Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 134)

INILAMPUNG
Sabtu, 14 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


SAAT makan malam bersama, dengan menikmati masakan dari dapur rutan, apel malam berlangsung. Petugas sipir hanya memperhatikan kami satu demi satu dari balik jeruji besi. Selepasnya, ia melangkah ke kamar sebelah. 


Ku ambil buku kecil dan pulpen dari dalam tas kecilku. Mencoba menuliskan catatan sejak masuk rutan. Termasuk ungkapan perasaan yang menggema tiada menentu dentingannya. 


Keasyikanku menulis sambil menelungkupkan badan di atas kasur tipis pemberian Asnawi, sontak terhenti saat pak Waras tiba-tiba duduk di sebelahku.


“Lagi nulis apa, Be? Aku perhatiin dari tadi kayaknya asyik bener,” kata pria tambun yang tersangkut kasus garam beryodium tidak berizin itu.


“Nyoba nulis-nulis aja, pak. Ya, sekadar nuangin pengalaman selama ini,” ujarku sambil bangun dari tiduran. Dan duduk bersandar di tembok. Paling ujung dari kamar 8 penaling. 


“Wah, bagus itu, Be. Aku pernah baca tulisan seorang budayawan dan penulis hebat. Dia bilang gini: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian,” tutur pak Waras, dengan melepaskan senyum sumringahnya. 


“Bener, pak. Justru aku termotivasi oleh perkataan sastrawan itu. Pramoedya Ananta Toer. Maka aku pengen nulis, biar nggak hilang sejarah kehidupanku ini,” sahutku, juga sambil tersenyum.


“O iya, nama penulis hebat yang bilang itu si Pramoedya Ananta Toer. Aku suka baca buku-bukunya. Dan karyanya waktu dia lagi jalani penahanan di Pulau Buru, justru spektakuler. Siapa tahu, nanti Babe juga bisa jadi penulis hebat,” lanjut pak Waras dan menepuk-nepukku. Ada harapan dan kebanggaan dari tepukan hangatnya.


“Ngomong-ngomong, sampeyan kelihatannya selalu tenang dan ikhlas jalani semua ini. Bagaimana caranya, pak,” kataku lagi.


Pak Waras tersenyum. Sambil menghisap rokok ditangannya, pria bertubuh tambun dengan rambut beruban yang hampir merata di kepalanya itu, sesekali menganggukkan kepalanya.


“Nggak ada cara khusus sih, Be. Yang penting kita sadar, kalau setiap pribadi itu berjuang di kotaknya masing-masing. Dan sebenernya, nggak ada orang yang paling menderita di dunia ini. Karena Allah nggak ngebebani kita kecuali sesuai sama kesanggupannya,” ucap pak Waras, panjang lebar.


“Jadi nerimo aja ya, pak,” sahutku, cepat.


“Iyo, gitu aja. Sang Pengeran sudah buat tulisan takdir buat kita. Yo diterimo aja. Dan penting buat kita lakoni, musibah ini akan ngecil kalau kita rahasiain, tapi ngebesar kalau kita keluhin. Semua kegamangan dan kesakitan yang menyayat ini, akan terurai kalau kita ngadu sama Allah, tapi malahan nambah rumit kalau diumbar ke manusia,” lanjutnya. 


“Jadi mesti bijak ngadepinnya ya, pak,” kataku lagi.


“Baiknya ya gitu, Be. Orang bijak itu puas dan tahu manfaat kebajikan. Yang nggak bijak, nggak akan bertahan lama dalam kemakmurannya. Dan kalau prinsipku, hati yang bersih dalam baju kotor, lebih baik daripada hati kotor dalam baju yang bersih,” pak Waras menambahkan. 


“Ternyata, emang seru ya pak perjalanan hidup kita ini. Penuh warna. Full colour,” ujarku sambil tersenyum. 


“Iya, full colour emang kehidupan kita. Babe perlu tahu, dari setiap drama yang kita mainkan, pasti ada karma yang didapatkan. Jadi ya sudah, nggak usah dikeluhin. Syukuri dan nikmati aja,” tanggap pak Waras.      


Tiba-tiba Asnawi memanggilku. Spontan ku tengok ke arah kap kamar 8 yang tengah bermain kartu di dekat jeruji besi. Ternyata, ada komandan pengamanan rutan berdiri di luar kamar. Buru-buru aku mendekat. Dan menyalaminya.


“Tadi istrinya telepon, pak. Tapi pas saya sudah lepas piket. Sekarang bapak telepon saja,” kata dia, sambil menyerahkan telepon selulernya ke tanganku.


Setelah duduk di bidang tempatku, aku pencet nomor hp istriku. Hanya dua kali berdering, sudah diangkat.


“Assalamualaikum, bunda,” sapaku.


“Waalaikum salam. Alhamdulillah. Ayah sehat ajakan,” kata istriku dari seberang.


“Alhamdulillah, ayah sehat. Bunda sama anak-anak juga sehat ajakan,” kataku lagi.


“Iya, Alhamdulillah kami semua sehat. Maaf tadi pagi telepon, bunda nggak angkat. Lagi briefing kepala dinas. Rencananya, besok bunda mau besuk ayah. Mungkin cuma sama Laksa. Karena anak-anak lagi sekolah,” lanjut istriku.


“O iya, ayah tunggu ya, bunda. Tolong bawain Alqur’an yang per-juz itu ya. Ayah mau belajar baca qur’an,” ujarku.


“Iya, habis teleponan ini langsung bunda siapin, biar nggak kelupaan. Ayah mau dibawain apa?” kata istriku lagi.


“Bawain kaos berkerah tiga ya, bunda. Untuk dikasih tulisan WBP. Tahanan wajib pakai kaos dengan tulisan itu kalau keluar kamar, apalagi pas ke tempat besukan,” jelasku.


“O gitu, emang apa maksudnya WBP itu ya, ayah?” tanya istriku.


“Warga binaan pemasyarakatan maksudnya, bunda. Semua wajib punya kaos dengan tulisan itu. Ngebuatnya di koperasi. Sekali cap, bayarnya Rp 40.000,” uraiku.


“Oke, besok bunda bawain. Ayah selalu jaga kesehatan ya. Besok kita ngobrol panjang. Nggak enak lama-lama pakai telepon komandan,” lanjut istriku, dan hubungan telepon pun terputus.


Sesaat, aku menarik nafas lega. Betapapun, rasa syukur itu memang kian wajib untuk terus dikumandangkan hingga ke langit. Karena sebagai tahanan, masih tetap bisa berkomunikasi dengan istri dan keluarga di rumah. 


Tidak terbayang, jika yang ku lakoni saat ini, terjadi pada puluhan tahun silam. Saat sarana komunikasi belum secanggih sekarang. Terbayangkan, betapa nelongsonya para tahanan waktu itu. 


Setelah aku kembalikan telepon seluler ke tangan komandan pengamanan yang membantuku sejak awal masuk rutan, ia memerintahkan tamping malam untuk membuka pintu kamar. 


Ia mengajakku berbincang ringan di taman yang ada di depan kamar. Sambil menikmati gerakan lincah penuh kebebasan dari ikan-ikan hias di kolam kecil yang ada di depan tempat kami berbincang, ia meminta tamping menyiapkan dua cangkir kopi. Tak hanya itu. Ia juga membelikanku dua bungkus rokok. 


Pria bertubuh atletis dengan senyum ramah itu, banyak memberi masukan untuk aku terbiasa hidup di rutan. Juga pola bergaul dengan sesama tahanan, dan menempatkan diri saat berhadapan dengan petugas rutan.


Ia menguraikan, petugas pengamanan rutan atau sipir, terdiri atas empat tim. Yang masing-masing dipimpin seorang komandan dan wakilnya, dengan anggota belasan orang. Mereka memilik sistem kerja yang sudah baku, dengan standar operasional yang ketat.


“Berdasarkan pengalaman saya bertugas sebagai sipir dua puluh tahun lebih ini, kunci tetep bisa bahagia di dalam rutan bukan saat kita memiliki kesempurnaan, pak. Tapi ketika kita bisa menerima ketidaksempurnaan dengan tulus dan ikhlas,” ujarnya dengan suara datar.


“Berat tapi untuk bisa ikhlas menjalani kehidupan penuh keterbatasan begini, pak,” sahutku. Terus terang.


“Semua butuh proses memang, pak. Nanti pada saatnya, pak Mario akan memahami kalau ikhlas itu bukan melepaskan sesuatu dengan air mata, tapi bisa merelakan sesuatu dengan senyuman. Merelakan itu bukan berarti menyerah ya, pak. Namun menyadari ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Nah, di dalam rutan, akan mengalami banyak hal yang jauh dari kewajaran. Dan itu akan membuat pak Mario bisa cepat mencapai keikhlasan,” urai komandan dengan panjang lebar dan tetap dengan suara datar.


Aku kagumi pengetahuan dan pengalaman komandan pengamanan rutan tentang hakekat kehidupan. Ia begitu matang mengelola profesinya dengan rancak dalam menata suasana rutan yang diisi lebih dari 1.200 tahanan. Yang semestinya hanya berisikan 800 tahanan saja.


Hampir tengah malam, saat ia mengajakku kembali ke kamar. Untuk beristirahat. Dan ia melanjutkan tugas jaganya hingga esok hari. 


Saat aku melihat ke kamar 8 penaling, tinggal Asnawi dan kawan-kawan yang bermain kartu saja, yang belum terbuai mimpi.


“Terimakasih banyak atas semuanya, pak. Sangat berarti petuah-petuahnya untuk saya bisa menemukan kebaikan dan kebahagiaan di rutan ini,” kataku, saat akan berpisah dengan komandan.


“Tetap sabar dan terus berusaha untuk ikhlas ya, pak. Yakinlah, segala sesuatu memiliki keajaiban. Bahkan kegelapan dan kesunyian sekalipun,” kata dia, dan kembali melepas senyum ramahnya.


Setelah di dalam kamar, hatiku tergerak untuk melakukan solat malam. Mencoba terus membangun komunikasi dengan Yang Maha Agung. Suasana rutan yang telah sunyi, menambah kesyahduanku bercengkrama dengan Sang Pemilik Alam. 


Dalam konsentrasi penuh menghiba pada Yang Maha Kuat, tanpa terasa air mata berderai. Mengucur dengan sendirinya. Membuat sebagian kain sarungku basah. Tak ada kalimat lain yang terus terucap dari hati dan mulutku, kecuali istighfar. Astaghfirullah wa atubu ilaih. Mohon pengampunan. Tanpa bisa memerinci jutaan dosa, salah, dan khilaf selama ini. 


Dan, mendadak badan ini terasa begitu lemah. Lunglai. Bak tidak bertulang. Ku rebahkan badan di atas sajadah. Tertidur. Lelap. Meski tetap tanpa mimpi. (bersambung)

LIPSUS