Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 146)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Kamis, 26 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


GERRY mendorongku untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun aku ragu, karena nominalnya sangat tinggi. Rp 15 juta. 


“Saya belum bisa memutuskan, pak. Nanti saya bicarakan dulu dengan istri,” ujarku. 


Spontan, pegawai rutan itu mengeluarkan telepon seluler dari kantong bajunya. Menyerahkan kepadaku, untuk menghubungi istriku.


Ku telepon istriku. Setelah tiga kali panggilan tidak terjawab, baru pada panggilan yang keempat, terdengar suara dari seberang.


“Bunda, ini ayah. Bunda lagi dimana. Bisa ke rutan sekarang apa nggak,” kataku.


“Bunda masih di jalan. Habis hadir acara resepsi ponakan kita. Iya bisa, kebetulan masih di jalan. Dan ini juga ditemeni Halilintar. Nanti sampai depan rutan, bunda telepon ke nomor ini ya,” sahut istriku, terburu-buru.


Sekira 30 menit kemudian, telepon seluler pria petinggi rutan, berdering. Ku lihat, nomor hp istriku.


“Ibu tunggu di depan pintu gerbang utama ya, saya kesitu,” kata dia begitu telepon tersambung. 


“Saran Gerry, ambil aja tawaran ini, bang. Abang bisa lebih enjoy. Bebas keluar kamar kapan aja. Kalau abang oke, nanti ditempatin di kamar for man,” ucap Gerry, saat kami tinggal berdua di ruangan karena petinggi rutan tengah menjemput istriku di gerbang utama.


“Apa maksudnya kamar for man itu, Gerry?” tanyaku.


“Maksudnya kamar kepala blok, bang. Isinya cuma kepala blok, pemegang kunci kamar, dan satu orang OD. Kalau ditambah abang, jadi empat orang. Kamar ini sejak pagi sudah dibuka, dan kalau malem baru dikunci. Jadi abang bebas keluar kapan aja,” lanjut Gerry.


“Kenapa bukan kamu aja yang ke kamar for man itu, Gerry,” kataku.


“Nggak bisa, bang. Aku kan kasus narkoba. Tahanan dan napi narkoba tempatnya khusus, di Blok A. Kalau Blok B buat yang kena kasus kriminal umum dan tipikor. Kayak abang, kan kriminal umum. Blok C buat yang masih sidang,” urai Gerry.


“Tapi banyak di Blok B yang masih sidang lo, Gerry. Di kamarku ada beberapa yang lagi sidang,” tanggapku.


“Itu karena kamar di Blok C sudah penuh sesak, bang. Maka dimasukin ke Blok B. Lagian, sel penaling emang adanya di blok itu, jadi nggak nyalahin aturan disini,” jelas Gerry lagi.


Pintu ruangan dibuka. Pejabat rutan masuk, diikuti istriku Laksmi dan anak bungsuku, Halilintar. Aku langsung berdiri. Memeluk erat istri dan cah ragilku. Cukup lama kami bertiga berpelukan.


Setelah kami bertiga duduk, dengan posisi aku di tengah, istriku di sebelah kanan, dan Halilintar di sebelah kiri, petinggi rutan meminta Gerry keluar ruangan. Menunggu di luar.


Melalui penjelasan panjang lebar yang intinya ia bersedia membantu menempatkanku di kamar yang lebih layak, pegawai rutan itu meminta kepastian akan kesiapan kami. 


“Saya siapnya paling tinggi 10. Tapi konsisten ya, pak. Saya ingin ada jaminan keamanan, kenyamanan, dan suami saya bisa solat ke masjid kapan dia ingin ke masjid,” ujar istriku sambil memandang pejabat rutan, dengan wajah serius.


Petinggi rutan itu mengangguk. Pasti. Dan setelah itu, ia keluar ruangan. Memberi kesempatan buatku untuk bersama istri dan anakku. Kami pun bebas bercengkrama.  


“Besar bener dananya itu, bunda. Gimana nanti nyarinya,” kataku sambil terus memeluk istriku.


“Inshaallah tetep ada jalan keluarnya. Ayah nggak usah mikir yang berat-berat ya. Jalani aja semua ini dengan sabar dan ikhlas, juga terus deketin diri sama Tuhan. Yakin, Allah itu maha kaya dan maha kuat,” sahut istriku dengan suara tegas.


“Nanti bunda timbang lagi ya. Ayah nggak apa-apa kok di kamar yang sekarang juga. Kebetulan kap kamarnya emang sudah kenal sejak di polres dulu,” kataku lagi.


“Iya, nanti bunda pasti konsultasi sama Laksa. Juga tanya kawan-kawan yang paham dunia penjara. Toh, nggak langsung kasih uangnya sekarang,” jawab istriku. Tampak ia terus berusaha keras untuk membuatku tetap tenang.


Ku peluk Halilintar. Ku rengkuh badannya. Tampak ia sangat tidak nyaman. Aku memahami betapa kegamangan melanda jiwanya. 


Apalagi masuk ke dalam kompleks rumah tahanan. Yang auranya memang mencekam. Banyak kekuatan magis yang tampaknya ditanam di seputaran buminya.


“Maafin ayah sudah buatmu nggak nyaman yo, le. Pesen ayah, terus terangi hatimu dengan kesabaran dan ketenangan. Dan jangan pernah ngerasa lemah juga sedih hati, karena ayah di dalam rutan kayak gini,” ucapku dengan pelan kepada Halilintar yang terus dalam pelukan.


Anak bungsuku mengangguk. Seulas senyum ia berikan buatku. Semilir rasa damai mendadak merasuk ke jiwaku. Makin kencang pelukanku. Mencoba meredakan gelombang nan menderu pada jiwanya.  


Tidak berselang lama, petinggi rutan yang telah bersepakat tadi, masuk kembali ke ruangan. Dan menyampaikan, bila pertemuan kami mesti segera diakhiri.


Akhirnya, setelah sekitar satu jam bersama di hari libur itu, kami pun berpisah. Ku antar istri dan cah ragilku sampai ke pintu gerbang utama, dengan didampingi petinggi rutan.


“Besok pagi inshaallah bunda dateng lagi. Ayah mau dibawain makanan apa,” kata istriku, sesaat sebelum keluar pintu gerbang utama.


“Terserah bunda aja. Jangan lupa bawain jam tangan, cincin kawin dan cincin lainnya ya. Juga celana jeans dan jaket,” sahutku. 


Dan tepat di pintu gerbang utama, kembali ku peluk istri dan cah ragilku. Ku pandangi mereka sampai naik ke kendaraannya. Untuk kembali ke rumah. Beberapa saat kemudian, aku bersama Gerry berjalan masuk ke arah kamar masing-masing. 


Begitu pintu kamar dibuka oleh petugas piket, ku lihat kawan-kawan  baru selesai menikmati makan siang. Hanya Asnawi dan pak Waras yang masih duduk santai di bidangnya masing-masing. 


Aku tahu, keduanya menungguku. Karena kami bertiga memang makan di dalam satu boks dari catering dapur rutan.


“Maaf, jadi nunda makannya karena aku kelamaan di luar,” kataku begitu duduk melingkar bertiga, untuk makan siang.


“Nggak apa-apalah, be. Belum sampai ashar ini,” sahut Asnawi seraya tertawa.  


Seusai makan siang, sambil merebahkan badan di bidangnya tepat di samping tempatku, Asnawi menanyakan kenapa Gerry mengajakku ke kantor rutan.


“Ngobrol-ngobrol aja. Kebetulan pegawai itu kenal baik sama Gerry sejak dulu. Ya, biar aku kenal aja, Nawi. Namanya kita ada di dalem kayak gini. Kan perlu kenal juga sama yang tugas disini,” kataku, dengan enteng.


“O gitu. Kirain Babe ditawarin kamar yang lebih baik dan harus bayar gede. Cermat-cermat lo disini, be. Ada istilah, di penjara itu punya gunung juga bisa habis, bahkan sampai ngeruk ke dalam tanahnya, kalau kita sok borju. Tapi nggak bisa juga pelit-pelit banget. Jadi, ya biasa-biasa aja. Yang penting, kebutuhan makan dan keperluan kamar bisa diatasi,” ucap Asnawi.


Aku terdiam. Meski tidak bermaksud menyindir, namun aku merasa apa yang disampaikan Asnawi tersebut baru saja menjeratku. 


“Emang ada ya pegawai yang ngejebak tahanan dengan iming-iming kamar bagus dengan bayaran tinggi itu, Nawi,” sahutku, beberapa saat kemudian.


“Banyaklah, be. Maka aku ingetin Babe. Tapi kalau ngelihat petugas yang bantu Babe sejak masuk sini, kayaknya nggak ada yang berani nawarin macem-macem. Kalau pun nantinya Babe pindah kamar, ya sekadar ada uang terimakasih aja,” lanjut Asnawi.


“Biasanya berapaan itu dananya buat masuk ke kamar yang lebih baik dan sedikit orangnya ya,” tanyaku, penasaran.


“Rata-rata sih sampai Rp 20 jutaan, be. Tapi ya tergantung negonya juga. Emang banyak aja tahanan yang mau. Apalagi yang masih mau sidang. Mereka kan perlu ketenangan. Yang susah itu ngejaga tetep stabilnya jiwa dan pikiran kita, be. Jadi milih kamar yang lebih nyaman, emang wajar-wajar aja,” kata Asnawi lagi.


Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Waktunya bagi para tahanan untuk keluar. Menikmati kebebasan di luar kamar. Bersamaan, terdengar suara adzan Ashar. 


Pak Waras menatapku. Melalui sorot matanya, aku paham jika ia mengajakku untuk ke masjid. Segera ku ambil kain sarung dan kupluk khas haji. Dan berjalan bersamaan, menuju rumah Allah.


Selepas solat dan berdoa, tepat saat aku akan keluar masjid, ku lihat Aris masih duduk tepekur di sudut kiri. Ia begitu konsentrasi. Dengan mata yang menutup, ku lihat mulutnya terus bergerak. Menguntai doa kepada Yang Maha Segalanya.


Ku tunggu Aris di tangga masjid. Hingga sekitar 15 menit kemudian, ia berdiri dan berjalan ke arahku. Begitu melihatku, ia mempercepat jalannya. Dan langsung memelukku. 


“Tolong doain istriku ya, be. Aku sudah pasrah. Tadi ku sampaikan kepada Allah, apapun takdir buat istriku, aku cuma minta yang terbaik,” kata Aris kemudian.


“Sudah bener apa yang kamu lakuin, Ris. Pasrahin semuanya pada kehendak Allah. Dengan keikhlasanmu itu, Allah pasti akan beri yang terbaik,” sahutku dengan memegang pundaknya.


Sambil berjalan untuk kembali ke kamar, Aris memintaku untuk membacakan surah yasin untuk istrinya, selepas solat Maghrib nanti malam. Ia meyakini benar, hanya keajaiban yang mampu menyelamatkan nyawa istrinya. Dan yang punya keajaiban itu hanya Allah Robbul Izzati. (bersambung)

LIPSUS