Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 137)

INILAMPUNG
Selasa, 17 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


SELEPAS solat Ashar, aku menonton para tahanan yang tengah bermain volly. Sambil duduk di tepian lantai selasar, pandanganku fokus pada olahraga itu.


“Babe bisa main volly?” tanya Aris yang duduk ndeprok di sebelahku.


“Dulu waktu mahasiswa, aku hobi main volly, Ris. Setelah berhenti main sepakbola, karena tulang rusukku patah akibat kecelakaan lalulintas,” kataku.


“Kalau Babe mau main volly, aku bilangin. Biar gantian,” lanjut Aris.


“Sabar dulu, Ris. Aku pengen nikmati permainan aja. Lagian, aku nggak punya sepatu. Itu yang main, kan pakai sepatu semua. Nggak enaklah masak aku ikutan main tapi nyeker,” sahutku.


“Kalau Babe mau pakai sepatu olahraga, aku ada kok. Di kamar. Tinggal ambil aja. Ukuran kaki kita kan sama,” ujar Aris lagi. Bersemangat.


“Besok-besok aja, Ris. Aku pengen nikmati aja dulu. Sudah puluhan tahun nggak main volly. Nanti kalau ndadak masuk lapangan, belum tentu juga bisa main beneran,” tuturku, sambil menepuk bahu Aris. 


Tiba-tiba Hasbi menemui kami. Menyampaikan pesan Asnawi kalau kami ditunggu di kantin. Segera aku dan Aris berdiri dan berjalan menuju kantin.


Kantin rutan yang cukup besar dan terbuka, memang menjadi pilihan utama para tahanan pada saat jam keluar kamar diberikan. 


Puluhan orang berkumpul disana. Duduk di kursi kayu memanjang, sambil menikmati beragam makanan yang tersedia.


Pun banyak yang memilih duduk di taman-taman kecil, yang ada di sekeliling kantin. Berbincang dengan sesama seraya mengisi perut dengan makanan dari kantin sesuai dengan selera dan kemampuan masing-masing.


“Mau makan apa, pesen aja,” kata Asnawi, begitu aku dan Aris masuk ke kantin dan duduk di sampingnya.


Ku lihat, Asnawi tengah menikmati bakso ditambah dengan tempe dan tahu isi goreng. Aris mengajakku dan Hasbi untuk makan bakso seperti Asnawi. Ditambah memesan air mineral gelas.


Saat kami berbincang ringan sambil menikmati bakso urat, Doni mendekat. Ia taruh kantong plastik kecil berisi makanan ringan di meja kami. Berupa tempe, bakwan, dan tahu goreng.


“Banyak amat ini, Doni,” kata Aris. Begitu membuka kantong plastik yang ditaruh Doni.


“Biar kenyang, Ris. Kalau makan bakso atau mie rebus, campurannya tahu isi atau bakwan. Potong kecil-kecil dan rendemin di kuahnya. Nanti pasti kenyang dan tahan lama di perut,” sahut Doni sambil tersenyum.


“Gimana kalau kuahnya cuma sedikit atau habis?” tanya Aris. Penasaran.


“Minta tambah kuah, kan nggak bayar. Tambah juga saos sama sambel. Sip pokoknya. Sampai besok pagi, perut tetep mantep aja. Nggak bakal keroncongan, karena cacing di dalem usus sudah nggak kelaperan,” urai Doni, juga masih dengan tersenyum.


Kami semua tertawa mendengar penjelasan Doni dalam mengkiati suasana yang penuh keterbatasan, walau sekadar untuk makan selama di rutan.


“Boleh juga dicoba ini triknya, om,” kata Hasbi dengan wajah serius.


“Coba aja kalau nggak percaya. Aku sudah jalaninnya, maka bisa cerita. Bukan kata orang,” ucap Doni, menyemangati.


Tidak lama kemudian, Doni membeli secangkir kopi. Penuh dengan penghayatan, ia nikmati seruput demi seruput. 


“Kamu ini ngopi terus, Don. Nggak baik buat lambung kalau kebanyakan ngopi,” kata Asnawi, mengingatkan Doni.


“Kamu jangan salah, Nawi. Aku banyak ngopi itu justru buat nikmati kehidupan. Bukan cari penyakit,” tanggap Doni.


“Maksudmu apa?” tanya Asnawi dengan mengernyitkan dahinya.


“Jadi gini lo. Hidup ini buatku kayak secangkir kopi. Pahit dan manis ketemu dalam kehangatan. Dan kopi itu punya cerita sendiri. Hitam nggak selalu kotor, pahit nggak harus bersedih,” jelas Doni, seraya melepas senyum sumringahnya.


“Wah, hebat bener kamu sekarang, Don. Sudah bisa berfalsafah,” kata Aris sambil mengacungkan jempolnya.


“Anak buah Babe kan harus cerdik, Ris. Aku banyak belajar waktu kita di polres. Cuma belum bisa ngikutin gaya Babe. Slow tapi ngehanyutin,” ujar Doni. 


“Kalau nurut aku, Babe gayanya kayak sniper, Don. Diem dan senyap, tapi mematikan,” Aris menyela seraya tertawa.


“Nah, itu yang bahaya, Ris. Dan Babe emang ngebahayain sebenernya. Kayaknya Babe ini praktekin bener falsafah; diem bukan berarti nggak ngelawan, tapi paham cara jatuhin lawan,” kata Doni lagi dan memandangku seraya tertawa. 


“Dan juga, kalau aku perhatiin selama ini, Babe pegang bener filsafat; air yang tenang itu bisa ngehanyutin dan nenggelemin,” Asnawi menimpali.


Spontan kami semua tertawa. Begitu lugas kawan-kawan menilaiku selama ini. Dan tentu dengan pandangannya masing-masing. 


Pada saat bersamaan, aku terus beristighfar di dalam hati. Menjauhkan pikiran dan hati dari masih seringnya mencuat rasa tinggi hati. Berbangga atas diri sendiri. Hal yang sangat aku ingin buang jauh-jauh. Karena kian aku sadari, jika yang tinggi hati akan direndahkan, sedang yang rendah hati akan ditinggikan.       


“Jangan berlebihan ngenilai. Masih banyak kejelekan yang harus ku buang,” ucapku, mengomentari penilaian kawan-kawan.


“Namanya manusia pasti banyak kekurangannyalah, Be. Tapi ada satu hal yang aku pelajari selama ini. Sikap rendah hati Babe,” kata Aris.


“Justru itu, aku lagi terus coba bisa jadi orang yang rendah hati, Ris. Yang jadiin kelebihan sebagai rendah hati, dan kekurangan sebagai motivasi. Ya, kita semua tetep harus saling belajar, saling ngingetin,” ujarku lagi. 


Mendadak, suara sirine dari pos penjagaan dalam, mengaum kencang. Pertanda semua WBP harus segera kembali ke kamar masing-masing. Kami pun bergegas meninggalkan kantin. Dan berpisah di pintu masuk blok B.   


Seusai mandi sore, ku buka Alqur’an yang dibawakan istriku. Kitab suci yang terpilah per-juz itu, ku pandangi dengan rasa penuh keinginan untuk segera membacanya.  


Pada senja yang mulai redup tersebut, aku mulai membaca Alqur’an. Mulai dari juz 1. Pelan sekali suaraku. Bahkan nyaris tidak terdengar. 


Setiap satu ayat, langsung ku baca artinya. Mencoba memahami makna yang terkandung di dalamnya. 


Lembar demi lembar, ku baca dengan penuh kesungguhan. Dan, ku tutup kitab suci tersebut, saat adzan Maghrib berkumandang.


Pak Waras memintaku menjadi imam solat Maghrib. Namun aku menolak. Aku masih belum percaya diri untuk mengimami jamaahan. 


Bagiku, nuansa rutan sangat berbeda dengan saat di ruang tahanan polres. Lebih terasa mendebarkan. 


Membuat sesekali muncul rasa takut berlebihan dan penuh kekhawatiran. Dibalik lingkungannya yang lebih nyaman dan adem. 


Selepas jamaahan Maghrib, aku meneruskan membaca Alqur’an. Duduk tepekur di sudut kamar. Beralaskan kasur tipis pemberian Asnawi. 


“Babe, baca qur’annya yang kenceng. Jadi kalau ada yang kurang pas bacaannya, bisa sama-sama kita benerin,” kata pak Waras yang mengetahui aku mulai membaca Alqur’an.


Aku hanya menoleh sesaat dan menganggukkan kepala. Namun, tetap saja membaca kitab suci dengan suara pelan. Menjurus bergumam. Menyadari jika bacaanku amat jauh dari fasih. (bersambung)

LIPSUS