Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 136)

INILAMPUNG
Senin, 16 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


ARIS tampak berdiri di depan pintu kamarku. Membawa kain sarung dan telah mengenakan kopiah, aku tahu ia akan mengajakku ke masjid untuk solat Dhuhur berjamaah.


“Sabar, Ris. Aku taruh bawaan ayukmu dulu ya,” kataku begitu sampai di depan kamar dan buru-buru menaruh barang dari istriku. 


Setelah mengambil kain sarung dan kupluk khas haji, aku keluar kamar lagi. Kami berjalan bersamaan ke masjid.


“Gimana kabar ayuk, Be. Sehat aja kan,” ucap Aris.


“Alhamdulillah, ayuk dan anak-anak sehat semua. Tadi ayuk sama adiknya, Laksa. Juga lawyerku. Kami ngobrol di kantor, ruangan atas,” jelasku.


“Wuih, hebat amat, Be. Besukannya di kantor rutan,” kata Aris, spontan.


“Nggak tahu aku juga, Ris. Diajak tamping ke ruangan atas. Disana sudah ada ayuk,” sahutku.


“Mahal itu pasti bayarnya, Be,” ujar Aris dengan memandangiku. Aku hanya angkat bahu.


Seusai solat berjamaah, aku mengajak berbincang beberapa tahanan yang menjadi anggota majelis taklim. Ada ketertarikanku dengan posisi itu. 


Mereka menjelaskan beberapa kelebihan sebagai anggota majelis taklim. Meski mereka dengan jumlah sekitar 60 orang hanya menempati satu ruangan. Memang cukup luas. 20 x 20 meter². 


“Kalau jadi anggota majelis taklim, kita bisa banyak belajar agama, dan lebih konsen. Walau kami juga tetep bisa ikut main bola atau olahraga lainnya,” jelas tahanan anggota majelis taklim yang berlatar belakang dosen perguruan tinggi agama, yang mengaku terseret kasus pelecehan seksual pada mahasiswinya itu.


“Persyaratan khususnya ada nggak, pak?” tiba-tiba Aris yang tanpa sepengetahuanku telah duduk di sampingku, menyela.


“Nggak ada sih. Cuma kesungguhan hati kita aja yang penting. Ada filosofi yang harus dipegang teguh, yaitu jadilah lilin yang menyebarkan cahaya atau cermin yang memantulkan sinar,” lanjut tahanan anggota majelis taklim tersebut, dengan senyum ramah. 


Beberapa saat kemudian, kami berpamitan. Aku dan Aris keluar masjid untuk kembali ke kamar, sedang anggota majelis taklim itu meneruskan ibadah wiridnya.


“Babe tertarik mau jadi anggota majelis taklim?” tanya Aris saat kami berjalan menuju kamar.


“Yah, bisa dibilang ada sih ketertarikan itu. Tapi kayaknya masih perlu tambahan pengetahuan juga soal itu, Ris. Nanti aku tanya-tanya dululah,” sahutku, enteng.


“Baiknya emang ditimbang mateng-mateng dulu, Be. Sebab infonya, yang jadi anggota majelis taklim itu bawaannya eksklusif gitu. Nggak mau berbaur sama yang lain,” lanjut Aris.


“Kalau bersikap eksklusif buat kebaikan, malah baguslah, Ris. Ketimbang berbaur nggak karu-karuan di rutan yang berisi ribuan orang gini,” kataku, menyela.


“Ya, nggak mungkin juga kita mau ngebaur semaunyalah, Be. Maksudku, jangan sampai eksklusif itu malah nganggep yang lain lebih kotor dan rendah ketimbang kelompoknya,” jelas Aris.


“Ya sudah, anggep aja ini intermezo, Ris. Yang penting pribadi kita aja. Yang buat kita nyaman dan tetep bisa istiqomah,” ujarku.


Begitu masuk kamar, aku langsung diajak makan siang. Ternyata, kawan-kawan telah menungguku. Nasi bungkus bawaan istriku menjadi santapanku. Satu nasi bungkus lainnya, aku berikan kepada Asnawi, kap kamar 8 penaling.


Seusai makan siang, ku serahkan tiga kaos berkerah untuk dicap tulisan WBP kepada Asnawi. Juga uang untuk biayanya. Termasuk uang mingguan Rp 250.000.


Sambil menyusun pakaian yang tadi dibawakan oleh istriku ke dalam tas kecil, ku masukkan pakaian kotor ke kantong plastik. Aku tetap ingin pakaianku dicuci di rumah.   


Ku isi siang itu dengan membaca beberapa  surat kabar yang dibawakan istriku. Banyak perkembangan dunia luar yang bisa aku ikuti. Melihat keasyikanku, pak Waras mendekat. 


“Bisa numpang baca korannya ya, Be,” kata dia dan mengambil satu surat kabar. Tampak pak Waras begitu serius membaca semua berita yang ada. Termasuk iklan-iklannya.


Ku rebahkan badan di lantai. Tanpa kasur. Karena siang itu sinar mentari sangat menyengat. Dan, tiba-tiba ada kejenuhan di batinku. Akibat belum terbiasa meningkahi suasana di rutan dengan aktivitas yang tidak membosankan.


Tak lama. Aku duduk kembali. Ku pandangi kawan-kawan penghuni kamar. Ada yang bermain kartu, catur, dan beberapa lainnya memilih tidur. 


“Sini Be main kartu. Cari hiburan biar nggak jenuh,” ajak Asnawi. Yang asyik bermain kartu di lantai bawah pojok kamar. 


Aku terdiam. Karena tidak bisa bermain kartu. Pun catur. Aku hanya tahu gerakan masing-masing pion, namun tidak cerdas dalam memainkannya. 


“Lanjut aja, Nawi. Aku lagi mau nulis,” kataku kemudian.


Dan karena jawaban itulah, akhirnya aku keluarkan buku dan pulpen dari tas kecilku. Mulailah aku menulis. Menuangkan pengalaman sekaligus ekspresi suara jiwa seorang anak manusia yang tengah menjalani masa penahanan.


Perlahan, rasa jenuh yang sempat menyeruak di batinku, mengecil dan akhirnya hilang. Berganti dengan gairah membahana setelah mendapat saluran melalui coretan di buku yang memang telah aku siapkan.


Sampai kemudian pintu kamar dibuka, untuk para tahanan menikmati kebebasan menjelang petang. Semua penghuni kamar menghentikan aktivitasnya. Bergegas keluar kamar.   


Asnawi mengajakku keluar kamar. Menonton televisi di gazebo depan kamar pak Edy. Ia mengingatkanku untuk sekalian membawa kain sarung dan kupluk. Nanti langsung jamaahan Ashar di masjid.


Baru saja kami melangkah keluar kamar, tiba-tiba muncul Irfan, Arya, Tomy, dan Hasbi. Tanpa sungkan, mereka langsung memeluk kami, setelah bersalaman.


“Terimakasih bantuannya. Alhamdulillah akhirnya kami bisa keluar sel AO,” kata Tomy dengan sorot mata yang berkaca-kaca.


“Kapan kalian keluar?” tanyaku.


“Tadi siang, habis apel, Be. Kami berempat masuk kamar 6 penaling. Alhamdulillah. Terimakasih untuk Babe dan kawan-kawan semua,” lanjut Tomy.


Asnawi mengajak kami semua ke gazebo. Sambil berjalan, ia minta Irfan ke kamar 12. Memberitahu Aris. Sesampai di  gazebo, kami bertemu dengan pak Edy. Yang tengah asyik menonton acara infotainment di televisi.


“Alhamdulillah. Kita semua bisa nyatu lagi. Aku pesen, kita semua harus baik-baik bawa diri. Ngerendah aja kalau di kamar ada yang ngejajah. Pelajari sekilas karakter masing-masing penghuni kamar,” kata pak Edy sambil menatap kami dengan wajah serius.


“Tadi belum apa-apa Hasbi sudah di-bully,” ucap Irfan, yang baru bergabung setelah menyusul Aris. 


“Kalau cuma omongan, nggak usah dimasukin hati. Lewat-lewatin aja. Beda kalau sudah sampai ke fisik. Harus bertindak. Risiko urusan belakang,” tanggap pak Edy.


Sebagai orang yang telah berpengalaman keluar masuk bui, pak Edy mengingatkan agar kami tidak membentuk kelompok yang bisa menimbulkan kecemburuan tahanan lain. Apalagi di rutan memang dilarang membentuk kelompok-kelompok eksklusif atas nama pendekatan SARA.


“Masing-masing kita bergaul aja dengan yang lain. Cari teman dan sahabat. Hindari bener yang namanya keributan. Kalau ada yag penting, baru kita ngumpul,” kata dia lagi.


Tiba-tiba suara adzan Ashar menggema dari masjid. Aku, Asnawi, dan Aris pamit untuk solat. Tak lama, Hasbi juga menyatakan ingin jamaahan di masjid. 


Tinggallah pak Edy, Irfan, Tomy, dan Arya di gazebo. Melanjutkan perbincangan. Masing-masing tetap memiliki pilihan dalam kesehariannya dan saling menghargai. (bersambung)

LIPSUS