Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 138)

INILAMPUNG
Rabu, 18 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


MENDADAK pak Waras mendekatiku bersama dengan seorang pria paruh baya yang selama ini hanya diam. Sangat irit untuk berbicara. Anas namanya.


“Pak Anas ini hafal qur’an, Be. Dia tadi yang minta aku nyampein ke Babe untuk nyuarain kenceng waktu ngaji,” ujar pak Waras mengenalkan siapa Anas.


“Aku belum fasih bacanya, pak. Makanya nggak berani bersuara keras,” kataku dengan wajah serius.


“Ya sudah, nggak apa-apa. Mana yang enak buat Babe aja. Baca qur’an itu bergeraknya dari hati. Nyatu dengan pikiran. Jangan bercabang. Apalagi sekadar mau didenger orang. Riya namanya,” ujar pak Anas seraya tersenyum ke arahku. Dan kembali ke tempatnya. Di bagian tengah lantai atas.


Saat itulah, baru aku perhatikan pak Anas dengan lebih seksama. Ternyata, pada tangan kanannya terdapat tasbih kecil yang melingkar erat di telapaknya. 


Terus bergerak tasbih itu. Pertanda ia tiada henti menyenandungkan puja-puji pada Ilahi. Ku pejamkan mata. Beristighfar. Memohon ampun kepada Yang Maha Pengampun. 


Karena sempat terlintas pikiran yang menganggap rendah pak Anas. Yang selama ini  lebih banyak diam, dan selalu merebahkan badan di bidang tempatnya. Seakan tiada aktivitas apapun yang dilakukannya, kecuali tidur. 


Saat kami masih solat Isya, sipir melaksanakan tugasnya. Apel malam. Ia hanya melihat dan menghitung jumlah penghuni kamar, tanpa bicara apapun.


Makan malam dengan masakan dapur rutan menjadi kebiasaan kami di kamar 8 penaling. Lima boks catering untuk 15 orang. Urusan makan bukan bicara soal kenyang, apalagi pemenuhan gizi. Yang penting perut terisi dan tidak hadir musik keroncong sepanjang malam.

 

Baru saja merebahkan badan, tiba-tiba terdengar pintu kamar dibuka. Ternyata dua orang tamping membawa kasur tebal dan lebar. Juga tampak Gerry dan seorang sipir mengawalnya.


“Bang Mario, ini kasurnya,” kata Gerry, sambil memandangku.


“Masyaallah, gede amat, Gerry,” sahutku seraya berdiri dari rebahan. 


Asnawi meminta tamping menaruhkan kasurku dengan posisi di paling ujung. Bukan hanya tebal, kasur itu juga lebar. Sehingga memakan banyak tempat.


“Babe paling ujung aja ya. Biar enak tidurnya. Aku pindah ke samping Babe,” kata Asnawi. Dan menggeser kasur tipisnya tepat di samping kasurku.


“Selamat tidur, bang. Besok kita ngobrol,” ujar Gerry dan kemudian meninggalkan kamarku.


Sambil menaruhkan tas kecil di atas kasur baru yang dilengkapi satu bantal dan satu guling serta satu seprai, ku ucap syukur atas kehadiran sarana ini. Meski hatiku merasa kurang nyaman, melihat kawan-kawan di kamar lebih banyak yang tidur di lantai daripada beralaskan apapun. 


Seakan memahami perasaanku, Asnawi menyatakan, jika sesama penghuni kamar tidak akan ada kecemburuan. 


“Jadi Babe asyik-asyik aja. Nggak usah jadi nggak enak hati. Semua kita sudah punya rejeki masing-masing. Inshaallah, nggak bakal ada cemburu atau perasaan macem-macem dari kawan-kawan sama Babe,” tutur Asnawi dengan pelan.


“Alhamdulillah. Inshaallah gitu ya, Nawi. Aku emang ngerasa nggak enak hati aja. Banyak kawan-kawan disini yang cuma tidur di lantai, aku pakai kasur besar dan setebel ini,” sahutku. Juga dengan suara pelan.


Dan malam itu, aku tidur dengan pulas. Betapapun juga, keberadaan sarana untuk tidur selayaknya, membuat hati dan pikiran lebih fresh. 


Apalagi, kasur tersebut sama besar dan tebalnya dengan kasur di kamarku. Di rumah. Yang sekian puluh hari ini, tidak pernah lagi aku tiduri. 


Aku terbangun saat terdengar suara riuh. Buru-buru aku duduk. Ku lihat, dua orang tamping tengah menjajakan makanan. 


“Emang jam berapa ini, Nawi. Kok masih ada yang jual makanan,” tanyaku kepada Asnawi yang masih belum tidur meski telah merebahkan badannya di kasur tipis, tepat di sampingku.


“Sekarang sekitar jam 23-an, Be,” sahut Asnawi, setelah melihat jam dinding yang ada di kamar seberang tempat kami. 


“Malem-malem gini ada yang jual makanan, emang ada yang beli?” tanyaku lagi.


“Mereka emang khusus jualannya malem, Be. Dan nggak cuma sekali muter. Nanti jam 02-an, ada yang keliling lagi. Dan itu tiap malem,” ujar Asnawi.


Aku terbengong. Tidak menyangka bila di dalam rutan, kegiatan menjual makanan bisa sampai dinihari.


“Tamping yang jualan malem itu sebutannya tamping waserda, Be. Tamping warung serba ada. Yang mereka jual, biasa disebut pasdal. Maksudnya pasang dalam,” lanjut Asnawi.


“Apa itu pasang dalam?” aku bertanya lagi. Semakin terheran.


“Maksudnya, tahanan bisa makan duluan, bayar belakangan. Cuma, ya nggak bisa lama-lama. Paling lama seminggu, harus sudah dibayar,” urai Asnawi.


“Emang banyak ya makanan yang dijual malem gini?” ucapku, masih penuh rasa penasaran.


“Banyaklah, Be. Ratusan bungkus sekali bergerak. Ngangkatnya aja pakai tempat dorongan yang kayak untuk buang sampah itu. Macem-macem makanannya. Mulai dari pecel lele, sate, tongseng, ayam geprek, gulai sapi, sampai ke NTB. Juga ada makanan atau minuman ringannya, kayak bubur sumsum, bubur ketan, susu jahe, bandrek, dan banyak lainnya,” sambung Asnawi, yang dengan sabar memenuhi hasrat keingintahuanku.


“Apa itu NTB, Nawi?” kataku, menyela.


“Nasi telor bulet maksudnya, Be. Lauk khas kesukaan Babe kalau ngelepas kawan-kawan pelimpahan dari polres,” kata Asnawi, seraya tersenyum.


“Oalah, disini juga ada yang jual nasi telor bulet rupanya ya, Nawi. Ketemu lagi aku sama makanan itu,” sahutku, juga sambil tersenyum.


“Kalau Babe pengen nyobain, kita beli. Tapi harganya ya mahal,” kata Asnawi, beberapa saat kemudian.


“Emang berapa harganya?” tanyaku lanjut.


“Kalau nasi sama sate 10 tusuk, sebungkusnya Rp 50.000, Be. Kalau yang lain, rata-rata Rp 35 sampai Rp 40.000-an,” jelas Asnawi.


“Wuih, mahal bener. Nggak usah beli, Nawi. Lagian aku nggak laper kok,” tanggapku dengan cepat.


“Namanya juga di penjara, Be. Mana ada yang murah, apalagi gratisan. Semua pakai uang, dan bukan recehan,” tutur Asnawi lagi seraya tersenyum.


Masih terdengar suara tamping waserda dengan gerobak dorongnya berkeliling selasar. Menjajakan barang dagangannya dari kamar ke kamar. 


Sesekali terdengar pembicaraan dengan penghuni kamar. Pertanda ada yang membeli. Baik secara cash maupun berhutang.


“Siapalah yang punya usaha itu ya, Nawi. Gede bener untungnya,” kataku, setelah kami berdiam beberapa saat.


“Ya sipirlah, Be. Ada tiga sipir yang bisnis makanan disini. Mulai dari yang bergeraknya pagi sampai sore lewat kantin koperasi. Terus yang jam segini, yang ketiga nanti jam 02-an itu,” Asnawi menjelaskan.


Aku terdiam dan sesekali menganggukkan kepala. Pikiranku melayang. Mengakui kecerdikan sipir yang memanfaatkan peluang bisnis dengan apiknya. 


Rutan dengan penghuni lebih dari 1.200 orang, tentu pangsa pasar yang besar dan tak tergoyahkan. Tidak mengenal istilah resesi ekonomi atau paceklik. 


“Kasur Babe ini aja pasti Gerry belinya lewat sipir juga. Banyak sipir yang bisnis sesuai dengan keahliannya disini. Sepanjang ada uang, apa aja yang Babe butuhin, pasti bisa disediain,” kata Asnawi.


“O gitu, jadi kasur ini tetep belinya sama sipir ya, Nawi?” sahutku, setengah terkejut.


“Ya pastilah, Be. Mana bisa kita masukin barang kayak gini kalau nggak lewat sipir. Kalau pun maksa beli sendiri, ujung-ujungnya biaya izin masuknya juga sama aja dengan harga barang yang dibeli. Malah jadi dobel keluar uangnya,” jelas Asnawi.


OD kamar bangun. Menawari kami kopi. Aku dan Asnawi mengangguk. Dengan cekatan, pria berusia 25 tahunan itu menyeduh minuman hangat, setelah airnya direbus dengan teko listrik. (bersambung)

LIPSUS