Oleh, Dalem Tehang
“GIMANA akhirnya kamu bisa sampai rumah?” tanyaku.
“Aku kan ketiduran di musolla, dibangunin penjaganya pas sudah siang. Ditanya dia asal-usulku dan kenapa sampai disitu. Aku ceritain apa adanya aja, Be. Alhamdulillah, penjaga musolla terminal itu baik. Aku diajaknya makan di warung. Dikasihnya uang buat naik bus, balik ke rumahku,” urai Asnawi. Suaranya tampak penuh keharuan.
“Terus, apa kata orangtuamu waktu kamu sampai rumah,” kataku. Makin penasaran dengan ceritanya.
“Waktu itu, sudah habis isya aku sampai rumah. Bapakku ketawa ngelihat aku pulang,” ucap Asnawi.
“Kok malah ketawa, apa maksudnya,” kataku lagi.
“Aku juga nggak tahu kenapa waktu itu bapak ketawa. Nggak tanya juga. Cuma sambil ketawa, bapak manggil aku. Begitu deket, aku dipeluknya. Aku tahu, dia nangis waktu meluk itu. Walau aku nggak lihat air matanya. Dan ada omongan dia yang kembali terngiang pas pak Waras kasih kultum tadi,” sambung Asnawi.
“Apa omongan itu?” ujarku, menyela.
“Waktu itu bapak bilang: kamu disuruh mondok di pesantren kok malah kabur, karena ngerasa kayak di penjara. Nanti, kamu bakal ngerasain mondok di penjara beneran. Gitu kata bapak waktu itu. Dan ternyata bener, aku mondok di penjara sekarang,” tutur Asnawi. Dan mendadak, ia menangis. Hingga sesenggukan.
Spontan, ku tepuk-tepuk bahu Asnawi. Mencoba menenangkannya. Memang, sebagian kisah hidup yang ia ceritakan begitu dahsyat kenyataannya. Namun, siapa makhluk yang bisa menepis takdir.
“Jangan kamu sedihi yang sudah terjadi, Nawi. Bapakmu nggak bermaksud doain kamu masuk penjara kayak gini kok,” ujarku.
“Tapi kenyataannya kan bener. Aku masuk penjara beneran,” tuturnya masih dengan menangis.
“Nurutku, bapakmu itu sangat bijak, Nawi. Ngelihat kamu kabur dari pesantren, dia malah ketawa. Aku coba pahami ketawa beliau saat itu,” kataku.
“Apa jadi maksud bapak ketawa waktu itu nurut Babe?” tanya Asnawi seraya mengangkat wajahnya, dan menatapku serius.
“Ngelihat kamu kabur itu, bapakmu nggak ngarepin kesempurnaan sama kamu, Nawi. Tapi keistimewaan. Dan kamu bisa buktiin kalau kamu emang istimewa. Bisa jadi santri dan rutan sebagai pesantrennya. Bukan mondok di pesantren kayak orang-orang kebanyakan,” kataku, terus mencoba menenangkan kap kamar 8 penaling yang tengah terbawa pada cerita pilu masa lalunya.
Perlahan, Asnawi bisa mengendalikan dirinya lagi. Sambil menghisap rokok ditangannya, tampak ia berusaha sekuat tenaga untuk secepatnya kembali menjaga keseimbangan jiwa dan pikirannya.
“Maaf ya, Be. Aku jadi melo karena cerita tadi,” ujar Asnawi, beberapa saat kemudian.
“Aku paham gimana perasaanmu, Nawi. Hidup kan emang penuh warna. Nggak ada yang abadi. Baik itu bahagia ataupun duka. Ada saatnya kita akan sampai di titik ngetawain rasa yang dulu penuh duka, atau menangisi yang dulu indah,” kataku, sambil tersenyum.
“Makanya, waktu pak Waras ngomong tadi, hatiku langsung nyesek bener. Terngiang lagi omongan bapak beberapa puluh tahun silam. Ternyata, sebagai orang tua, kita mesti hati-hati kalau ngomong ya, Be. Salah-salah malah jadi doa,” ujar Asnawi. Kali ini ada senyum kecil ia tunjukkan.
“Yang sudah, jangan diinget-inget ya, Nawi. Apalagi yang ngebuat hati nggak nyaman. Singkirin jauh-jauh. Mantepin aja hati dan pikiran kita, buat jadiin rutan ini sebagai pondok pesantren dan kita santrinya. Seperti kata pak Waras,” lanjutku.
Suara mengaji terdengar dari masjid di dalam kompleks rutan. Pertanda sebentar lagi adzan dan waktunya solat Maghrib. Aku wudhu duluan, diikuti Asnawi, dan beberapa penghuni kamar.
Untuk pertama kalinya, aku menjadi imam solat berjamaah sejak di rutan. Karena pak Waras, pak Anas, dan kawan-kawan yang mengikuti sidang, belum kembali ke kamar.
Tepat saat kami sedang solat Isya berjamaah dan aku kembali mengimami, pak Waras dan kawan-kawan masuk ke kamar.
Bergantian, mereka ke kamar mandi. Mengganti pakaian yang basah kuyup terkena air hujan, yang masih terus mengucur ditumpahkan dari langit.
“Kok sampai malem gini baru balik, pak,” tanyaku pada pak Waras yang telah memakai kain sarung dan duduk di bidangnya sambil menyeruput teh manis kesukaannya.
“Tadi yang sidang banyak bener, Be. Hampir 50 orang. Mulainya juga sudah mau ashar. Biasalah, molor dari jadwal. Balik dari pengadilan sudah jam 17-an. Nyampe sini kan pemeriksaannya lama. Lebih setengah jam sendiri. Mana hujan pula,” ujar pak Waras.
“Tapi sidang pak Waras lancar ya,” lanjutku.
“Alhamdulillah. Cuma 15 menit. Jaksa nyampein tuntutannya aja. Sidang dilanjutin minggu depan, dengerin putusan majelis,” kata pak Waras lagi.
“Aku yang ditunda sidangnya, Be,” tiba-tiba pak Anas menyela.
“Lha, kenapa emangnya, pak?” tanyaku.
“Ketua majelis hakimnya nggak dateng. Katanya lagi ada rapat. Padahal, rapatnya ya di kantor pengadilan itulah,” ujar pak Anas.
“Tadi aku bilang ke pak Anas waktu di mobil, kalau sidangnya ditunda itu ada maksudnya,” kata pak Waras, menimpali.
“Emang maksudnya apa ya, pak?” tanyaku sambil menatap pak Waras.
“Kalau ditunda itu bagi kita-kita yang sudah biasa ikut sidang, artinya tunggu dana, Be. Tunda itu istilah lain dari tunggu dana,” kata pak Waras lagi, dan tertawa ngakak.
“Emang gitu ya, pak Anas,” ucapku. Dan melihat ke pak Anas.
“Nggak tahu aku, Be. Yang pasti, ini sudah ketiga kalinya sidangku ditunda. Kalau emang bener kata pak Waras, tunda itu tunggu dana, mau berapa puluh kali ditunda juga, nggak ngaruh buatku, Be. Mana bisa aku ngasih dana kayak orang-orang, biar hukumannya dikecilin. Buat makan disini aja aku nggak punya. Bersyukur aku masuk kamar ini. Kawan-kawan penuh pengertian,” urai pak Anas panjang lebar, dengan nada sedih.
Aku langsung terdiam. Memahami benar kondisi pak Anas sebagaimana diceritakan Asnawi. Di tengah perbincangan ringan yang memang tidak memerlukan kesimpulan itu, OD menyiapkan makan malam.
Ditemani hujan yang masih mengucur deras dari langit, kami menikmati makanan dengan hati senang. Karena kesenangan itulah yang membuat perut terasa kenyang.
Tengah asyik menikmati makan malam dari catering dapur rutan, tiba-tiba Aris berdiri di depan jeruji besi. Didampingi seorang sipir.
“Be, bisa ganggu makannya sebentar,” kata Aris dengan wajah serius.
Tanpa mencuci tangan, aku langsung mendekat ke jeruji besi. Aris memintaku menemaninya. Ia dipanggil kepala rutan.
“Emang bisa ditemenin, Ris? Nanti malah salah kalau nggak ada petunjuk,” kataku.
“Nggak apa-apa ya, pak. Kan Babe ini kakak angkatku,” ujar Aris, sambil menatap sipir yang menjemputnya di kamar 12 penaling.
Sipir itu hanya mengangkat bahunya. Pertanda ia tidak bisa memutuskan.
“Sudahlah, kamu sendiri aja. Emangnya ada apa kamu malem-malem gini dipanggil kepala rutan?” tanyaku pada Aris.
“Katanya ada berita penting, Be. Nyangkut keluargaku,” sahut Aris.
“Gini aja, Ris. Kamu temui aja dulu kepala rutan. Nanti bilang ke beliau, bisa nggak aku temenin. Kalau bisa, susul aja aku,” ujarku.
Akhirnya, Aris bergerak. Berjalan menuju kantor rutan didampingi sipir. Ditengah hujan yang masih cukup deras dan suara petir yang bersahutan.
“Ada apa ya sama Aris, Be? Kok kayaknya penting bener. Sampai malem-malem dipanggil. Kepala rutan pula yang manggilnya,” ucap Asnawi setelah aku duduk kembali. Melanjutkan makan malam.
“Nggak tahu persis juga aku, Wi. Aris juga belum tahu ada apa. Kita tunggu aja perkembangannya,” sahutku, seraya memulai memasukkan nasi dengan lauk sepertiga kuning telor dan sambel terasi.
Seusai makan malam, aku buka Alqur’an. Kembali membaca ayat-ayat suci dan setiap satu ayat, ku pahami maknanya. Sekitar satu jam aku nikmati tatanan kehidupan yang digariskan Yang Maha Agung itu.
Ada damai merayapi sukmaku. Ada ketenangan menjalar pelan di sendi tubuhku. Ada kepasrahan dan pengakuan akan kenisbian. Meruntuhkan segala kesombongan. (bersambung)