Oleh, Dalem Tehang
“DI kamar kita kan ada magiccom buat masak nasi, juga teko listrik buat air panas, Be. Itu semua juga bayar. Caranya dengan kita rutin beli lauk di kantin, dan barang yang disini, didata. Kalau seminggu kita nggak pernah beli lauk di kantin, nanti ada aja gangguannya,” kata Asnawi lagi.
“Maksudnya gangguan kayak mana,” ucapku seraya menyeruput kopi pahit yang dibuatkan OD kamar 8 penaling.
“Bisa tiba-tiba dirazia. Magiccomnya diambil. Dan nanti nebusnya di kantin koperasi. Ujungnya, ya harus tetep beli lauk itulah, Be. Belum lagi kalau mau masak sendiri, berasnya juga harus beli di kantin koperasi. Harganya dua sampai tiga kali lipet dibanding di pasar,” Asnawi mengurai.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata, begitu rumit kehidupan di dalam rutan. Yang tampak diluaran penuh ketenangan, menyimpan beragam lika-liku permainan bagi pemenuhan kebutuhan tahanan.
“Riweh juga ternyata ya hidup disini, Nawi. Gimana mau nyaman kalau kondisinya kayak gini,” kataku kemudian.
“Kalau di rutan mah jangan ngomongin kenyamananlah, Be. Jauh itu. Ngebayanginnya aja jangan, biar nggak kecewa,” tanggap Asnawi. Dengan penekanan.
“Tapi ku perhatiin, kamu disini lebih enjoy ketimbang waktu di polres, Nawi. Kenapa bisa gitu?” tanyaku beberapa saat kemudian, sambil menatapnya.
“Sebenernya sama aja kok, Be. Cuma emang aku lebih nggak mau musingin lingkungan aja. Disini aku nyadarin, kalau rahasia buat hidup tetep enjoy itu ternyata berharap sedikit dari orang lain, dan berharap banyak pada diri sendiri. Jadi, ya seneng-senengin diri sendiri aja,” kata Asnawi dengan wajah serius.
Aku kagum dengan bahasa Asnawi yang sederhana untuk tetap mendapatkan kebahagiaan selama hidup di rutan. Berharap sedikit dari orang lain dan berharap banyak pada diri sendiri. Mengajarkan padaku untuk piawai mengelola pikiran dan jiwa sendiri, tanpa terpengaruh oleh lingkungan sekitar.
“Ngomong-ngomong kenapa kita nggak masak nasi sendiri aja, Nawi. Kan lauknya bisa beli di kantin,” ujarku kemudian.
“Sebenernya emang lebih praktis gitu, Be. Tapi setelah dihitung-hitung, lebih besar biayanya kalau masak sendiri dibanding pesen catering dari tamping dapur. Hampir dua kali lipat bedanya,” sahut Asnawi.
“O gitu ya? Emang mahal lauknya di kantin?” tanyaku. Penasaran.
“Mahal, Be. Emang macem-macem sih harganya, sesuai isi lauknya. Ada yang seminggunya Rp 300.000 sampai yang Rp 750.000. Sehari dua kali lauknya dikirim kalau kita pesen di kantin. Itu baru lauknya, belum berasnya. Hitungannya kalau masak sendiri dan lauk dari kantin, seminggu nggak cukup Rp 500.000,” Asnawi mengurai.
“Iya juga ya. Kalau pesen catering dapur kan seminggu Rp 75.000 satu boksnya. Kali lima berarti Rp 375.000,” ucapku, ikut menghitung biaya makan.
“Belum ditambah air galon, Be. Satu galonnya Rp 25.000 dan wajib beli di kantin koperasi. Seminggu tiga sampai empat galon yang kita butuhin,” lanjut Asnawi, dan tersenyum kecut.
“Air mineral segalonnya Rp 25.000?” kataku, menyela. Dengan mata terbelalak.
“Ya iyalah, Be. Ini penjara, Be. Kalau diluaran sana, iya satu galon air mineral kayak yang kita minum ini cuma Rp 7.500. Kalau disini ya Rp 25.000. Itu juga belinya antri, pakai kupon dan harus cash bayarnya,” imbuh Asnawi.
Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala saja mendengar penjelasan Asnawi. Meski aku sendiri tidak tahu, apa makna anggukan kepalaku itu. Sebuah ekspresi, ternyata, tak selalu memunculkan jawaban.
“Dan untuk Babe tahu, di kamar kita ini ada tiga orang AI,” lanjut Asnawi. Kali ini suaranya pelan.
“Maksudnya AI itu apa?” tanyaku, juga dengan suara pelan.
“AI itu singkatan dari anak ilang, Be. Itu istilah buat tahanan yang nggak diurus sama keluarganya. Jadi mereka bener-bener nggak bisa ikut iuran kamar. Kalau sekamar isinya AI semua, makannya juga cuma ngandelin nasi cadong. Minumnya dari air keran,” urai Asnawi lagi.
“Astaghfirullah. Ada yang kayak gitu disini, Nawi,” ujarku dengan wajah serius.
“Banyak kalau di rutan ini, Be. Bisa seratusan orang jumlah AI-nya. Kalau di kamar kita, ada tiga. Makanya aku ngatur bener-bener uang iuran kita, biar semua bisa makan walau alakadarnya,” tutur Asnawi. Ada nada sedih pada bicaranya.
Kesedihan mendadak juga aku rasakan. Tidak bisa dibayangkan, hidup di dalam rutan tanpa ada perhatian sama sekali dari keluarga.
Sementara, kebutuhan makan sama sekali jauh dari kelayakan bila hanya mengandalkan nasi cadong. Bukan hanya karena paling banyak nasinya hanya lima kali suap, tapi juga berasnya benar-benar dipilih yang sangat jelek dan bahkan berbau, juga banyak batunya.
Lauknya pun sangat-sangat sekadarnya. Tiga sampai empat potong kecil daging tanpa rasa sama sekali, atau ikan asin kecil-kecil dan keras yang biasa dibuang pedagang di pasar, ditambah sayur yang hanya tampak dari kuahnya karena tidak ada isinya. Sesekali ditambah buah melon yang diiris kecil-kecil sebanyak tiga potong.
Dan hampir saja aku larut dalam kesedihan atas nasib kawan-kawan yang terlunta di penjara. Sampai kemudian aku teringat pitutur seorang sahabat: rumus menikmati hidup itu ketika kita bisa membebaskan diri dari pengaruh masa lalu atau pun kekhawatiran akan masa depan.
Kesedihan batin kami mendadak tercairkan dengan munculnya suara deheman. Ternyata, pak Anas. Bangun dari tidurnya. Dan langsung berjalan ke kamar mandi. Wudhu.
“Pak Anas ini salah satu AI disini, Be. Prihatin bener aku ngelihat nasibnya,” ucap Asnawi, setengah berbisik.
“Emang dia kasusnya apa, Nawi?” tanyaku.
“Dia dijebak kawannya, Be. Dititipin uang buat masang togel, sama catetan nomer yang mau dipasang. Cuma Rp 35.000 uangnya. Pas kurir togel dateng, dia serahin data nomer sama uangnya. Polisi rupanya sudah ngintai. Ditangkeplah pak Anas saat itu juga, sama barang buktinya,” jelas Asnawi.
“Terus kurir togelnya juga ditangkep,” kataku. Penasaran.
“Awalnya iya. Mereka berdua dibawa ke kantor polisi. Tapi sehari kemudian, kurir itu dibebasin. Pak Anas dikorbanin,” ucap Asnawi.
“Kok bisa gitu, Nawi?” tanyaku. Terheran.
“Aku juga nggak tahu kenapa bisa gitu, Be. Itu cerita pak Anas sama kami disini. Prihatinnya, dia itu cuma tukang sol sepatu di pasar deket rumahnya. Punya anak empat. Selama ini ngontrak bedeng, nggak punya rumah,” sambung Asnawi. Tampak mata Asnawi berkaca-kaca. Begitu sedih ia membayangkan kehidupan pak Anas.
Tiba-tiba pak Anas keluar dari kamar mandi. Usai berwudhu. Ia memberikan senyum ramah untuk aku dan Asnawi. Pembawaannya yang selalu tenang, membuatku ingin banyak belajar darinya.
“Yang buatku kagum, pak Anas selalu tenang, adem, dan ceria terus wajahnya, Be,” kata Asnawi, masih dengan suara pelan, sambil memandang pak Anas yang membentangkan sajadah di ujung kamar untuk solat malam.
“Kalau nurut ilmu psikologi, orang kayak pak Anas ini disebut eccedentesiast, Nawi. Yaitu orang yang pandai nyimpen rasa sakitnya dibalik senyuman,” sahutku.
“O gitu, Be. Kelihatannya tersenyum tapi sebenernya hatinya menangis, gitu ya Be,” kata Asnawi. Menyela.
“Bener itu. Dia senyum atau bahkan ketawa, tapi hatinya nangis. Dia ceria tapi sebenernya sedang sedih. Orang kayak pak Anas ini, hidup dibalik topeng keceriaan. Padahal, hatinya sangat-sangat terluka, bahkan berdarah-darah,” kataku mengurai.
“Beberapa hari lalu, dia kasih aku wirid. Katanya baca tujuh kali selepas solat. Bacaannya: wala tahinu wala takhzanu. Kata pak Anas, kalimat wirid dari Alqur’an itu artinya: janganlah kamu merasa lemah, dan jangan juga bersedih hati,” tutur Asnawi.
Aku terdiam. Mendadak merinding badanku, saat memahami makna yang tersimpan di dalam wirid pak Anas. Sungguh matang jiwa pria low profile itu dalam melakoni kehidupan dunia nan fana ini.
Seorang tukang sol sepatu yang harus menikmati hidup di neraka dunia hanya oleh uang togel yang dititipkan kepadanya, tak dinyana memiliki kekuatan batiniyah yang luar biasa untuk tidak tunduk apalagi menyerah pada keduniawian. (bersambung)