Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 150)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Senin, 30 Mei 2022


Oleh, Dalem Tehang 


SEKELUAR dari pos penjagaan, ku lihat belasan orang tengah mengantri. Untuk bergantian masuk ke ruang besukan yang ada di bagian belakang kantor rutan. 


“Emang sampai antri dan giliran gitu ya, buat masuk ruang besukan?” tanyaku kepada tamping yang mengantarku, saat kami berjalan menuju pos dalam.


“Ya emang gitu, pakde. Apalagi kalau hari Sabtu, lebih ramai lagi. Yang enak, ya kayak pakde ini. Ketemu istri di ruangan khusus, di kantor rutan. Cuma bayarnya gede juga,” sahut tamping itu, seraya melepas senyum penuh arti.


“Emang pakai bayar juga ya?” tanyaku lagi.


“Ya iyalah, pakde. Emang nggak ditentuin sih nominalnya. Yang pasti, ya nggak gratislah. Kalau di ruang besukan umum, iya nggak perlu keluar uang,” jelas dia.


Aku langsung istighfar di dalam hati. Begitu banyak istriku harus terus menerus keluar uang untuk bertemu denganku. Tanpa terasa, dari kedua mataku akan mengucur air kesedihan. Buru-buru aku hapus dengan telapak tangan, dan aku lawan rasa sedih yang mulai muncul dengan spontan.


Aku selalu ingat pesan istriku: jangan pernah orang lain melihatku meneteskan air mata, kecuali dirinya. Jangankan orang lain, anak-anakku pun tidak boleh melihat saat aku menangis. 


Sesampai di kamar, ku buka kantong plastik besar berisi bawaan istriku. Banyak sekali makanan di dalamnya, dengan beragam jenis. 


Mulai dari bubur instan, mie instan, abon, minuman dan makanan sereal, wedang jahe, sampai susu sasetan. Juga beberapa vitamin, minyak kayu putih, hingga cairan pembasmi kuman.


Pada kantong plastik yang satunya, terdapat beberapa pakaianku. Celana panjang jeans, jaket, baju koko, kain sarung, topi, hingga seprai berikut sarung bantal dan guling. 


Segera aku ganti seprai dan sarung bantal guling yang ada, dengan yang dibawakan istriku. 


“Wuih, Babe kayak orang kost aja. Semua dipakaiin barang dari rumah,” ucap Asnawi, saat melihatku tengah sibuk mengganti seprai kasur, berikut sarung bantal dan guling.


“Biar nambah tenang hati ini, Nawi. Kalau pakai barang dari rumah, kan beda rasanya,” sahutku, sambil tersenyum.


“Kita beda dalam soal ini, Be. Kalau aku, justru nggak bisa pakai barang kiriman dari rumah. Malah sedih bawaanku. Karena kebayang istri sama anak-anak terus,” tutur Asnawi. Spontan.


“Aneh juga kamu ini, Nawi. Kebanyakan orang, justru ngerasa nyaman kalau pakai barang dari rumah. Kali selama ini kamu jarang di rumah ya. Waktumu banyak habis di luar rumah,” tanggapku.


“Iya juga kali ya, Be. Aku kan emang banyak kerja di luar kota selama ini. Paling di rumah, cuma lima sampai delapan hari dalam sebulan,” aku Asnawi.


“Kejawab kan, kenapa kamu malah nggak nyaman kalau pakai barang dari rumah. Karena kamu emang bukan orang rumahan. Kamu itu orang jalanan,” ucapku, menyela seraya tertawa.


Asnawi pun tertawa. Mentertawakan perilaku diri sendiri selama ini. Namun, beberapa saat kemudian, ia terdiam. Dan menundukkan wajahnya. Menatap lantai kamar. 


“Kamu kenapa, Nawi? Sorry kalau ada omonganku yang nggak pas buatmu,” kataku kemudian.


“Nggak apa-apa kok, Be. Ndadak aja aku sedih. Ngebayangin anak bungsuku. Waktu dia lahir, aku nggak ngelihat. Sekarang ini, dia ulang tahun yang keempat, aku nggak ada juga. Bener-bener apes nasib dia,” tutur Asnawi. Suaranya berubah penuh kesedihan.


“Ya sudah, jangan ikutin perasaan melomu itu, Nawi. Anak bungsumu justru bakal punya mental tangguh, karena nggak selalu ada dalam perhatian bapaknya. Santai ajalah. Cerita hidup kita sudah tertulis runtut. Jadi nggak usah digalauin,” kataku, berusaha menenangkan Asnawi.


“Emang bener sih, Be. Semua kejadian yang kita alami juga keluarga, sudah tertulis pada takdir. Cuma aku sedih aja,” sahut Asnawi, beberapa saat kemudian.


“Wajar kita sedih kalau ngebayangin keluarga, utamanya istri dan anak-anak, Nawi. Tapi aku pernah dikasih tahu soal pusaka kebajikan. Dan itu aku pegang teguh selama ini,” ujarku.


“Apa pusaka kebajikan itu, Be?” tanya Asnawi, kali ini wajahnya memandangku dengan sorot mata serius.


“Pusaka kebajikan itu ada tiga. Ngerahasiain keluhan, ngerahasiain musibah, dan ngerahasiain sedekah. Emang nggak mudah jalaninya, Nawi. Tapi kalau orang lain aja bisa, kenapa kita nggak. Kan gitu kita mikirnya,” uraiku.


Saat kami masih berbincang sambil aku merapihkan tempat pakaian, tampak Aris dan Dika berdiri di depan jeruji besi. Mereka memberi isyarat, agar aku dan Asnawi keluar kamar. 


Kami berempat kemudian duduk santai di taman kecil yang ada di depan kantin. Dika diminta Aris membeli minuman ringan dan gorengan untuk kami.


Dua orang sipir yang tengah bertugas mendekati kami. Duduk bersama. Berbaur. Aris buru-buru ke kantin, membelikan mereka minuman dan rokok.


“Kami lihat dari pos, kalian berempat ini enjoy bener. Ngobrol enak kayaknya,” kata seorang sipir berusia sekitar 35 tahunan.


“Yang penting ngejaga hati aja, pak. Gimana caranya tetep bisa enjoy walau di rutan kayak gini,” sahut Aris dengan enteng. 


Sahutan Aris yang begitu ringan, membuatku kagum akan kedewasaan dan kemampuannya mengelola perasaan. Ia begitu terlatih dan piawai menutupi kegalauan berat yang tengah mendekam pada jiwanya, karena sang istri sedang kritis dan tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit.


“Bener juga itu. Kalau kata orang, gimana caranya kita belajar mensyukuri yang ada, bukan ngeratapi yang belum ada,” kata sipir itu, sambil membuka bungkus rokok yang dibelikan Aris.


“Sudah berapa lama jadi sipir disini, pak?” tanya Dika.


“Kalau aku baru dua tahun tugas disini. Kawanku ini, sudah masuk tahun keenam. Ya, ginilah tugas kami. Ngawasi kawan-kawan tahanan dan napi. Kalau semuanya kondusif, kita sama-sama enak. Tapi kalau ketemu tahanan atau napi yang sok-sok-an, apalagi sengaja ngelanggar aturan, itu yang sering ngebuat kami nggak bisa nahan emosi. Akhirnya, ya main kasar dan keras, nggak ada pilihan,” urai sipir bernama Ary, dengan gaya kalem.


“Emang banyak ya, yang sok-sok-an atau sengaja ngelanggar aturan disini, pak?” tanya Dika lagi.


“Ya, ada ajalah pastinya. Kan banyak yang stres juga masuk rutan gini. Psikologisnya terganggu. Naik turun ritmenya. Kalau nggak punya jiwa yang mateng dan kendali pikiran tinggi, banyak aja perilaku yang aneh-aneh,” jelas sipir Ary.


“Perilaku aneh-aneh kayak mana yang biasanya kejadian disini, pak?” Asnawi terpancing untuk bertanya juga.


“Ya, banyaklah. Mulai dari yang coba-coba bunuh diri, ngebuat keributan di kamar, sampai usaha buat kabur. Makanya kami selalu keliling. Ngawasi setiap sel. Khawatir ada kejadian yang nggak kita inginin. Tapi, kalau kami yakini sel itu orang-orangnya terkondisi baik, ya nggak jadi perhatian khusus. Biasa-biasa aja,” urai sipir Ary.


Tiba-tiba suara adzan Dhuhur menggema dari masjid. Kami pun meninggalkan taman kecil dan mengakhiri perbincangan. Kembali ke kamar masing-masing. Mengambil peralatan solat dan berjalan cepat menuju masjid.


Selepas makan siang, Gerry ke kamarku. Kami kemudian berbincang di depan kolam kecil yang ada di taman depan kamar. 


“Bang, uang kasur sudah aku bayari Rp 500.000. Kurang Rp 2,5 juta lagi,” ucap Gerry, saat kami menikmati es dawet yang dibeli dari kantin.


“Wuih, mahal amat kasurnya, Gerry. Padahal, nggak bagus kasur itu. Baru beberapa hari, sudah melempes. Tenggelem badanku kalau tidur,” sahutku dengan terkejut.


“Ya mau kayak mana lagi, bang. Itulah kasur terbaik yang selama ini dijual di rutan. Sisa bayarnya bisa dicicil kok. Abang santai aja,” kata Gerry, berupaya menenangkanku.


Sesaat aku terdiam. Pikiran dan batinku bersamaan dilanda kebingungan. Bagaimana akan menyampaikan kepada istriku soal uang kasur yang demikian besar ini. 


Apalagi, ia tengah mengurusku untuk pindah ke kamar yang lebih baik, dengan sedikit penghuninya. Yang untuk keperluan ini, ia harus mengeluarkan uang tidak sedikit. Sampai berjuta-juta rupiah.


“Jangan kehilangan nikmat es dawet ini gara-gara soal kasur dong, bang. Kapan aja abang cicil, nggak masalah kok. Sebulan, dua bulan, juga nggak jadi soal. Tenang ajalah,” ucap Gerry yang memahami kebingunganku.


“Gimana nggak ngelamun, Gerry. Ayukmu lagi ngurus abang mau pindah ke kamar yang lebih baik, sesuai saranmu. Mendadak, urusan kasur juga. Kasihanlah sama ayukmu, kalau abang sampein sekarang-sekarang juga,” jawabku.


“Gerry yakin, ayuk itu orangnya tangguh, bang. Mentalnya kuat. Dengan abang masuk gini, ayuk dan anak-anak abang justru makin kuat mentalnya. Soal kebutuhan kehidupan, Allah sudah ngejamin, nggak usah abang khawatirin. Nanti ada aja rejekinya. Percaya omongan Gerry,” lanjut dia, beberapa saat kemudian.


Seorang tahanan berpakaian rapih, mendadak duduk di depan kami. Memakai celana panjang jeans dan berkaos kerah mahalan. Berusia sekitar 43 tahunan. Wajahnya bersih. Senyum penuh simpatik terhias indah di wajah tampannya.


“Oh, pak bupati. Sehat-sehat ya, bos,” tiba-tiba Gerry berucap dan menyalami pria itu dengan kedua tangannya. Penuh hormat. 


Melihat Gerry begitu menghormati pria tersebut dengan serius, aku pun menyalaminya. Seraya menundukkan kepala. Memberi hormat juga.


“Aku lihatin dari kamar, kayaknya lagi ngobrol serius bener. Kalau-kalau bisa berbagi cerita,” ujar pria, yang ternyata seorang bupati tersebut.


“Ngobrol-ngobrol kosong aja kok, bos. Kebetulan bang Mario ini baru beberapa hari masuk sini, jadi ya aku temeninlah. Biar nggak suntuk,” kata Gerry.


“O, baru beberapa hari masuk sini ya. Pantes aku nggak pernah lihat. Kalau sudah disini, kita jadi keluarga. Yang tua jadi kakak, yang seumuran jadi teman,” sahut sang bupati, tetap ada senyum ramah di sudut bibirnya.


“Iya, aku baru beberapa hari disini. Terimakasih atas penerimaannya, bos,” kataku, mengikuti cara Gerry memanggilnya dengan sebutan bos.


“Santai-santai aja kalau disini. Mainlah ke kamarku di 25. Nggak pernah dikunci kok. Malem juga sesekali aja dikunci. Itu juga pagi-pagi sudah dibuka,” tutur dia dengan ramah.


Ku anggukkan kepala penuh hormat atas keramahan dan tawarannya. Perkataan Asnawi sebelumnya, jika sang bupati adalah sosok yang sombong, terbantahkan saat aku bertemu dan berbicara langsung.


Dan saat itu aku sadari, jika perilaku kita yang acapkali begitu cepat menilai seseorang dari cerita orang lain, eloknya tidak membawa kita kepada kesimpulan yang sama. Karena tidak jarang, tak sesuai dengan kenyataan ketika kita sendiri yang mengalami.


Seperti layaknya langit. Pada suatu bagian tampak ada mendung menggantung, namun pada bagian lain, bersih tanpa awan. Alam adalah buku kehidupan yang menyimpan banyak pelajaran.  (bersambung)

LIPSUS