Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 135)

INILAMPUNG
Minggu, 15 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


BABE, bangun. Sudah adzan subuh,” suara Asnawi mengejutkan kelelapanku.


Buru-buru aku wudhu. Beberapa kawan penghuni kamar telah siap untuk melaksanakan jamaahan. Selepas ibadah pembuka hari, kami mendengarkan kultum dari pak Waras.


Pria paruh baya yang telah kenyang asam garam kehidupan itu, terus menebarkan optimisme bagi kami sesama tahanan. Menurut dia, yang bengkok pada satu masa, akan dapat diluruskan pada masa yang lain.


“Karenanya, jangan pernah kehilangan jati diri. Dimana kita berada, jadilah jiwa kita di tempat itu. Sebab, apa yang sedang kita cari, juga sedang mencari kita. Apa yang kita cari disini? Tidak lain adalah sabar dan ikhlas. Dua hal itu akan membawa kita semakin dekat dengan Tuhan Seluruh Sekalian Alam,” urai pak Waras.


Begitu kultum selesai, aku buru-buru mandi. Karena air keran mulai mengucur. Aku ingin menikmati air yang baru hadir dari sumbernya. Pasti lebih segar dan sehat. 


Tamping kebersihan menjalankan tugasnya. Sambil bercanda dengan sesama, mereka begitu serius menyapu dan mengepel lantai selasar yang memanjang puluhan meter itu. 


Dan yang menjajakan sarapan pun bergerak dari kamar ke kamar. Menawarkan makanan jualan sipir yang dititipkan padanya.


Pak Waras, Asnawi, dan beberapa penghuni kamar 8 yang lain, membeli sarapan. Aku memilih tidak membeli.


Bukan hanya karena harganya relatif mahal, namun juga karena hati belum tergerak untuk merasakan makan pagi.


Pikiranku telah terpaku pada akan datangnya istriku beberapa jam ke depan. Membesukku untuk pertama kali di rutan ini. 


Asnawi menjelaskan pola besukan. Mulai dari pemberitahuan oleh tamping, izin dan pencatatan di pos penjagaan dalam, dilanjutkan hal yang sama pada pos penjagaan depan, sampai pendataan begitu masuk ruang besukan.


“Paling lama besukan 30 menit, Be. Tapi kalau deketin tamping dan petugas yang jaga, bisa sampai akhir jam besukan,” jelas Asnawi.


Ia ambil satu kaos bertuliskan WBP yang tergantung di tempat pakaian. Di bagian atas, dekat plafon kamar. Yang untuk mengambilnya pun harus memakai alat berupa bambu panjang. Entah punya siapa kaos tersebut.


Kaos bertuliskan WBP itu, baunya apek sekali. Beberapa kali aku semprot dengan pengharum, masih saja baunya merebak.


Aku tidak tahu, sudah berapa lama kaos itu tidak dicuci. Juga, berapa banyak tahanan yang pernah memakainya. Mencium baunya saja, terasa ingin muntah. Namun, tidak ada pilihan. 


Rasanya lama sekali menunggu jam besukan tiba. Sambil terus menikmati rokok yang dibelikan komandan pengamanan tadi malam, pikiranku melayang. 


Tidak tentu arah. Ingin menggapai sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa yang hendak dituju. Sebuah pengembaraan tanpa harapan. Dan tersadarlah jiwaku, jika harapan sesungguhnya adalah akar dari semua rasa sakit di hati.


Tiba-tiba Gerry muncul di depan jeruji besi dan menyapaku dengan suara lantang. Membuyarkan semua lamunan yang tidak menemukan alurnya. Aku pun mendekat. Menyalaminya dengan hangat.


“Abang sudah pakai kasur apa belum?” tanya Gerry dengan wajah serius.


"Alhamdulillah sudah. Dipinjemi Asnawi,” sahutku, sambil memperlihatkan kasur tipis yang sudah aku gulung dan disandarkan di tembok. 


“Nanti aku pesenin ya. Yang tebel dan besar. Masak kasur tipis gitu. Disini kalau hujan, dinginnya luar biasa, bang. Nembus sampai tulang rasanya,” ucap Gerry lagi.


“Boleh juga, Gerry. Tapi jangan tebel-tebel dan besarlah. Yang biasa aja. Mahal nanti. Nggak kebayang gimana bayarnya,” kataku. Polos.


“Bayarnya kan bisa ngangsur, bang. Nanti aku yang ngatur,” lanjut Gerry. 


Dan setelah memberikan bungkusan berisi tahu dan tempe goreng serta satu bungkus rokok, ia pergi dari depan kamarku. 


Ku dengar, tamping sibuk memanggil satu demi satu tahanan dari kamar lain. Jam besukan sudah dimulai. Ku pakai kaos bertuliskan WBP yang diberi oleh Asnawi. Aku hanya duduk di bidang tempatku. Sambil terus berdoa agar istriku cepat datang. 


Penungguanku berujung. Seorang tamping memanggilku. Setelah melalui proses pelaporan pada dua pos pengamanan, ia membawaku ke kantor rutan. Bukan di tempat besukan seperti tahanan lain.


“Kok di kantor? Bukan di tempat besukan kayak yang lain?” tanyaku pada tamping yang menjemputku.


“Istri pakde nunggu di ruangan atas. Sama pengacara pakde juga,” jelas tamping itu.


Setelah menaiki tangga, kami memasuki lantai 2 kantor rutan. Dan benar saja. Istriku, Laksmi, adikku Laksa, dan lawyerku Makmun serta timnya sudah ada disana.


Ku peluk erat istriku penuh kehangatan. Kerinduan, kebanggaan, dan kesedihan itu bercampur menjadi satu. Membuatku tanpa terasa telah menitikkan air mata.


Yang buru-buru diusap dengan pelan oleh jari lentik istriku. Ia sangat tidak ingin ada orang lain mengetahui jika aku mengeluarkan air mata. 


Laksa juga begitu haru saat memelukku. Badannya bergetar kencang. Pergolakan di batinnya begitu kuat. Ia memahami benar, betapa terpuruknya jiwaku. 


Pun Makmun dan tim lawyerku. Mereka menyalami dan memelukku dengan penuh keharuan.


Sambil berbincang ringan, istriku membuka nasi bungkus. Berlauk daging cincang. Dan ia terus menyuapiku, yang tengah asyik berdiskusi dengan tim lawyer. 


Sesekali, aku menyuapinya. Tidak terasa, nasi bungkus dengan masakan khas Padang itu, ludes.


Bahagia betul hatiku bisa bertemu istri. Juga adikku Laksa, dan tim lawyer. Karena di lingkungan yang baru, tentu membutuhkan kesiapan mental tersendiri. Kedatangan belahan jiwa dan hidup ini, begitu besar maknanya bagi tetap tegarnya jiwaku.


Apalagi di rutan dengan penghuni 1.200 orang itu, mayoritas merupakan narapidana. Tahanan yang sudah inkrach perkaranya dan tengah menjalani hukuman badan. Yang seringkali perilakunya penuh kekasaran serta bertindak sekehendak hatinya. 


Saat suara adzan Dhuhur menggema dari masjid di dalam kompleks rutan, seorang pejabat rutan memberi isyarat untuk kami mengakhiri pertemuan. 


Ku peluk istriku dengan penuh rasa sayang yang terhalang oleh keadaan. Laksa kembali memelukku dengan gelegak ketidakrelaan yang begitu kencang. Makmun dan tim lawyer terus menguatkan.


Setelah melepas istriku, Laksa, dan tim lawyer keluar pintu gerbang kedua untuk kemudian melewati satu ruangan dan melalui pintu gerbang utama menuju pelataran parkir, aku berbalik untuk berjalan kembali ke kamar, ditemani tamping yang tadi menjemputku.


Sambil berjalan melewati tepi lapangan, tamping memberitahu kebiasaan bagi tahanan yang mendapat besukan. Yaitu memberi uang besukan pada pos pengamanan depan dan dalam, masing-masing Rp 5 sampai 10.000. 


Juga memeriksakan barang bawaan, dan kapan pun petugas jaga berhak untuk meminta atau mengambil sebagian barang bawaan pembesuk. 


“Dan buat tamping yang manggil juga yang megang kunci, pakde. Nggak ditentuin besarannya sih. Cuma rata-rata ya Rp 5 sampai 10.000 itulah,” lanjut tamping itu, sambil tersenyum penuh arti.


Di pos penjagaan dalam, barang bawaanku diperiksa ketat oleh petugas. Pada besukan pertamanya di rutan, istriku membawakan Alqur’an, tiga kaos berkerah, dua kaos tanpa lengan, dua celana pendek, dua celana training, satu selimut, tiga nasi bungkus, kopi dua bungkus, dan beberapa vitamin, juga sereal.  


Tampak petugas yang memeriksa bawaanku memberi kode kepada tamping di pos penjagaan dalam. Dan akhirnya, disisihkan untuk mereka satu nasi bungkus dan satu bungkus kopi.


Saat tamping di pos penjagaan dalam meminta uang besukan, aku sampaikan, nanti dititip melalui tamping yang menjemputku. 


Sambil berjalan dengan membawa barang yang diberikan istriku menuju kamar, aku ingat pesan adikku, Laksa: sesungguhnya, hal-hal sulit itu akan melahirkan keberanian dan kekuatan. (bersambung)

LIPSUS