Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 148)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Sabtu, 28 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang

  

SAAT seorang tamping kebersihan sedang menyapu di depan kamar, aku minta dipanggilkan tamping kunci. Setelah ia datang, aku memintanya untuk membuka gembok pintu kamar, karena ingin berolahraga. 


Tanpa banyak bicara, tamping kunci memenuhi permintaanku. Dan beberapa saat kemudian, aku telah berolahraga. 


Berjalan mengelilingi lapangan sepakbola yang ada di dalam kompleks rutan, tanpa alas kaki.


Sementara beberapa petugas jaga yang ada di pos dalam, tampak memperhatikanku. Juga belasan tahanan lain yang saat itu tengah berolahraga. Mata para sipir kelihatan sangat cermat mengikuti langkah kami yang sedang mencari keringat.


Mentari yang kian meninggi, memancarkan sinar hangatnya. Membuatku semakin bersemangat. Hingga kaosku basah oleh keringat. Setelah 15 kali memutari lapangan, aku istirahat di selasar. 


Sambil mengelap keringat yang terus mengucur dengan kaos yang sebelumnya aku pakai, ku lihat beberapa orang sedang berolahraga dengan mengangkat barbel. Di sudut Blok C. 


Aku pun menuju kesana. Saat sebuah barbel yang terbuat dari semen itu tidak digunakan lagi, aku pun memanfaatkannya. Barbel alakadarnya seberat 5 Kg tersebut, cukup membuat olahragaku pagi ini maksimal. 


Saat baru saja keluar dari Blok C, terdengar sebuah panggilan buatku. Spontan aku menengok ke arah kantin, tempat asal suara. Ternyata ada Dika disana. Sedang membeli beberapa makanan dan minuman.


“Alhamdulillah, kamu sudah keluar AO ya, Dika,” kataku, begitu dia mendekat. Dan kami pun bersalaman.


“Tadi malem aku keluar AO-nya, bang. Alhamdulillah,” sahutnya, sambil memberiku sebotol air mineral. 


“Terimakasih, Dika. Pas bener ini. Habis olahraga langsung minum air putih,” ucapku, dan menepuk bahunya. Menghargai perhatiannya.


“Kamu di kamar berapa, Dika?” tanyaku, seraya meminum air mineral pemberiannya.   


“Di kamar 12, bang. Di penaling. Blok B,” jelasnya.


“Satu deretan kita. Aku di kamar 8,” jawabku.


“Oh ya. Kok waktu aku lewat depan kamar 8, nggak ngelihat abang ya,” lanjut Dika.


“Aku di paling pojok, Dika. Paling ujung dalem. Di bagian atas,” kataku. 


“Oalah, emang sembunyi to abang ini ambil posisinya. Pantes aja pas aku lewat nggak kelihatan,” tanggap Dika seraya melepas tawanya.


“O iya, di kamar 12 itu ada kawanku, Dika. Aris namanya,” ujarku kemudian. Saat kami berjalan di selasar menuju Blok B dari depan kantin.


“Oh, pak Aris yang katanya mantan anggota Dewan itu ya, bang. Dia nangis terus semaleman. Emang nggak kenceng sih suaranya, tapi sesenggukannya kan kedengeran. Ngebuat kami jadi serba salah. Rikuh mau ngapa-ngapain,” jelas Dika, panjang lebar.


“Aris lagi ngalami musibah, Dika. Istrinya kecelakaan dan kondisinya lagi kritis. Tolong maklumi ya. Sampein ke kawan-kawan juga, minta pengertiannya. Gimana rasanya kalau kita dapet musibah kayak dia. Jangan-jangan malah ngegerung-gerung nangis nggak karuan,” kataku lagi. 


Dika tampak terdiam. Sesekali kepalanya menggeleng. Wajahnya mendadak menunduk. Dalam-dalam. Tampak ada kesedihan yang hadir pada waktu singkat. 


“Kamu kenapa, Dika?” tanyaku, dengan suara pelan.


“Aku mendadak sedih aja, bang. Bisa ku bayangin gimana yang dirasain pak Aris saat ini. Aku dan kawan-kawan di kamar nggak ada yang tahu, kalau dia lagi ngalami musibah kayak gini. Dia kan banyak diem di kamar,” kata Dika, beberapa saat kemudian.


“Sebenernya, Aris itu bawaannya terbuka, seneng ngobrol, juga bercandaan kok, Dika. Cuma mungkin karena lagi ngalami musibah, dia banyak diemnya,” ujarku, dan menjelaskan bagaimana kedekatan kami saat masih sama-sama menghuni kamar tahanan di polres.


“Setelah abang cerita ini, aku baru nyambung kenapa pak Aris kelihatan begitu terpuruknya. Dulu bapakku juga pernah ngalami kayak gini, bang. Dan akhirnya drop berat sampai terganggu kesehatan jiwanya,” tutur Dika lagi.


“Maksudnya kayak mana?” tanyaku, dan mengajaknya duduk di taman kecil yang berada tepat di depan pintu masuk Blok B.


“Dulu sekali, aku masih SD waktu itu, bapakku pernah kena kasus juga, bang. Kalau sekarang, ya kasus korupsi gitulah. Kalau dulu sebutannya kasus penyelewengan dana reboisasi di dinas kehutanan. Waktu bapak lagi di dalem, ibu kecelakaan saat naik motor habis anter aku ke sekolah. Kritis beberapa hari di rumah sakit, dan akhirnya meninggal,” urai Dika. Ada nada sedih dalam bicaranya.


“Oh gitu, terus, Dika,” ujarku, menyela dengan suara tercekat.


“Saat ibu mau dimakamin, bapak dapat izin untuk keluar penjara. Ikut mandiin jenazah dan anter ibu ke pemakaman. Setelah itu, dia balik ke penjara lagi. Sekitar dua minggu setelah wafatnya ibu, kami dikabari sipir, kalau bapak sakit keras. Dia sudah dibawa ke rumah sakit. Ternyata, bapak mengalami gangguan kejiwaan. Sempet dirawat di rumah sakit jiwa. Ada tiga bulan dia disana, akhirnya bapak meninggal juga,” lanjut Dika, panjang lebar.


“Terus kamu sama keluarga kayak mana, setelah bapak dan ibu meninggal?” tanyaku lagi.


“Aku anak tunggal, bang. Akhirnya aku diasuh sama adek bapak. Ikut keluarga mereka. Kebetulan punya anak satu juga. Aku lebih tua setahun. Kami kayak kakak adek. Sampai aku kuliah dan kerja, aku tetep tinggal sama adek bapak,” sambung Dika.


“Kasus kamu sendiri apa sih sebenernya, Dika,” tanyaku, penasaran.


“Aku kasus narkoba, bang. Sebenernya sih aku nggak pernah pakai narkoba. Ngerokok aja gara-gara masuk penjara ini, buat ngilangin suntuk,” sahutnya, dengan pelan.


“Lha, kok bisa kamu kejerat kasus narkoba, kalau emang nggak pernah pakai,” kataku lagi, menyela.


“Panjang ceritanya, bang. Sebenernya, ini kasus adek sepupu. Dia sejak kuliah emang sudah sering pakai narkoba. Ngeganja. Tapi adek bapak atau paklekku dan istrinya yang ku panggil bulek, selama ini emang nggak pernah tahu. Cuma aku yang tahu,” kata dia.


“O gitu, terus kok bisa kamu masuk sini, gimana ceritanya?” tanyaku, semakin penasaran.


“Sampai pada awal bulan kemarin, sore-sore dateng polisi ngegerebek rumah. Ditemuin bungkusan ganja kering dua kantong. Adek sepupuku panik, juga paklek dan bulek. Ngelihat mereka panik nggak karuan, akhirnya aku pasang badan. Ku akui kalau ganja itu punyaku,” tutur Dika. Kali ini suaranya memendam kesedihan.


“Masyaallah. Kenapa kamu pasang badan gitu,” ucapku. Terkaget.


“Yang kepikir waktu itu cuma aku harus  ngejaga nama baik paklek dan bulek yang sudah ngebesarin aku selama puluhan tahun ini, bang. Paklek kan pengusaha besar dan tokoh masyarakat yang selama ini disegeni banyak orang. Sedang bulek sekarang ngejabat kepala dinas. Spontan aja aku tergerak buat nyelametin nama baik mereka, juga buat berbalas budi sama kebaikan mereka selama ini. Jadi ku akui aja, kalau ganja itu punyaku,” Dika mengurai.


“Tapi, nggak harus gini juga kali buat berbalas budi itu, Dika,” kataku, sambil menepuk bahunya.     


“Emang sih, bang. Dalam kondisi normal, banyak cara yang bisa jadi pilihan buat berbalas budi. Tapi waktu itu, aku harus segera ambil sikap. Ya, inilah pilihan yang aku ambil. Risikonya emang berat. Baru dua hari ditahan, aku dikeluarin dari tempat kerjaku. Disusul, tunanganku juga putusin hubungan. Kawan-kawan pergaulanku langsung ngejauh semua,” tambah Dika.


“Paklek dan bulekmu tahu nggak, kalau sebenernya yang pakai ganja sepupumu itu?” tanyaku.


“Paklek yang tahu, bang. Waktu aku di kantor polisi, dia ngajak bicara empat mata dan buka-bukaan. Aku ceritain semua apa adanya. Dia kaget setengah mati, sampai kemudian sakit beberapa hari. Aku sama paklek sepakat, nggak ceritain masalah yang sebenernya ke bulek. Khawatir bulek drop juga,” sambung Dika.


“Polisi tahu nggak kalau sebenernya kamu bukan pemakai ganja itu?” tanyaku lagi.


“Sebenernya ya tahulah, bang. Mereka kan cerdas, juga cerdik. Cuma karena ada barang bukti yang bisa diamanin dan tersangkanya, ya nggak dimasalahin lagi. Istilahnya, sepanjang ada tuker kepala, ya sudah. Apalagi paklekku juga banyak ketemu sama mereka. Doain aja, aku nggak lama-lama ngejalani hukuman nantinya, bang,” ujar Dika. Ada seulas senyum tipis di sudut bibirnya. Senyum kecut penuh kesedihan.


“Paklekmu nggak ngelepasin kamu gitu aja kan, Dika,” kataku, seraya menatapnya.


“Nggaklah, bang. Paklek ngurus aku bener-bener kok. Bahkan sudah kontak kawan-kawannya yang jaksa juga. Kalau kata paklek, aku bakal kena hukuman yang paling minimal. Ya, sekitar enam sampai sembilan bulan aja nanti,” lanjut Dika dengan tenang. Tampak rasa percaya dirinya telah kembali.


“Alhamdulillah. Ya sudah, Dika. Jalani, nikmati, dan syukuri aja. Masing-masing kita emang punya lelakon, yang sering buat kita ngerasa terheran-heran. Tapi inilah ukiran takdir, penuh kerahasiaan,” kataku lagi.


Dan setelah berbincang hangat penuh keterbukaan, kami masuk ke pintu Blok B. Aku masuk ke kamar 8, Dika melanjutkan langkahnya sampai ke ujung bangunan, masuk ke kamar 12 penaling. (bersambung)

LIPSUS