Oleh, Dalem Tehang
LAMAT-lamat terdengar suara seseorang menanyakan dimana kamarku kepada tamping waserda yang masih berada di ruang depan pintu masuk Blok B.
“Ada yang nanyain Babe itu. Siapa ya?” kata Asnawi.
“Iya, aku juga denger. Kita tunggu aja, Nawi. Kalau emang niat nyari aku, pasti ketemu,” sahutku dengan berbagai perkiraan yang mendadak memenuhi alam pikiran.
Belum lagi kami melanjutkan pembicaraan, seorang petugas jaga dengan pakaian lengkap, berdiri dibalik jeruji besi. Badannya besar tinggi. Wajahnya yang tampan dihiasi brewok tebal dan berkumis rapih.
“Bang Mario, apa kabar. Kok belum tidur,” sapa petugas itu dengan suara ramah.
Buru-buru aku bangun dan mendekat ke jeruji besi. Aku salami sipir berusia 45 tahunan, yang terus menunjukkan senyum ramah itu. Ku baca nama yang ada di baju dinasnya: Fani.
“Masih inget nggak sama saya? Dulu kita pernah sama-sama kuliah. Waktu abang ngambil jurusan hukum,” ucap Fani, dengan suara bersahabat.
“O iya. Bukannya dulu kamu kerja di pelabuhan ya. Kamu bilang waktu kita di kantin kampus setelah solat ashar,” sahutku.
“Iya, dulu saya memang kerja di pelabuhan, bang. Sudah lima tahun terakhir, jadi sipir disini. Baru tadi ini saya dapat info kalau abang masuk sini, makanya langsung nyari,” kata Fani tetap dengan ramah.
“Iya, baru dua hari aku disini. Alhamdulillah ketemu kamu ya. Kawan lama. Seneng aku, Fani,” ujarku sambil memegang tangannya.
“Kita terakhir ketemu waktu sibuk-sibuk mau wisuda. Tapi pas acara wisudanya, abang malahan nggak dateng,” lanjut Fani, mengurai. Kembali ada senyum bersahabat di bibirnya.
Aku kagum dengan ingatan Fani yang begitu kuat dan terinci atas perkawanan kami saat sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta, beberapa tahun silam.
“Ya udah, abang istirahat aja. Jaga kesehatan lo. Besok sebelum lepas tugas, saya kesini lagi. Ini sekadar buat abang untuk beli rokok atau sarapan,” kata Fani lagi, seraya menyerahkan sejumlah uang ke tanganku.
“Nggak usah, Fani. Baru ketemu kok malah ngerepotin kamu aja,” sahutku dengan cepat.
Fani tidak memberiku kesempatan untuk mengembalikan uang yang ia gimel-kan ke tanganku dengan erat. Kawan semasa kuliah yang kini menjadi sipir itu, buru-buru meninggalkan selku. Kembali menjalankan tugasnya.
Sesaat, ku tundukkan kepala sambil menyandar di jeruji besi. Mengucap syukur pada Ilahi. Selalu memberi rejeki melalui sesuatu yang tidak disangka-sangka.
“Tadi itu kawannya, Be?” tiba-tiba pak Anas menyapaku.
“Iya, pak. Dulu kami bareng kuliahnya. Nggak nyangka bisa ketemu dia disini,” kataku sambil memandang pak Anas yang masih duduk di sajadahnya.
“Begitu indahnya kalau Tuhan menskenariokan sebuah cerita ya, Be. Meski kadang, keindahan itu kurang kita syukuri karena posisi saat ini yang begini menderita,” ujar pak Anas. Tetap ada senyum ramah terukir di bibirnya.
“Alhamdulillah, tadi aku langsung bersyukur, pak. Sungguh pertemuanku dengan Fani bener-bener anugerah buatku,” kataku, juga menunjukkan senyuman.
“Alhamdulillah kalau begitu, Be. Bersyukur dan berdoa aja banyak-banyak. Dan hidup disini, lebih baik kita perkecil apa-apa yang buat kita gembira, agar sedikit pula apa-apa yang bisa bikin kita bersedih,” tutur pak Anas, mewanti-wanti.
“Kenapa mesti gitu, pak?” tanyaku.
Saat itu, aku mulai tergerak untuk mendapatkan pelajaran kehidupan dari pak Anas. Pria berprofesi sebagai pekerja sol sepatu namun dalam ilmu agama dan pengalaman hidupnya.
“Karena kehidupan ini berputar, Be. Pelajari aja alam sekitar kita. Ada malam, pagi, siang, sore, dan kembali malam. Gitu juga kesabaran kita hari ini, akan menemui ujiannya esok hari. Pun keikhlasan kita hari ini, akan temui cobaannya di hari esok. Itulah roda kehidupan, terus berputaran,” pak Anas menerangkan.
Perlahan, ku telaah perkataan pak Anas akan putaran kehidupan ini. Dan aku mengerti, mengapa ia mengingatkan perlunya memperkecil hal-hal yang membuat kita bahagia, agar mengecil pula segala sesuatu yang bisa membuat kita bersedih. Secara tidak langsung, ia mengajariku akan ilmu kausalitas. Hukum sebab akibat.
“Pak, ajari aku gimana caranya hati bisa ngerasa tenang,” kataku kemudian. Sambil menatap wajah pak Anas dengan serius.
“Sederhana rumusnya, Be. Jika Babe nggak ingin diombang-ambingin oleh kesedihan karena masuk rutan, lihatlah kenyataan ini tanpa melibatkan perasaan,” jawab pak Anas. Kali ini, suaranya tegas.
“Gimana bisa nggak libatin perasaan, pak. Karena kita punya dua sisi yang saling melengkapi. Pikiran dan perasaan,” kataku, menyela.
Pak Anas kembali tersenyum. Tidak lama kemudian, ia tertawa kecil. Sesekali kepalanya menggeleng. Terus ku perhatikan ekspresi wajahnya. Tetap teduh dan seakan tanpa beban.
“Memang nggak mudah buat kita bisa memilah bergeraknya pikiran dan perasaan itu, Be. Perlu waktu yang nggak sebentar. Kuncinya, jangan pernah bicara nggak mungkin. Semua di dunia ini serba mungkin. Tinggal gimana maunya Tuhan aja,” lanjut pak Anas.
Aku hanya diam. Berada dalam posisi bingung dan terheran. Di dalam rutan, justru aku menemukan orang-orang yang penuh kedalaman wawasan dan perilaku yang membawa ketenangan. Padahal, tempatku saat ini adalah rumah besar bagi ribuan orang yang bermasalah.
“Babe mau tahu indahnya skenario Tuhan buat kita disini?” tiba-tiba pak Anas memecah lamunanku.
“Iya, pak. Apa itu?” ujarku, pendek.
“Kita memang berada di tempat yang sangat menyayat hati. Berada dalam satu kompleks yang dijaga puluhan sipir, dengan tembok tinggi mengeliling. Berada di kamar pengap dan sempit. Bersama ratusan orang dengan berbagai latar belakang dan karakternya. Yang intinya, kita ada di tempat orang-orang bermasalah. Begajulan. Kriminal dan sebagainya. Tapi kenapa kita tetep bisa ibadah. Bisa jamaahan. Bisa ngaji. Rukun dan damai di kamar ini,” urai pak Anas.
“Iya, terus kenapa bisa gitu, pak?” tanyaku. Penasaran dengan penjelasan pak Anas.
“Karena dulu, di sebagian hidup kita sebelum masuk sini, kita pernah jadi orang baik. Pernah rajin ibadah. Pernah ngaji. Pernah bergaul dengan cara-cara yang baik. Itulah yang buat kita bisa sekamar dengan orang-orang baik. Ini indahnya skenario Tuhan yang aku maksudkan,” lanjut pak Anas seraya tersenyum penuh arti.
“Jadi maksudnya, karena dulu kita pernah jadi orang baik, di tempat yang ngenes gini pun kita tetep ditemuin sama orang baik dan kondisi baik, gitu ya, pak,” tanggapku.
Pak Anas kembali tersenyum, dan mengacungkan jempol tangan kanannya.
“Maka, dalam kondisi apapun, kita wajib tetap bersyukur, Be. Coba kalau kita dulu nggak pernah solat, nggak pernah baik sama orang, bisa aja pas masuk sini, kita ditempatin sekamar dengan begajulan. Babe harus yakin, kalau skenario Tuhan itu selalu indah. Tinggal bisa nggak kita mahaminya,” tutur pak Anas beberapa saat kemudian.
“Gimana caranya biar kita sadar buat terus bersyukur itu, pak Anas,” mendadak Asnawi menyela.
“Adakalanya kita perlu ngerenung sejenak. Mejemin mata, najemin telinga. Ngerasain sekitar, dengarin nyanyian alam. Sudahkah kita bersyukur? Lakuin aja itu dengan rutin dan ikhlas. Nanti pelah-pelan, tanpa disadari, rasa syukur itu akan terus bersenandung dengan sendirinya di hati dan pikiran kita,” sahut pak Anas, seraya memandang Asnawi yang telah duduk disampingnya.
“Terus apa yang sebaiknya kami lakuin sekarang ini, pak?” tanyaku.
“Kalau belum bisa tidur, manfaatin waktu buat solat malam. Lanjutin dengan wiridan, berserah diri secara total pada Yang Maha Segalanya. Itu lebih bermakna daripada ngobrol yang tidak menyadarkan kita akan kenisbian selaku makhluk,” jawab pak Anas.
Spontan Asnawi berdiri dari tempatnya dan bergegas ke kamar mandi. Wudhu. Pak Anas menatapku. Seakan ingin memastikan suara hatiku. Tergerak atau tidakkah aku untuk mengikuti arahannya.
“Bismillah,” kataku kemudian, dan bangkit untuk kemudian berwudhu.
Pada keheningan malam di rutan, yang sesekali ditingkahi suara tamping menjajakan pasdal, aku dan Asnawi mencoba menyatukan jiwa raga dalam kepasrahan kepada Sang Khaliq. Tuhan Seru Sekalian Alam. Allah Rabbul Izzati.
Ku nikmati betul prosesi penghambaan penuh kepasrahan di tengah kesunyian malam ini. Hingga adzan Subuh berkumandang dari masjid di dalam kompleks rutan. (bersambung)