Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 147)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Jumat, 27 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang


SEUSAI mandi sore, aku memilih mengisi waktu dengan kembali membaca Alqur’an. Perlahan. Aku mencoba memahami arti dari setiap ayatnya. Ada kenikmatan tersendiri yang menyusup ke dalam hati. 


Sementara, suasana di sepanjang selasar depan kamar penaling, riuh oleh perbincangan penuh canda tawa para tahanan yang tengah memanfaatkan waktu di luar selnya. 


Sampai suara mengaji dari masjid menggema menjelang adzan Maghrib, baru aku hentikan kegiatan membaca kitab suci. Sambil menunggu panggilan solat, aku melanjutkan kegiatan dengan menulis di buku yang memang selalu ada di dalam tas kainku. Banyak ungkapan jiwa tertoreh disana. 


Dan ternyata, melalui tulisan itulah terekspresikan apa yang tengah menggelayut di dada. Yang kemudian, pelan tapi pasti, membuat jiwa menjadi terasa ringan. Serta senyuman adalah penghias keindahan pada kehidupan yang penuh keterbatasan.


Sesuai permintaan Aris, selepas solat jamaah Maghrib, aku pun membacakan surah yasin untuk istrinya yang tengah dalam kondisi kritis. Sebuah lantunan doa melengkapi ikhtiarku saat itu. Dan kemudian, menyerahkan sepenuhnya hakekat kehidupan kepada Sang Pemilik Kehidupan. Allah azza wa jalla.


Setelah solat Isya berjamaah dan makan malam, pak Waras dan pak Anas mendekat ke tempatku duduk. Paling sudut kamar 8 penaling. 


Aku merasa nyaman berbincang dengan mereka. Mungkin, karena usia kami tidak jauh berbeda. Apalagi, keduanya memang memiliki pengetahuan dan pengalaman kehidupan serta keagamaan yang lebih dariku. Sehingga aku merasa banyak mendapatkan ilmu.


“Aku kagum sama pak Waras dan pak Anas. Badan tetep berisi dan wajah selalu ceria, serta nunjukin ketenangan yang luar biasa. Padahal, kita hidup di alam yang kata kawan-kawan, dunia dalam dunia,” kataku, dengan memandang keduanya.


“Sebenernya, ya nggak setegar itu juga kami ini, Be. Batin kami juga nangis. Bahkan, kalau bisa kedengeran, raungannya sampai keluar tembok rutan. Tapi buat apa kesusahan itu kita pertontonin. Toh, seribu lebih orang di dalam sini, juga mengalami hal yang sama,” jawab pak Waras dengan nada datar.


“Bener yang disampein pak Waras itu, Be. Kami ini nggak setenang yang dilihat. Cuma bedanya, hati kami sudah ikhlas jalani kondisi apapun. Jadi, diluaran kami kelihatannya seneng-seneng aja,” pak Anas menyambung.


“Nah, buat bisa ikhlas itu yang nggak mudah, pak,” ucapku, menyela.


“Semua kan perlu waktu, Be. Yang penting disadari, kita ini seperti orang jalan di tempat yang banyak durinya, hingga memaksa kita untuk selalu berhati-hati. Juga, jangan remehin dosa-dosa kecil, karena sebuah gunung asalnya dari kerikil-kerikil kecil. Dari mahami yang sederhana ini, inshaallah pelan tapi pasti, Babe bisa sampai ke pintu nikmat keikhlasan,” tutur pak Anas, dengan wajah serius.


“Buatku amat berat untuk bisa sabar apalagi ikhlas itu, pak. Jujur ini,” tanggapku. Dengan cepat.


“Jangan bilang berat apalagi nggak sanggup ya, Be. Nggak ada ujian apapun di dunia ini yang lebihi kemampuan kita ngatasinya. Percaya aja itu, dan ini janji Allah. Bukan pendapatku,” pak Waras, menyela. 


“Jadi, menurut pak Waras dan pak Anas, apa yang harus ku lakuin biar bisa tenang dan ngerasa nyaman,” kataku lagi, dengan serius.


“Perbanyak ibadah aja, Be. Ukurannya bukan cuma solat lo. Tapi juga baca qur’an, atau wirid. Di dalam hati aja. Nggak harus duduk di sajadah. Akui semua dosa dan kesalahan sama Allah. Pasrahin lahir batin kita secara total. Nanti urusan dunia, ngalir dengan sendirinya,” kata pak Anas.


“Dan satu lagi, Be. Nggak usah ngopeni urusan yang bukan masalah kita. Nggak usah ngomongin yang nggak ada manfaat buat kita. Tetep jadi diri sendiri, jangan ganti casing karakter kita cuma buat disenengin atau nyenengin orang. Nggak ada gunanya itu semua, malah ngelelahin batin aja,” pak Waras menambahkan.


Tiba-tiba, terdengar suara pertengkaran dari sudut kamar bagian bawah. Tahanan muda usia yang tersangkut kasus pencurian, berbeda pendapat dengan tahanan lain yang terkena kasus lakalantas. Tidak hanya mulut yang bicara. Mendadak, baku pukul pun terjadi. 


Asnawi langsung memisah kedua tahanan tersebut. Pun beberapa yang lain. Meski sudah dijauhkan tempat mereka masing-masing, untuk meredakan emosi yang sedang tidak terkendali, kedua tahanan berusia muda itu tampak masih sama-sama ingin melampiaskan kesalnya.


“Diadu aja sekalian, Nawi,” ujarku tiba-tiba, dengan suara lantang. 


Spontan aku meminta semua tahanan yang ada di lantai bawah untuk naik ke lantai atas. Meninggalkan kedua tahanan yang baru saja terlibat perkelahian. 


“Ayo, lanjutin berantemnya. Kami semua jadi penonton. Jangan berhenti sampai ada yang kalah dan menang. Nanti yang menang, kami tamparin, dan yang kalah, kami tendangin,” kataku, sambil berdiri di antara kedua tahanan itu.


Kedua anak muda itu hanya terdiam. Perlahan, sorot mata penuh amarah mereka, mulai meredup. Beberapa saat kemudian, keduanya saling mendekat. Bersalaman dan berangkulan.


“Maaf kawan-kawan semua. Kami nggak berantem lagi,” ucap salah satunya.


Dan keduanya pun mendekati semua penghuni kamar. Menyalami kami satu persatu sambil meminta maaf, karena telah mengganggu ketenangan kamar dan berbuat yang melanggar aturan rutan. Ada perilaku jantan untuk mengakhiri pertikaian. 


“Jangan ada lagi yang berantem di kamar ini ya. Kalau masih kejadian lagi, aku laporin ke sipir. Biar kalian dibagal di pos. Digebukin pakai buntut sapi dan dimasukin ke straffcell,” kata Asnawi dengan tegas.


Perlahan, suasana kamar yang sebelumnya sempat tegang, kembali mencair. Pak Waras dan pak Anas telah duduk di bidang tempatnya. Aku pun ke kasurku. Merebahkan badan. Dan tidak lama kemudian, tertidur. 


Tepat saat suara adzan Subuh memecah kesunyian malam, aku terbangun. Melek begitu saja. Seakan ada yang membangunkan dari tidur lelapku. Di sebelah kananku, Asnawi masih nyenyak dalam buaian mimpinya. 


Saat aku duduk, tampak pak Anas dan pak Waras tengah tepekur di atas sajadah masing-masing. Mereka menikmati sepertiga malam hingga subuh menjelang, dengan merajut cinta kepada Sang Maha Kuasa. Sementara penghuni kamar lainnya, masih terlelap dalam tidurnya.


Setelah mengambil air wudhu, aku sempat solat sunah dua rokaat. Dan kemudian mengikuti jamaahan subuh, dan seperti hari-hari sebelumnya, pak Waras memberi kultum setelah kami subuhan.


Pria berusia 60 tahun itu mengingatkan, agar kami tetap memiliki kepercayaan diri, karena hal tersebut merupakan landasan untuk mencapai keberhasilan. 


“Kalau kita mau sukses, harus yakin dengan kemampuan diri sendiri. Apalagi saat tidak ada seorang pun yang mempercayai kita, karena kita sedang di penjara atau bahkan sebagai narapidana,” tutur pak Waras dengan suara bergetar.


Ia menambahkan, sesungguhnya segala penderitaan saat ini berasal dari uap, debu, dan angin keangkuhan kita sendiri. Karena itu, jangan lagi pernah mematikan cahaya orang lain, atau juga merendahkan orang lain.


“Kita semua mesti ingat, mematikan cahaya orang lain itu tidak akan membuat kita menjadi terang, sebaliknya akan membuat semakin gelap. Dan merendahkan orang lain juga, tidak akan membuat kita lebih tinggi, tapi justru membuat semakin rendah,” imbuh pak Waras.


Dengan kepiawaiannya mengolah kata, pak Waras terus menyemangati kami. Bahkan ia menegaskan, jangan pernah menganggap hidup di rutan adalah tinggal di penjara. 


“Seorang ulama besar pernah menyampaikan, yang terpenjara adalah orang yang dihalangi hatinya dari Allah, sedang tawanan adalah orang yang ditawan hatinya oleh hawa nafsu. Kita tidak seperti itu. Kita tetep ingat dengan Allah dan bisa mengendalikan hawa nafsu kita. Jadi, di rutan ini untuk membersihkan semua dosa-dosa kita, mendekat kepada Allah, dan terbebas dari hawa nafsu yang menyesatkan,” urainya lagi. 


Pak Waras menutup kultumnya dengan menukil arti dari surah Al-Baqarah ayat 216: “boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyenangi sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”     


“Jadi, kita tetep wajib bersyukur atas nikmat Allah yang menepikan kita dari keramaian dunia dengan cara memasukkan ke rutan ini. Karena takdir Allah itu pasti baik dan indah. Walau terkadang, kita harus menumpahkan air mata dan merasakan kehinaan dalam menjalaninya,” tuturnya lagi, dan menutup kultum.


Sambil kembali ke kasur di sudut kamar, pikiranku terus mengkancah isi kultum pak Waras. Yang selalu sarat dengan kedalaman ilmu keagamaan untuk terus menggelorakan optimisme kami yang tengah berada di dalam rutan. 


Dan, aku pun kian tiada henti mengucap syukur di dalam hati. Betapa indah cara Allah membawaku mengenal lebih dalam segala ke-maha-esa-an-Nya. Bukan melalui permukiman di pondok pesantren, melainkan dengan tinggal di dalam rutan. (bersambung)

LIPSUS