Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 151)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Selasa, 31 Mei 2022

 

Oleh, Dalem Tehang


BANG Mario suka main pingpong nggak? Kalau suka, nanti kita main ya. Besok siang, mejanya masuk sini. Aku sudah pesen. Itu bekas taman-taman lagi disemen, buat tempat mainnya,” kata sang bupati, sambil menunjuk beberapa tahanan yang tengah merapihkan bekas gundukan taman yang ada di depan kamar 25.


“Suka sih nggak, bos. Tapi sedikit-sedikit bisalah, kalau main pingpong,” sahutku. Pendek.


Sang bupati mengajakku dan Gerry ke kamarnya. Mataku terbelalak begitu masuk ke kamar paling sudut itu. Seluruh lantainya dipasang karpet dari plastik tebal. 


Terdapat dua kipas angin tambahan, dari satu yang memang disediakan pihak rutan pada setiap kamar.


Di sudut kiri kamar, terdapat dispenser dengan galon air mineralnya. Kompor gas kecil berikut teko alat pemanas air, juga magiccom. Semua tersusun rapih di atas rak dari kayu yang memanjang. 


Ada beberapa rak kecil untuk tempat pakaian. Piring dan gelas di kamar ini, berkelas. Disusun apik. Disamping aquarium kecil berisi dua ekor ikan koi nan cantik. 


Dan saat tanpa sengaja, sambil duduk dan berbincang, tanganku menyenggol kardus kecil di ujung kanan kamar, dekat kamar mandi, ternyata dibawahnya terdapat empat telepon seluler terbaru, yang sedang diisi baterainya.


“Kalau bang Mario perlu nelepon, kesini aja. Nggak usah bayar-bayar,” ujar sang bupati, begitu tahu tanpa sengaja aku melihat beberapa telepon seluler tersebut.


Ia panggil seorang tahanan di kamarnya, diminta membuka rak kecil yang ada di bagian bawah tempat kompor gas. Ternyata isinya berbagai minuman kaleng. Juga beberapa bungkus makanan ringan.  


“Ayo, ambil sendiri. Ada macem-macem minuman disitu. Ambil sesuai selera aja,” kata dia, sambil menatapku dan Gerry.


Gerry memberi isyarat kepadaku untuk segera mengambil minuman yang ditawarkan. Setelah itu, kami kembali terlibat perbincangan ringan. 


Keasyikan kami bercengkrama dalam suasana santai, terputus setelah terdengar suara adzan Ashar. Aku dan Gerry bergegas pamitan. 


“Terimakasih ya, bos. Inshaallah besok-besok, aku jadi rutin main kesini,” kataku saat berpamitan.


“Kapan aja bang Mario mau main, dateng aja. Aku juga mau ke masjid ini,” sahut sang bupati, dan ku lihat ia mengambil kopiah serta kain sarungnya, melepas celana panjang yang sebelumnya digunakan.


Selepas jamaahan Ashar dan berjalan keluar masjid, tiba-tiba badanku ada yang memeluk dari belakang.


“Kamu ngagetin aja, Dika. Aris mana?” ujarku. Ternyata Dika yang memelukku. 


Dika menunjuk sudut pada bagian belakang ruangan masjid. Tampak Aris sedang serius berdoa. Aku memahami, ia tengah menguntai permohonan dan harapan bagi kesembuhan istrinya.


“Kita tunggu Aris dulu, Dika,” kataku seraya mengajaknya duduk pada anak tangga masjid.


“Tadi paklekku dateng, bang. Ngebesuk aku. Terharu bener dia lihat aku pas sudah di rutan ini. Kepala gundul dan pakai kaos tulisan WBP pula,” kata Dika, memecah keterdiaman kami.


“Oh ya, Alhamdulillah. Terus apa perkembangan kasusmu,” jawabku. Tanpa mempedulikan keterharuan pakleknya.


“Kata paklek, paling lama tiga minggu ke depan, aku sudah mulai sidang. Doain ya, bang,” lanjut Dika.


“Pakai pengacara ya kamu, Dika?” tanyaku. 


“Nggak, bang. Kata paklek, dia sendiri yang turun langsung. Kalau pakai pengacara, malahan ribet kata dia. Apalagi, dia kan sudah ngelobi sana-sini. Paklek tetep pegang janjinya, merjuangin agar aku nggak lama-lama di tahanan,” sahutnya.


“Hayo, lagi ngobrolin apa ya? Kok ngomongnya bisik-bisik,” tiba-tiba terdengar suara Aris di belakang kami yang tengah duduk pada anak tangga masjid.


“Kami ini sengaja nungguin kamu, Ris. Sambil nunggu, aku pengen tahu perkembangan kasus Dika,” kataku sambil berdiri.


“Kirain lagi punya rencana aneh-aneh Babe sama Dika,” celetuk Aris, dan kemudian disusul tawanya.


“Mana kepikir rencana aneh-aneh disinilah, Ris. Ngikuti gaya aja belum paham, sudah mau mikirin yang aneh-aneh,” kataku lagi.


Sambil berjalan melewati tepian lapangan untuk menuju selasar depan pintu masuk blok, aku tanya perkembangan istrinya. Aris hanya mengangkat bahu.


“Maksudnya apa itu, Ris? Kamu nggak tahu perkembangan istrimu, gitu ya?” tanyaku, penasaran.


“Iya, sampai sekarang ini aku emang nggak tahu bener gimana perkembangan kondisi istriku, Be. Bener-bener putus informasi,” jelas Aris.


“Kamu nggak coba buat cari informasinya?” tanyaku lanjut.


“Mau pakai apa nanyainnya, Be. Aku kan nggak pegang botol alias telepon. Mau pinjem punya sipir, belum ada yang kenal baik. Mau lewat wartelsus, beli kartu dan pulsanya mahal bener,” sahut Aris. Mengurai persoalan.


“Kamu hapal nomor hp adekmu nggak,” kataku dengan serius. Aris mengangguk.


“Ya sudah, kalau gitu ikut aku,” ujarku, dan mengajak Aris bersama Dika menuju ke kamar 25, menemui sang bupati.


“Assalamualaikum, bos. Mohon maaf ganggu ini,” kataku, begitu sampai di depan kamar 25. 


Tampak sang bupati sedang duduk santai, sambil menikmati sebatang rokok yang terjepit ditangannya. Dan tentunya, mendengarkan kicauan indah burung-burung peliharaannya. 


“Waalaikum salam. O, bang Mario. Masuk, bang. Duduk sini,” sahutnya dengan ramah.


Setelah duduk, aku perkenalkan Aris dan Dika. Dan ku ceritakan musibah yang sedang dialami Aris mengenai istrinya. Baru aku mohonkan bantuannya, untuk meminjamkan telepon guna Aris mengecek perkembangan kondisi istrinya di rumah sakit.


“Masyaallah. Iya, pakai aja, bang. Kalau yang penting-penting gini, nggak usah segen-segen, kesini aja. Sepanjang bisa bantu, pasti aku lakuin,” kata sang bupati, yang segera bergerak dari duduknya dan mengambil salah satu telepon seluler yang disembunyikan di bawah kardus kecil.


“Ini, langsung telepon adeknya ya, pak Aris. Sana duduk di sudut aja. Nggak enak kalau ada yang ngelihat lagi teleponan,” kata dia beberapa saat kemudian sambil memberikan telepon ke tangan Aris.


Sesuai arahan, Aris bergeser ke sudut kamar. Dan memulai memencet nomor yang akan ia hubungi. Beberapa saat kemudian, terdengar ia sedang berbincang. 


Aku, sang bupati, dan Dika juga melanjutkan obrolan. Banyak cerita kehidupan di dalam rutan yang bisa aku serap dari paparan sang bupati. 


“Sebenernya, nggak serem-serem jugalah namanya penjara itu. Semua tergantung kita aja. Kalau bisa bawa diri baik-baik, menghormati sesama tahanan dan sipir, ya enak-enak aja kok. Petugas sipir kan juga manusia, sama seperti kita. Cuma, tugas mereka ngawasin dan ngejaga kita. Kalau ada saling pengertian, nggak bakal ada masalah apa-apa,” urai sang bupati, panjang lebar.


“Persoalannya, justru soal saling pengertian itu, bos. Kebanyakan kan hitungannya dari uang,” kata Dika, menyela.


“Ya, itu memang nggak bisa dipungkiri. Tapi kalau diprosentase, bukan dominan juga kok. Yang penting itu, pembawaan kita. Dan aku saranin, nggak usah nonjol-nonjol amat disini, biasa-biasa aja. Biar nggak dapet perhatian ekstra juga,” sahut sang bupati.


“Maksudnya nggak usah nonjol-nonjol amat itu apa, bos?” tanya Dika, mengernyitkan dahinya.


“Bergaul dengan sekadarnya. Sama tahanan atau napi yang seide aja. Nggak perlu semua dikawanin. Gitu juga sama sipir, yang baik-baik aja yang dideketin. Dan jangan begitu kena gertak, terus ngamaninnya pakai uang. Nanti kerepotan sendiri,” jelas sang bupati.


“Emang bener ya, banyak sipir yang nakal, bos?” Dika bertanya lagi.


“Nggak juga sebenernya sih, Dika. Kalau dilihat kita tahanan yang biasa-biasa aja dan nggak banyak ulah, ya nggak bakal kena macem-macemlah. Intinya, semua kembali ke diri kita. Kalau kamu bisa nempatin diri dengan baik, aku jamin selama disini kamu bakal aman dan nyaman-nyaman aja,” kata sang bupati, memberi wejangan.


Dika dan aku menganggukkan kepala. Bersyukur mendapatkan petuah yang sangat berarti dari sang bupati. 


Aris mendekat, setelah sekitar 25 menit berteleponan dengan adiknya. Wajahnya tampak muram. Matanya memerah, seakan segera tumpah air yang ada disana. Kesedihan mendalam itu tergurat tegas. Namun, senyuman tipis tetap masih mampu ia pertontonkan. Kepiawaian mengelola perasaan dan penampakan yang demikian matang. (bersambung)

LIPSUS