Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 142)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 22 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


TERSADARLAH aku. Asnawi telah bercerita, jika pak Anas adalah satu dari tiga penghuni kamar 8 penaling yang masuk kategori AI. Anak ilang. Tahanan yang sama sekali tidak pernah diurus keluarganya. 


Apalagi, ia hanya seorang tukang sol sepatu. Yang sangat tidak memungkinkan untuk bisa mengikuti irama gendang permainan yang ditabuh di dalam masa persidangan.   


“Jadi apa yang pak Anas lakuin ngadepin sidang dan nanti sampai vonis?” tanyaku lagi, masih dengan wajah serius.


“Berdoa dan baca Bismillah aja, Be. Kata guruku dulu, kalau dunia seolah memeluk tapi tanpa memberi peluk, berdoalah. Mengadulah sampai gaduh. Sebab, Allah yang maha kuasa aja yang bisa membolak-balikkan keadaan,” ujar pak Anas dengan suara datar. 


Aku kagumi ketenangan pak Anas. Terlepas dari kepapaannya secara lahiriyah, ia begitu meyakini akan kekuatan doa. Yang menurut pendapat banyak kaum alim, kekuatan doa itulah yang akan mampu bertarung di langit guna merubah takdir.    


Saat suara adzan Dhuhur menggema, pintu kamar dibuka oleh tamping. Dan semua penghuni sel yang akan bersidang, langsung menuju pos penjagaan dalam. 


“Aku sama pak Anas mau solat dulu. Kalian duluan aja ke pos,” ujar pak Waras kepada tahanan lain yang sama-sama akan mengikuti persidangan.


Bersama Asnawi, aku berjalan menuju masjid. Tampak puluhan tahanan berpakain putih dengan celana gelap dan berkopiah. Mereka akan mengikuti persidangan di pengadilan.


“Banyak bener yang hari ini sidang ya, Nawi,” kataku.


“Emang selalu banyak, Be. Bisa 30 sampai 60 orang sekali sidang. Tergantung waktunya aja. Sidang itu cuma hari Senin sampai Kamis aja,” ujar Asnawi.


“Gimana mereka ke pengadilannya ya?” tanyaku.


“Nanti dari sini, naik mobil tahanan. Mobil kayak yang bawa kita kesini dari kejaksaan dulu itu lo, Be. Sampai pengadilan, masuk sel dulu. Nunggu dipanggil buat masuk ruang sidang. Selesai, langsung masuk sel lagi. Setelah semua beres sidang, baru balik ke sini lagi,” urai Asnawi.


Seusai solat Dhuhur berjamaah di masjid, aku berdiri di selasar. Di depan pintu Blok B. Memperhatikan para tahanan yang akan bersidang, tengah berbaris rapih. Diabsen oleh tamping regis. Dan kemudian berjalan beriringan menuju bagian depan rutan. 


“Tahanan yang mau sidang harus ngelewatin tiga kali absen dan pengecekan identitas, baru keluar rutan dan langsung masuk mobil tahanan, Be. Ketat bener prosesnya,” kata Asnawi, yang juga menyaksikan puluhan tahanan berjalan menuju pintu keluar rutan. 


Setelah para tahanan yang akan bersidang menghilang dibalik pintu baja pemisah kompleks rutan dengan pintu utama, aku dan Asnawi kembali ke kamar. Siang itu, kami makan hanya 10 orang. Karena lima lainnya tengah mengikuti sidang.


Baru saja selesai makan, Gerry muncul di depan jeruji besi. Memintaku keluar, setelah tamping membuka gembok sel. Kami berbincang di taman depan kamar.


Dua sipir bergabung dengan kami. Bercengkrama. Penuh canda. Gerry minta tamping membelikan gorengan di kantin dan kopi. 


Begitu asyiknya siang itu kami berbincang ringan, hingga terdengar suara adzan Ashar dan pintu-pintu sel di Blok B dibuka. 


Ratusan orang berhamburan. Keluar kamarnya masing-masing. Menikmati alam sekitar rutan menjelang senja. Banyak yang menuju masjid, namun lebih banyak yang berjalan ke arah kantin dan wartelsus untuk menelepon keluarganya.


“Aku asharan dulu ya, Gerry,” kataku sambil berpamitan pada Gerry dan dua sipir.


“Silahkan, bang. Aku sebentar lagi juga balik ke kamar,” sahut Gerry.


Belum lagi sampai di depan kamar, Asnawi menghadang jalanku. Ia telah bawakan kain sarung dan kupluk haji pemberian pak Waras yang aku pakai setiap kali solat.


“Kita langsung ke masjid aja, Be,” ujar Asnawi, sambil memberikan sarung dan kuplukku.


Jamaahan ashar selesai, aku tidak langsung keluar masjid. Ingin merajut untaian doa terlebih dahulu. Lama aku berada di dalam masjid, dan tiba-tiba turun hujan deras. Diselingi dengan suara petir yang bersahutan. Menggelegar. 


Mendadak terbayang istri dan anak-anakku. Yang seringkali merasa takut jika petir menggelegar terus-menerus. Ku tundukkan wajahku. Menatap sajadah. Membayangkan wajah istriku Laksmi, dan anak-anakku: Bulan, dan Halilintar. 


Memohon Yang Maha Kuasa memberi perlindungan kepada mereka dari ganasnya kilatan petir dengan suara kerasnya, yang saat itu sampai menggetarkan kaca-kaca masjid tempatku berada.


Kekhusu’an berdoaku, mendadak tercerabut. Asnawi menepuk bahuku. Memberi isyarat untuk kami segera meninggalkan masjid. Mau tidak mau, aku pun menyudahi prosesi pengharapan. 


Dan berjalan mengikuti langkah Asnawi. Melipir melalui selasar yang memanjang, melewati sel AO, kantin, dan akhirnya sampai ke pintu depan Blok B.


Derasnya hujan yang disertai angin kencang, juga petir bersahutan di langit senja, membuat suasana rutan menjadi mencekam. 


Kompleks rumah tahanan negara yang cukup jauh dari perkampungan, menjadikannya bagaikan bangunan berdiri sendirian di tengah lapangan yang luas. Yang mudah menjadi sasaran petir mencari pelampiasan aliran listriknya yang sangat dahsyat.


“Maaf, Be. Tadi terpaksa aku ajak buru-buru balik ke kamar. Jujur, aku takut sama petir. Lagian, sering di rutan ini yang kesamber petir,” kata Asnawi, setelah kami di kamar dan berganti kaos karena terkena tampias air hujan.


“Emang pernah ada tahanan yang kesamber petir ya?” tanyaku.


“Katanya sih, pernah kejadian kayak gitu, Be. Badan tahanan itu sampai gosong dan akhirnya ninggal. Tapi dua bulan lalu, kata kawan-kawan disini, bagian belakang kantin yang kesamber petir,” jelas Asnawi.


“O gitu. Ada korban nggak waktu itu?” tanyaku lagi.


“Korban jiwa nggak ada. Cuma bagian bangunan belakang kantin aja yang habis kebakar,” lanjut Asnawi.


Meski hujan lebat, aku tetap mandi sore. Menjaga kesegaran dan kebersihan badan bagiku sangatlah penting. Dan setelahnya, aku duduk di atas kasur sambil membuka buku kecilku. Mencoba untuk menulis lagi. 


Namun, keinginan untuk kembali menulis catatan harian, terhalang. Asnawi tiba-tiba duduk didekatku, sambil membawa secangkir kopi pahit kesukaanku. 


“Hujan deres gini, enakan ngopi sambil ngobrol, Be. Biar badan tetep hangat,” kata Asnawi.


“Terimakasih kopinya, Nawi. Apa nih yang mau kamu obrolin,” ucapku, dan menyeruput kopi pahit. Yang memang langsung membuatku bersemangat.


“Babe inget nggak kultum pak Waras pagi tadi. Yang ngomongin, kalau kita mesti bisa jadi santri dan rutan ini sebagai pondok pesantrennya,” Asnawi memulai pembicaraan.


“Iya, inget. Emang kenapa, Nawi?” tanyaku. 


“Kayaknya aku kena karma deh, Be. Ceritanya, dulu waktu aku SMP, dimasukin pondok pesantren sama bapak,” kata dia.


“Oh gitu. Apa pengalamanmu waktu nyantri,” sahutku.


“Waktu itu, aku bener-bener stres, Be. Kamar tempatku tidur, kecil bener. Diisi enam orang. Nggak pakai kasur, cuma boleh pakai tiker. Bantalnya dari kayu yang tengahnya dilegokin, pas buat naruh kepala. Jadi nggak bisa miring kalau tidur. Cuma telentang. Saat itu, aku ngebayangin kayak hidup di penjara,” kata Asnawi, mengurai kisah hidupnya.


“Berapa lama kamu bertahan di pondok?” tanyaku lagi.


“Cuma seminggu, Be. Aku kabur. Pas waktunya para santri solat malem. Aku keluar pondok. Begitu bisa ngebuka gerbang depan dengan pelan-pelan, dan keluar kompleks, aku lari sekenceng-kencengnya,” lanjut dia.


“Berapa lama kamu lari waktu itu,” kataku. Mulai tertarik dengan cerita Asnawi.


“Ada kali satu jam, Be. Aku pokoknya terus lari, sambil nangis. Sampai akhirnya ketemu jalan besar. Jalan aspal. Aku ikuti jalanan itu. Pas subuh, aku sampai di terminal. Aku tidur di musollanya,” ujarnya lagi. Tampak Asnawi begitu mendalami kisah pelariannya tersebut. (bersambung)

LIPSUS