudutnya yang selalu dijaga petugas, rasanya hanya orang yang benar-benar tertekan sajalah yang nekat melakukan upaya untuk kabur.   


“Apa alasan mereka yang nekat nyoba kabur itu ya, pak?” tanyaku kepada pak Waras, yang tampak mengetahui banyak lika-liku kehidupan di rutan.


“Kalau yang terakhir kemarin, aku sempet ngobrol setelah dia jalani strafcell selama dua minggu. Katanya, dia nggak tahan sama perlakuan kawan-kawannya di kamar,” urai pak Waras.


“Emang kenapa sama kawan-kawannya di sel?” tanyaku lagi, dengan penasaran.


“Namanya di rutan kan emang banyak aja yang aneh-aneh, Be. Nyatuin belasan orang dengan karakter dan kebiasaan masing-masing, nggak mudah. Apalagi kalau yang muda-muda. Bawaannya emosian terus. Belum bisa kendaliin diri. Jadi ya, biasa sering ada yang berantem di kamar dan sebagainya,” sambung pak Waras.


“Ditambah, banyak yang ngejago disini, Be. Mau nge-jagger gitulah. Kebanyakan yang residivis. Biar ditakuti tahanan lain. Ujung-ujungnya kan mau enaknya sendiri. Nggak mikirin perasaan orang lain,” Asnawi menyela.    


Aku terdiam. Kembali bersyukur di dalam hati. Selalu mendapat tempat dengan orang-orang baik, yang mengajakku untuk mendekat kepada Sang Maha Agung di dalam sel. Tidak disatukan dengan tahanan yang berjiwa keras dan kasar.


Suara adzan Maghrib mengalun syahdu. Menyeruak masuk ke dalam ratusan kamar di kompleks rumah tahanan negara yang diisi 1.200 tahanan itu. 


Ku lihat, kamar-kamar lain di depan kamarku, yang dipisahkan oleh taman kecil, juga banyak tahanan yang akan menjalankan ibadah solat jamaahan.


Damai hatiku melihat suasana itu. Ada keyakinan tersendiri, aku bisa menikmati masa penahanan dengan kian mendekat pada Sang Pencipta.


Usai menjalankan solat Maghrib berjamaah, pak Waras mengajak kami untuk membaca Alqur’an. Sesuai dengan kemampuan masing-masing. Aku membaca surah yasin, karena memang hanya surah tersebut yang hafal. 


Terpetik di batinku, untuk meminta kepada istriku Laksmi mengirimkan Alqur’an yang terpisah setiap satu juznya, sehingga akan lebih ringan untuk membaca dan memahami tatanan kehidupan yang telah digariskan Sing Gawe Urip. 


Prosesi peribadatan malam itu diakhiri dengan solat Isya berjamaah. Meski hanya tujuh dari 15 penghuni kamar yang melaksanakan ibadah, namun nuansa agamis cukup kental di kamar 8 penaling. Terasa lebih adem. (bersambung)

LIPSUS