Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI memimpin jamaahan Subuh, pak Waras mengisi kultum. Ia mengingatkan, kenikmatan rutan adalah dengan mewujudkannya bagaikan pondok pesantren. Dan kami para penghuni adalah santri-santrinya.
“Karena nikmat yang sebenarnya adalah saat dada kita terasa sesak karena dunia, tapi kita masih bisa mengucapkan Alhamdulillah,” ujar pak Waras.
Pria setengah baya yang tersangkut kasus garam beryodium ini menekankan juga, untuk jangan pernah takut tidak bisa hidup karena keterbatasan di dalam rutan, yang otomatis tidak bisa bekerja. Sebab, seluruh makhluk hidup di bumi sudah dijamin rejekinya oleh Allah.
“Seandainya kehidupan ini jarum, maka rejeki kita adalah benang. Ia akan mendatangi kita dari lubangnya. Maka tetap tenanglah, karena maha pemberi rejeki itu adalah Allah,” lanjut pak Waras.
Mengakhiri kultumnya, pak Waras terus mengingatkan kami untuk tetap mensyukuri apapun yang terjadi dan tengah dialami. Dan jangan sekali-kali membenci kenyataan hidup di penjara.
“Sebab, betapa banyak selama ini perkara yang kita benci, tapi ternyata di dalamnya tersimpan kunci kebahagiaan. Dan betapa banyak perkara yang kita senangi, padahal di baliknya adalah kehancuran buat kita,” tuturnya lagi.
Setelah mengikuti kultum, aku termenung sambil duduk di atas kasurku. Mencoba memahami kehidupan di rutan bagaikan tengah mondok di sebuah pesantren.
Sangat sulit dan tidak teruraikan bagaimana alurnya. Hingga akhirnya aku simpulkan: menjalani dan menikmati kenyataan yang ada dengan apa adanya.
Dengan mengambil kesimpulan semacam itu, hati terasa lebih tenang. Dan kemudian, tanpa disadari, aku pun kembali tidur.
Aku baru terbangun dari tidur karena merasa lapar. Perut sudah bersenandung dengan sendirinya. Barangkali, karena cacing-cacing yang bersemayam di usus, tak lagi bisa diam akibat ketiadaan makanan yang bisa ia serap.
“Be, sarapan dulu. Tadi sipir semalem, pak Fani kesini. Tapi Babe lagi nyenyak tidurnya. Dia nggak kasih kami buat bangunin. Dia bawain sarapan buat Babe sama kasih nomer hp-nya,” kata Asnawi, begitu melihat aku bangun dari tidur.
“Oh ya. Alhamdulillah. Mestinya tadi bangunin aja aku, Nawi. Nggak enak sama Fani,” sahutku sambil duduk dan meminum air mineral botol yang selalu ada di samping tempat tidurku.
“Tadinya juga mau gitu, Be. Tapi pak Fani nggak kasih. Kata dia, biar aja bang Mario istirahat. Sudah itu dia nitip sarapan sama kertas tadi,” jelas Asnawi.
Aku buka bungkusan sarapan yang diberikan oleh Fani. Ternyata nasi pecel. Masih hangat nasinya. Bahkan masih kedul-kedul asapnya. Pertanda baru masak. Dan dibungkus dengan kencang.
“Ayo sarapan, Nawi. Bisa makan berdua ini,” kataku mengajak Asnawi sarapan.
“Aku dan kawan-kawan sudah sarapan semua kok, Be. Tadi ngebuat mie sama beli nasinya aja di kantin,” ucap Asnawi.
“Emang ini jam berapa kok kantin sudah buka?” tanyaku, setengah terkejut karena tidak tahu waktu.
“Sekarang sudah jam 11-an, Be. Sebentar lagi juga Dhuhur,” sahut Asnawi.
“Astaghfirullah. Lama juga aku tidur ya. Nyenyak bener berarti tidurku,” kataku lagi.
“Bukan cuma nyenyak tidurnya, Be. Tapi juga keluarin musik indah lewat ngorok kencengnya,” kata pak Waras yang menyela, seraya tertawa.
Spontan, aku ikut tertawa. Pun Asnawi, pak Anas dan beberapa penghuni kamar lainnya. Akhirnya, ku nikmati nasi pecel kiriman Fani dengan lahapnya. Sambil mendengarkan kawan-kawan yang terus berceloteh.
Seorang tamping berdiri di depan jeruji besi. Sambil melihat ke arah kertas yang dibawanya, ia menyebut beberapa nama. Diantaranya pak Waras dan pak Anas.
“Habis solat Dhuhur, semua sudah kumpul di pos penjagaan dalem. Jangan sampai terlambat,” kata tamping itu, dan kemudian pergi.
Pak Waras, pak Anas, dan beberapa tahanan lain yang namanya disebut tamping, bergegas bangun. Mengambil kemeja putih dan celana kain milik masing-masing.
“Mereka mau sidang, Be. Harus pakai baju warna putih dan celana kain warna gelap. Juga pakai kopiah dan sandal kalau nggak punya sepatu,” kata Asnawi, begitu tahu aku mengernyitkan dahi melihat aktivitas serentak kawan-kawan yang tadi namanya disebut oleh tamping regis.
“O gitu. Jadi kalau sidang wajib berpakaian seperti itu ya? Emang nggak boleh pakai baju warna lain?” tanyaku.
“Ya gitu aturannya disini, Be. Setahuku semua yang sidang, ya pakai baju putih sama celana kain warna gelap. Boleh hitam atau biru. Pokoknya warna gelap. Dan pakai kopiah,” jelas Asnawi.
“Kenapa pula mesti pakai kopiah? Kayak mau solat aja,” ujarku lagi.
Asnawi hanya mengangkat bahunya. Pertanda, ia sendiri tidak memahami kenapa aturan wajib memakai kopiah itu diberlakukan bagi tahanan yang akan mengikuti persidangan di pengadilan.
Melihat kenyataan semacam itu, aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Menyadari, pada saatnya nanti aku pun harus menyiapkan pakaian semacam itu ketika mengikuti persidangan di pengadilan.
“Pak Waras, hari ini proses sidangnya sampai mana?” tanya Asnawi pada pak Waras yang tengah berganti pakaian.
“Hari ini jadwalnya dengerin tuntutan jaksa, kap,” sahut pak Waras.
“Sudah tahu bakal dituntut berapa tahun?” Asnawi kembali bertanya.
“Kata anakku, tuntutannya dua tahun. Tapi nanti vonisnya 10 bulan,” ujar pak Waras.
Mendengar pembicaraan itu, aku terbengong. Seorang terdakwa bisa mengetahui besarnya tuntutan yang akan disampaikan jaksa, bahkan vonis yang bakal dijatuhkan majelis hakim. Sementara persidangannya masih berlangsung.
“Bukan dulu, pak Waras. Kok bapak bisa tahu soal tuntutan dan vonisnya nanti itu, kayak mana?” ucapku, yang tidak bisa menahan keheranan.
Pak Waras menatapku tajam. Dan kemudian tersenyum penuh arti. Juga pak Anas dan beberapa kawan yang akan bersidang, memandangiku. Mereka justru kelihatan bingung dengan tatapanku yang penuh keheranan.
“Jadi gini, Be. Sepanjang penderitaan itu datangnya dari manusia, ya bisa dilawan oleh manusia,” tutur pak Waras, dengan tersenyum.
“Maksudnya kayak mana sih, pak. Aku nggak mudeng,” kataku sambil menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal.
“Mosok Babe nggak nyambung to. Semua tahanan yang masuk proses persidangan, pasti dikasih peluang buat lobi-lobi. Utamanya ya lewat jaksa. Urusan manusia ya bisa dilawan sama manusia. Semua bisa diatur. Intinya, sama-sama ada pengertian aja, dan tentu ada harga yang harus dibayar,” urai pak Waras.
Kali ini suaranya penuh dengan getaran. Pertanda bila sesungguhnya terjadi pertentangan pada batin dan pikirannya.
Aku terdiam. Mendadak kembali terbayang perkataan Nedi. Mantan anggota militer yang tersangkut kasus perampokan dan satu kamar saat menjalani penahanan di polres. Ia memastikan kepadaku untuk “bermain” dalam kasus yang melilitku, bila ingin divonis ringan.
“Jadi, semua kawan-kawan yang hari ini mau sidang, sebenernya sudah tahu nantinya mau kena hukuman berapa lama,” kataku kemudian.
Aku tatap kawan-kawan yang sudah memakai pakaian khas persidangan. Baju putih dengan celana gelap dan berkopiah.
“Nggak semua juga, Be. Ada beberapa yang nggak tahu. Pokoknya ngikutin proses sidangnya aja. Termasuk aku. Berserah aja sama Tuhan. Terserah nanti majelis hakim mau ngehukum berapa lama,” pak Anas menjawab perkataanku.
“Kenapa nggak ikut bermain seperti pak Waras?” tanyaku, dan menatap serius ke arah pak Anas.
Pria low profile itu hanya tersenyum. Sambil menggerakkan kedua tangannya. Menengadah ke langit. Mengisyaratkan ia tidak mampu untuk mengikuti permainan. (bersambung)