Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 149)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Minggu, 29 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang

     

SESAMPAI di kamar dan seusai mandi, aku menikmati minuman sereal sebagai sarapan. Saat itu, Asnawi menyerahkan tiga kaos kerah milikku yang sudah diberi tulisan WBP. Warga Binaan Pemasyarakatan. 


Inilah pakaian wajib bagi tahanan dan napi yang ada di rutan ketika akan melakukan aktivitas menerima besukan atau ada keperluan lain di kantor rutan. Tanpa memakai pakaian dengan tulisan WBP, tidak akan diperbolehkan melewati pos penjagaan dalam, apalagi ke pos penjagaan luar di depan kantor rutan. 


Di saat aku tengah menikmati minuman bergizi dan sebatang rokok sambil duduk santai di ujung kamar, pintu kamar dibuka oleh tamping. Bukan hanya kamar tempatku, tapi semua kamar tahanan di Blok B. 


“Kenapa semua kamar pagi gini sudah dibukain pintunya ya, Nawi?” tanyaku kepada Asnawi yang tengah sarapan nasi kuning, duduk di sebelahku.


“Setiap hari Senin, seluruh penghuni sel wajib bersihin kamar masing-masing, Be. Mulai dari nguras bak mandi, nyapu dan ngepel lantai, sampai ngerapihin semua barang yang ada di kamar,” jawab Asnawi. 


Aku mengangguk-anggukkan kepala. Mengakui kehebatan pola penjagaan kebersihan kamar di rutan. Sehingga situasi setiap kamar tetap bersih, rapih, dan terjauhkan dari berbagai virus penyakit. 


Asnawi menunjuk lima orang tahanan yang masih muda usia untuk melakukan kegiatan membersihkan kamar. Setelahnya, ia mengajakku keluar. 


“Kita duduk di taman aja, Be. Biar mereka ngeberesin kamar dulu,” kata dia, sambil membawa gelas kopinya keluar kamar.


Kami duduk santai di tepian kolam kecil. Dihiasi air mancur yang memercik perlahan, ku lihat ikan-ikan hias berseliweran penuh kebebasan. 


“Ini ikan-ikan mahal, Nawi. Ikan koi sebanyak ini siapa yang beli?” tanyaku.


“Bos besar di kamar 25 itu, Be. Dia hobi bener sama ikan dan burung. Lihat itu, sangkar di depan kamarnya. Isinya lovebird mahalan semua. Juga burung murai, ada tiga ekor malahan. Suaranya kan nggak berhenti-berhenti,” ucap Asnawi.


Mataku menatap ke arah kamar 25. Yang berada paling ujung pada deretan kamar di depan kamarku, yang dipisahkan oleh taman-taman indah selebar lima meteran. 


Tiga sangkar burung tergantung di depan kamar, masing-masing berisi satu ekor murai. Sementara tiga meter dari pintu, sebuah kandang burung dari besi berdiri kokoh di atas tanah, berisi lovebird tiga ekor.       


Kicauan burung-burung yang nyaris tiada henti itu, memang membuat suasana di sekitarnya terasa nyaman. Ditambah bunyi gemericik air kolam yang terus berputaran, seakan melahirkan musik ketenangan tersendiri. Mengelabui hati atas beratnya menjalani kehidupan dalam keterbatasan pergerakan raga.


“Bos besar siapa emang yang di kamar 25 itu, Nawi?” tanyaku, penasaran.


“Bupati, Be. Yang kena OTT KPK beberapa bulan lalu. Sudah tiga minggu ini dia disini,” kata Asnawi.


“O gitu. Pantes aja bisa melihara burung bagus-bagus gitu ya,” ucapku, menyeletuk.


“Ini belum apa-apa, Be. Kabarnya, dia lagi pesen meja pingpong. Nanti taman di depan kamarnya, dirombak. Selain buat tempat meja pingpong, juga mau dibangun gazebo kecil. Buat dia nyantai, juga dipasang televisi,” Asnawi mengurai.


“Alhamdulillah, makin banyak tempat kita cari hiburan disini ya, Nawi,” sahutku. Enteng.


“Cuma, orangnya sombong. Maunya ngobrol sama sipir aja. Kalau kita-kita mah nggak bakal dianggep. Ya, namanya juga bos besarlah, Be,” ujar Asnawi lagi.


“Kali karena belum kenal aja, Nawi. Jangan cepet-cepet nyimpulin karakter orang. Apalagi yang negatif. Inget omongan pak Waras, selalulah berpikir dan bertindak positif dalam situasi apapun,” sahutku, mencoba mengingatkan Asnawi.


“Kalau ini mah beneran, Be. Bukan aku nyimpulin yang nggak berdasar. Tanya aja kawan-kawan lain. Orangnya songong. Kebayangkan, sudah di penjara aja masih sombong, gimana coba waktu dia berkuasa. Jangan-jangan dagunya naik ke langit posisinya, kalau lagi jalan,” sambung Asnawi. Tampak ada kegeraman dalam perkataannya.


“Ya sudah, ngapain kita ngomongin orang, Nawi. Nambah-nambah dosa aja. Kita ambil baiknya dari bos besar itu. Minimal blok ini jadi lebih kerasa nyaman karena suara indah burung-burung dia,” kataku dan mengajak Asnawi untuk mengecek kamar.


Baru saja sampai di depan pintu kamar, seorang tamping mendekat. Memberitahu jika aku diperintah segera ke kantor rutan. 


“Emang ada apa?” tanyaku. Terkejut.


“Katanya ada istri pakde,” jawab tamping itu.


Buru-buru aku masuk kamar. Mengganti pakaian dengan kaos berkerah yang telah disablon bertuliskan WBP besar-besar di bagian punggung, dan tulisan yang sama dengan format lebih kecil di bagian kiri depan.


Setelah berpamitan kepada Asnawi dan beberapa kawan di kamar 8, aku mengikuti langkah tamping yang menjemputku. Usai melapor di pos penjagaan dalam dan luar, kami masuk ke kantor rutan.


Ku lihat istriku tengah duduk di kursi tamu yang ada di ruang tunggu. Aku percepat langkah dan langsung memeluknya dengan erat. Ku cium pipi dan keningnya. Wajah istriku Laksmi begitu ceria. 


“Bunda sama siapa?” tanyaku, setelah kami duduk di ruangan kecil yang ada di sebelah ruang tunggu.


“Sendiri. Tadi habis apel di kantor, izin keluar. Rencananya mau ngajak Laksa, tapi dia lagi rapat di kantornya,” kata istriku.


Ia menaruhkan dua kantong plastik besar berisi berbagai barang bawaannya, di samping tempat kami duduk. Sambil ia mengeluarkan cincin dan jam tangan dari tasnya. Dan dengan mengucap Bismillah, ia memasukkan cincin pernikahan kami ke jari manisku.


“Setelah dua bulan dilepas, akhirnya ayah pakai cincin kawin kita lagi. Alhamdulillah. Jangan pernah dilepas lagi ya, cincin ini jimat rumah tangga kita,” ucap istriku, dan spontan memelukku dengan erat. Ada kesedihan dalam keeratan pelukannya.     


“Kemarin itu, cincin ini ayah lepas kan karena di polres nggak boleh pakai cincin dan sebagainya, bunda. Kalau disini, ayah perhatiin bebas pakai apa aja, yang penting nggak aneh-aneh,” ucapku, beberapa saat kemudian.


“Iya sih, aneh juga ya di polres itu. Masak tahanan nggak boleh pakai apa-apa. Sampai jam tangan aja nggak boleh. Padahal kan, tahanan juga perlu tahu waktu,” kata istriku. 


“Masing-masing tempat punya aturan sendiri, bunda. Yang aman, ya ikutin aja aturannya. Dan Alhamdulillah, selama di polres, ayah nggak pernah ada masalah. Bahkan nambah kawan polisi,” ujarku sambil tersenyum.


Ku rengkuh badan istriku. Kepalanya menempel erat di bahu dan leherku. Ada kehangatan cinta yang menggelora. 


Cinta yang penuh dengan warna. Kebahagiaan berbalut keperihan. Kesetiaan berhadapan dengan keterbatasan. Ketegaran ditengah keterpurukan. 


“Ayah, bunda sudah dapet uang yang buat pindah kamar itu. Bunda juga sudah diskusi sama Laksa. Kami sepakat buat manfaatin kesempatan ini demi kenyamanan ayah. Kan proses hukum ayah masih panjang. Pastinya perlu tempat yang lebih tenang,” kata istriku, sambil terus menyandarkan kepalanya dibahuku.


Aku terdiam. Hatiku mendadak bagaikan diguyur air kesedihan. Membasahi seluruh nadinya. Penuh ketrenyuhan. 


Aku tidak tahu mesti bagaimana atau berkata apa. Karena aku tahu, istriku pasti memperjuangkan yang terbaik untukku. Tidak peduli seberapa berat dan keras perjuangan yang mesti ia lakoni.


“Sebenernya, sayang bener uang sebanyak itu cuma buat ayah dapetin kamar yang lebih enak dan bebas, bunda. Tapi, ya gimana baiknya nurut bunda aja. Yang penting, bunda juga bisa nyaman dan nggak terus-terusan ngebayangin ayah kesusahan disini,” tuturku, seraya mengelus-elus kepala istriku.


“Tadi sebelum ayah dateng, bunda sudah ngobrol lama sama pegawai rutan yang kemarin itu. Dia ngejamin, ayah bisa lebih enjoy di kamar yang dia siapin. Isinya cuma empat orang sama ayah. Dan kamarnya sejak pagi sampai habis maghrib, pintunya dibuka. Jadi ayah bisa solat jamaahan di masjid. Kan itu yang ayah mauin disini,” ujar istriku, panjang lebar.


“Ya sudah, kalau nurut bunda itu yang terbaik, ayah ikut aja. Yang penting, bunda juga anak-anak, bisa lebih tenang kalau ngebayangin ayah,” sahutku.


Hampir dua jam aku berbincang dengan istriku di ruangan kecil yang ada di kantor rutan. Sampai tamping yang tadi menjemputku, memberi isyarat untuk aku segera kembali ke kamar.


“Nanti bunda kayak mana keluarnya?” tanyaku, setelah kami berpelukan, sebelum aku kembali ke dalam kompleks rutan.


“Nanti dikawal sama pegawai rutan yang kemarin. Tadi sudah dikasih tahu dia pola-polanya. Ayah yang tenang ya, tetep jaga kesehatan. Bunda dan anak-anak sayang dan tetep bangga sama ayah,” kata istriku dan kembali kami berpelukan.


Sambil keluar kantor rutan, tamping membawakan dua kantong besar bawaan istriku. Aku sudah siapkan uang untuk kebutuhan di pos luar dan pos dalam. Termasuk untuk tamping yang menjemput dan mengantarku kembali ke kamar. Sebuah tradisi; sepemahaman itu indah. (bersambung)


LIPSUS