Oleh, Dalem Tehang
“BABE, sini sebentar,” tiba-tiba suara Aris menggelegar. Ia setengah berteriak dari balik jeruji besi.
Aku mendekat. Tampak ia menangis. Sontak, tangannya merangkulku. Erat. Berbatas jeruji besi. Ku pandangi sipir yang menemaninya. Ia hanya mengangkat bahu.
“Kenapa kamu nangis, Ris?” tanyaku, pelan. Seraya mengelus kepalanya.
“Istriku kecelakaan, Be. Sekarang kritis. Di rumah sakit. Tadi adik ipar sama anak-anakku kesini. Nemuin kepala rutan. Minta izin untuk aku bisa ngelihat istriku walau sebentar,” ucap Aris mengurai, sambil terus menangis.
“Subhanallah. Terus gimana? Bisa kamu ngelihat istrimu ke rumah sakit?” tanyaku, beberapa saat kemudian.
“Bisa, Be. Tapi ada dua syaratnya. Pertama, ada petugas disini yang ngejamin, dan kedua ya harus keluar uang, Be. Cukup besar dananya. Karena harus ada pengawalan. Bukan cuma internal, tapi juga dari polisi,” sahut Aris.
“0 gitu? Terus apa masalahnya?” tanyaku lagi.
“Kalau dananya, adikku sudah siapin, Be. Cuma petugas disini yang ngejamin, aku nggak punya kawan deket petugas pengamanan disini,” lanjutnya.
Spontan, aku minta bantuan sipir yang mendampingi Aris. Untuk menghubungi melalui telepon, komandan pengamanan yang sejak awal membantuku.
Hubungan telepon tersambung, aku sampaikan persoalan yang tengah dihadapi Aris. Termasuk ku ceritakan kedekatanku dengan mantan anggota Dewan yang Terhormat ini, sejak di tahanan polres.
“Siap, pak. Segera saya ke rutan. Tunggu ya. Paling lama 30 menit saya sampai. Nanti saya urus,” ujar komandan pengamanan tersebut. Dan langsung mematikan telepon selulernya.
“Alhamdulillah. Ada jalan keluarnya, Ris. Tunggu aja. Kamu yang tenang ya,” kataku pada Aris seraya menepuk-nepuk bahunya.
Aris kembali ke kamarnya, 12. Satu deretan dengan posisi kamarku. Hanya berjarak empat kamar saja.
Sepeninggal Aris, ku tundukkan wajah. Masih di depan jeruji besi. Mengucap syukur pada Ilahi dari dalam hati. Begitu banyak rejeki yang diberi-Nya dan melalui sesuatu yang tidak disangka-sangka. Seperti janji-Nya.
“Aris kenapa, Be?” tanya Asnawi saat aku telah kembali duduk di kasur.
Sekilas ku ceritakan apa yang tengah dihadapi Aris. Termasuk jalan keluarnya. Tinggal menunggu komandan pengamanan yang dekat denganku datang, ia bisa membesuk istrinya yang sedang kritis di rumah sakit.
“Ada-ada aja ya cobaan hidup ini. Sudah di penjara juga, cobaan masih aja dateng,” kata Asnawi, setengah mengeluh.
“Kap, kata seorang alim, tidak akan pernah habis cobaan di dunia. Maka, bungkuslah dirimu dengan sabar dan doa. Dan berpeganglah pada kata-kata ini: sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan,” pak Waras tiba-tiba menyahuti perkataan Asnawi.
“Oh iya, pak Waras. Saya tadi ngeluh karena ngebayangin apa yang lagi dirasain Aris. Jadi gitu ya, pak. Bersama kesulitan ada kemudahan,” kata Asnawi kemudian.
“Ya nggak apa-apa sesekali ngeluh, kap. Manusiawi sekali itu. Bohong besar kalau kita nggak pernah sama sekali ngeluh. Sekuat apapun iman kita, tawadhu kita, pasti ada saatnya kita ngeluh. Cuma ya tadi, langsung kita tutup keluhan dengan keyakinan, kalau bersama kesulitan ada kemudahan,” tutur pak Waras dengan pelan.
“Buktinya bersama kesulitan ada kemudahan dalam urusan Aris ini apa, pak?” tanya Asnawi, penasaran.
“Lha tadi. Kan dia nggak ada yang bisa ngejamin. Pas ngomong sama Babe, ada jalan keluarnya. Itu Allah yang ngatur. Cuma lewat Babe aja. Kenapa bukan sipir yang dampingi Aris aja yang ngejamin, kan dia emang ngawal dan tahu masalahnya. Karena Allah ngasih jalannya lewat Babe. Nggak sampai disitu, Babe juga minta bantu sipir lain. Ini sudah alurnya,” urai pak Waras.
“Nah, kenapa harus lewat Babe, kok nggak sipir tadi aja yang maju,” kata Asnawi lagi.
“Nggak tahu aku kenapa gitu. Barangkali, ini barangkali ya, karena kedekatan Aris sama Babe selama ini. Hati mereka sama-sama bersih dalam bersahabat. Juga komandan yang dimintai bantuan sama Babe, punya hati baik juga. Jadi, bersama kesulitan ada kemudahan itu jalannya seimbang, kap. Yang terlibat juga pasti setara, entah hatinya, niatnya, atau apapun itu,” sambung pak Waras.
Tampak Asnawi mengangguk-anggukkan kepalanya. Mencoba memahami rangkaian kata penuh makna yang disampaikan pak Waras.
Beberapa penghuni kamar memberi isyarat, ingin menghibur diri dengan bernyanyi. Asnawi menganggukkan kepalanya. Maka, berdendanglah beberapa tahanan berusia 30 tahunan dengan asyiknya.
Diiringi gendangan dari galon air mineral dan suara sendok yang dipukul-pukulkan ke lantai. Jadilah alunan musik tersendiri, yang tidak jelas masuk dalam kriteria genre musik apa. Yang penting, suara fals para tahanan ditingkahi tetabuhan, meski tidak enak didengar telinga yang biasa menikmati senandung musik sebenarnya.
Sambil menikmati nyanyian fals kawan sekamar, ku rebahkan badan. Meluruskan tubuh di atas kasur besar dan tebal yang dibawakan Gerry.
Dan setiap kali ku merebahkan badan sambil menatap langit-langit kamar, pikiran langsung melayang. Pulang ke rumah. Membayangkan istri dan anak-anakku. Sedang apakah mereka, bagaimana kondisi mereka. Serta banyak pertanyaan lain yang bermunculan dengan bersusulan dalam pikiranku.
Perlamunanku yang begitu asyik, mendadak terputus begitu saja. Saat suara Aris memanggilku. Dari balik jeruji besi. Ku tengokkan wajah. Ternyata ia bersama komandan pengamanan yang tadi aku hubungi melalui telepon seluler sipir yang mengawa Aris.
Buru-buru aku bangun dari tempat tidur dan mendekat ke jeruji besi. Aku salami komandan pengamanan sambil menyampaikan terimakasih atas kesediaannya membantu Aris.
“Pak Mario ikut ngawal pak Aris juga. Saya sudah izin kepala rutan dan diperkenankan,” kata komandan pengamanan itu, sambil tersenyum.
“Iya, Be. Temeni aku ya. Ayo buruan. Cuma dikasih waktu dua jam aja keluar rutan,” kata Aris dengan wajah serius.
Ku tengokkan wajah. Memandangi Asnawi, pak Waras, pak Anas, dan beberapa penghuni kamar lainnya, yang mendengar pembicaraan kami. Mereka semua menganggukkan kepala.
“Oke, siap. Tapi saya ganti pakaian dulu,” ujarku.
Buru-buru aku melepas kain sarung dan menggantinya dengan celana training. Juga memakai kaos bertuliskan WBP. Warga Binaan Pemasyarakatan. Seperti yang dipakai Aris.
Setelah melalui pemeriksaan di tiga pos pengamanan, kami pun keluar rutan. Didampingi dua sipir dan dua anggota Polri yang membawa senjata laras panjang. Juga komandan pengamanan rutan sebagai penjamin.
Menaiki kendaraan pribadi komandan pengamanan rutan, kami meluncur cepat menuju rumah sakit tempat istri Aris dirawat.
Setelah melalui perjalanan lebih dari 40 menitan, kami sampai di rumah sakit. Adik dan anak-anak Aris tampak menunggu di depan pintu masuk ruang UGD. Tanpa menyapa mereka, Aris berlari masuk ke tempat perawatan darurat itu.
Aris langsung menangis kencang begitu melihat kondisi istrinya. Wajahnya penuh perban. Tangan kanan dan kaki kanannya patah. Nafasnya tampak amat lemah.
Kedua anak kembarnya, memeluk erat badan Aris. Juga menangis. Aku ambilkan kursi, dan meminta Aris duduk. Tepat di sebelah tempat istrinya tengah menjalani perawatan.
“Sabar, Ris. Doain aja. Jangan kamu tangisi,” bisikku pelan ke telinga Aris.
Aku pegang kedua bahu Aris, sementara kedua anak gadis kembarnya berada di sebelah kanan dan kiri bapaknya. Terus memeluk sambil menangis.
Adik ipar Aris menepuk bahuku. Mengajakku bicara. Aku beringsut dari tempat Aris.
“Terimakasih bantuannya, bang. Tolong kuatin kak Aris ya. Menurut dokter, ayuk sulit diselamatkan, karena tulang iganya patah dan menusuk jantungnya,” ucap adik ipar Aris seraya menghapus air matanya.
Aku mengatupkan kedua mataku. Merasakan betapa kritisnya kondisi istri Aris.
“Kita semua berdoa aja ya. Allah yang ngatur semuanya, apalagi soal ajal. Inshaallah, aku bisa dampingi Aris ke depannya,” kataku kemudian. (bersambung)