Cari Berita

Breaking News

Balada Seorang Narapidana (Bagian 152)

Dibaca : 0
 
INILAMPUNG
Rabu, 01 Juni 2022


Oleh, Dalem Tehang


APA cerita istrinya, pak Aris?” tanya sang bupati.


“Masih belum sadar juga, bos. Ini sudah hari ketiga, dia dalam kondisi koma. Kalau sampai lima hari tidak ada perubahan, kata dokter yang nanganinya, harus dibawa ke rumah sakit yang lebih lengkap alat-alatnya,” kata Aris. Suaranya penuh kesedihan.


“Tapi dokter rumah sakit yang sekarang belum angkat tangankan, pak Aris?” tanya dia lagi.


“Belum sih, bos. Kata adekku, justru dokternya ngerasa tertantang untuk ningkatin usahanya buat nangani istriku. Walau kata adekku, keajaiban aja yang diharepin keluarga besar saat ini,” jelas Aris.


“Ya sudah, pak Aris tetep tenang. Perbanyak doa. Perkuat penyerahan kepada Allah. Total. Lahir batin. Serahin semua sama Allah. Selembar nyawa dan kehidupan kita ini, cuma sekadar titipan aja. Nggak ada hak kita sama sekali buat nentuin hidup kita mau kayak mana,” tutur sang bupati. Tangannya menepuk-nepuk bahu Aris. Menenangkan.


“Terimakasih banyak bantuannya, bos. O iya, bos. Mohon izin, tadi aku minta adekku nyimpen nomor telepon bos. Dan kalau ada yang penting, adekku telepon ke hp bos. Maaf, sudah lancang,” ucap Aris dan membungkukkan badannya. 


“Nggak apa-apa, pak Aris. Aku malah lupa, sebenernya juga mau pesenin gitu tadi. Jadi kalau ada apa-apa dengan keluarga pak Aris, bisa cepet sampai infonya. Tolong kasih nama aja nomor adeknya. Tulis aja, pak Aris sama nomor kamar ya. Biar aku gampang ngingetnya,” sambut sang bupati, tetap dengan keramahannya.


“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, bos. Cuma Allah yang bisa ngebales kebaikan bos ini,” kata Aris dan bergerak untuk mencium tangan sang bupati.


Buru-buru sang bupati menarik tangannya yang akan dicium Aris. 


“Jangan gitu, pak Aris. Kita cuma layak cium tangan itu sama kedua orangtua, mertua, kakak atau istri kita. Itu prinsipku. Dan aku nggak pernah mau dicium tanganku, kecuali sama istri dan anak-anakku aja. Selain mereka, kita semua sama dimataku. Maaf, bukan aku nggak ngehargai maksud pak Aris. Tapi, jangan berlebihan dalam kita nunjukinnya,” sang bupati menjelaskan panjang lebar.


“Maaf juga aku, bos. Tadi karena bener-bener terharu dan bangga aja, bos mau ngebantuku,” sahut Aris, dan menundukkan wajahnya dengan hormat.


“Nggak apa-apa, aku maklum kok, pak Aris. Santai aja. Kita sama-sama tahanan dan nanti sama-sama jadi napi. Jangan lihat aku bupati ya. Itu cerita masa lalu buatku, walau aku emang belum dipecat. Tapi pasti bakal diberhentiin kalau masalahku sudah inkracht. Aku ya aku inilah. Anggep kita sudah jadi keluarga. Selesai itu,” lanjut sang bupati, ada senyum penuh simpatik di sudut bibirnya.


Terdengar suara riuh para tahanan akan kembali masuk ke dalam selnya masing-masing. Kami pun berpamitan. Untuk segera masuk ke kamar.


Setelah mandi sore, pak Waras memanggilku. Mengajak semaan membaca Alqur’an dengan pak Anas. Aku dan pak Waras pun menjadi santrinya pak Anas, petang itu. 


Selama kami masing-masing membaca untaian kitab suci, pak Anas mendengarkan sambil memejamkan  matanya. Namun, begitu salah satu dari kami kurang tepat membacanya, ia langsung memotong dan memberitahu bacaan yang benar. 


Aku benar-benar kagum akan kekuatan hafalan Alqur’an yang dimiliki pak Anas, yang sebelum masuk bui, sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu di sebuah pasar tradisional.     


Saat suara adzan Maghrib menggema dari masjid, pak Anas meminta kami menghentikan membaca Alqur’an. Mendengarkan dan menyahuti suara adzan, menurut dia, lebih utama.


Setelah solat Maghrib berjamaah, aku melanjutkan membaca Alqur’an sambil duduk di kasurku. Setiap membaca satu ayat, diperkuat dengan memahami artinya. Dengan penuh konsentrasi, aku coba memahami makna dibalik arti dari setiap ayat-ayat Tuhan. 


Tiba-tiba pintu kamar dibuka. Seorang pejabat rutan berdiri di pintu, didampingi dua orang sipir dan tamping malam. Pejabat rutan itu memanggilku.


Setelah memasukkan Alqur’an di tempatnya, aku pun mendekat ke pintu kamar.


“Siap-siap ya, segera pindah ke kamar 20,” kata pejabat rutan itu tanpa basa-basi, dengan pandangan serius menatapku.


Tanpa menjawab, aku pun kembali ke tempatku. Menyiapkan tas kain tempat pakaianku, handuk, dan beberapa alat mandi dari kamar mandi. 


“Tolong bantu angkat kasur pak Mario,” kata pejabat rutan itu, seraya menatap kawan-kawan penghuni sel 8 penaling.


Aku pun berpamitan dengan penghuni kamar. Asnawi, pak Waras, dan pak Anas memelukku kencang.


“Terus ngajinya ya, Be. Kalau sempet, main-main kesini lagi,” ucap pak Anas, dengan pelan.


“Iyalah, aku pasti sering main kesini, pak. Kita kan tetep satu blok, cuma beda kamar aja,” sahutku, sambil tersenyum.


Dan, beberapa saat kemudian, aku sudah masuk di kamar 20. Ternyata kamar kepala blok B. Istilah di rutan, disebut kamar for man. 


Kamar berukuran 4 x 6 meter itu hanya berisikan empat orang, setelah aku masuk. Dua orang penghuni sebelumnya bernama Basri dan Dino, mereka adalah penanggungjawab Blok B. Dilengkapi seorang OD bernama Rudy.


Kasur besarku ditaruh di tengah-tengah antara tempat Basri dan Dino. Kedua napi ini tersangkut kasus narkoba, dengan hukuman cukup lama. Dan telah dua tahun berada di rutan.   


Basri yang berbadan tambun dengan postur pendek, tampak dingin wajahnya. Juga tidak banyak bicara. Hanya sorot matanya saja yang menyiratkan ia adalah sosok pelaku kriminal sejati. 


Pria berumur sekitar 46 tahun itu pernah melarikan diri dari rutan, dan tidak pernah bisa tertangkap, sampai akhirnya ia tersandung kasus narkoba kembali. Dan, untuk kedua kalinya menjadi penghuni sel di rutan ini. 


Sedangkan Dino yang berusia sekitar 48 tahun, memiliki tubuh tinggi besar, sepanjang kedua tangan dan dadanya berhiaskan tato. Wajahnya sangar, namun masih suka berbincang dengan sesama penghuni rutan. Ia terjerat kasus narkoba juga. 


Sementara Rudy yang bertugas menjadi OD kamar 20 masih berusia 24 tahun. Ia harus menghuni kamar berterali besi akibat kasus penggelapan kendaraan milik bosnya. Tidak kepalang tanggung, lima unit kendaraan milik bos tempatnya bekerja, ia gadaikan.


Basri dan Dino sangat dingin menerima kehadiranku sebagai penghuni baru di kamar 20. Hanya Rudy yang mau membantu meletakkan barang bawaanku di etalase kecil terbuat dari kayu, yang menempel di dinding pemisah dengan kamar mandi.


Basri dan Dino lebih asyik bercengkrama di taman kecil yang tepat berada di depan kamar 20. Bersama dengan beberapa sipir. Dan saat tengah malam, ku lihat mereka tengah menikmati makanan ringan berupa martabak manis, yang dibawa sipir dari luar rutan.


Kamar 20 memang selalu terbuka. Karena kamar kepala blok. Dilengkapi tambahan satu unit kipas angin. Di kamar yang lebih kecil dibanding kamar-kamar lain di Blok B itu, juga terdapat magiccom, teko listrik pemanas air, serta dispenser air mineral. Pun lemari pakaian dan lemarin tempat menyimpan makanan serta peralatannya, yang menempel di dinding.


Rudy menjelaskan kebiasaan di kamar tersebut. Mereka selalu membeli makanan dari luar, melalui sipir yang akan bertugas. Hanya sesekali saja, ia memasak di kamar. 


“Paling juga masak mie instan atau ngebuatin kopi, selain bersih-bersih kamar dan nyuciin pakaian, yang jadi tugasku, om,” ujar Rudy. 


“Jadi nggak pernah masak nasi ya?” tanyaku.


“Paling seminggu cuma sekali kalau masak nasi, om. Tapi kalau masak mie atau nyeduh kopi, rutin emang. Sehari bisa sampai tiga empat kali. Ini kan kamar terbuka, banyak sipir juga yang minta dibuatin mie atau kopi,” lanjut Rudy. 


“Memangnya mereka bawa mie atau kopi juga ya, Rudy?” tanyaku lagi.


“Ya nggaklah, om. Kalau sipir minta, mereka tahunya, ya ada. Kalau lagi nggak ada stok, aku beli dulu di koperasi kantin,” kata Rudy, ada senyum kecut di wajah anak muda ini.


“Jadi, kebutuhan buat di kamar ini berapa perminggunya yang harus om siapin, Rudy,” ucapku dengan serius.


“Aku nggak tahu kalau soal itu, om. Tanya aja nanti sama om Basri atau om Dino. Semua urusan di blok ini kan mereka yang ngaturnya,” sahut Rudy.


Mendengar jawaban Rudy, pahamlah aku betapa kuatnya posisi Basri dan Dino, bukan hanya untuk penghuni kamar kami, namun juga seluruh tahanan di Blok B yang jumlahnya tidak kurang dari 350 orang. 


Pembawaan Basri dan Dino yang begitu dingin menyambut kehadiranku di kamar 20, langsung bisa aku rasakan jika aku akan berada pada keseharian yang jauh dari kebersamaan di kamar for man ini. Tapi memang tidak ada pilihan. 


Melihat situasi semacam ini, justru menggelorakan jiwa petarungku, yang terpantik oleh sepenggal kalimat keramat: “sekalipun akan melalui jalan ke neraka, teruslah berjalan.” 


Dan, aku juga ingat sepotong kata yang ditulis anak gadisku satu-satunya, Bulan. Yang dikirimkan melalui istriku. Ndukku menuliskan:  new dreams, new hopes, new experiences and new joys.


Iya, pada kondisi apapun yang ditemui, tetaplah hadirkan mimpi baru, harapan baru, pengalaman baru, dan kegembiraan baru. (bersambung)

LIPSUS